Tujuh Belas

86 8 6
                                    

Mendengarkan Amarta bercerita, tertawa bahkan memakan es cream dengan sangat lucu membuat Langit semakin betah berada di tempat ini. Ini sudah es cream kedua yang Amarta makan, rasa cokelat Vanila menjadi favoritnya. Bahkan sebelum masuk ketoko es cream itu saja Amarta sudah meminta kepada Langit untuk membelikannya rasa itu.

"Langit!!" Amarta mendongak memperhatikan Langit yang sedang sibuk memperhatikan dirinya. Ia seakan ingat sesuatu.

"Gua boleh pesen lagi nggak?" ujarnya tanpa rasa bersalah. Langit hanya mengiyakan saja, asalkan Amarta bahagia hari ini.

"Serius boleh?" Amarta memastikannya lagi dan sekali lagi Langit menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. Amarta pun menuju ke tempat pemesanan lagi. Cukup lama ia berada di sana, entah berapa banyak es cream lagi yang ia pesan kali ini. Dirinya saja satu es cream saja belum habis, dan entah bagaimana Amarta bisa menghabiskan dua es cream itu hanya hitungan menit saja. Langit akhirnya mengambil ponsel yang ia letakkan di meja tadi. Membuka sosial media, menscroll tak jelas hingga Amarta datang dengan banyak es cream di tangannya.

"Astaga Amarta!!! Itu es cream semua?" tanya Langit tak percaya dengan berapa banyak es cream yang Amarta bawa. Sementara Amarta hanya tersenyum tidak merasa bersalah sama sekali.

"Itu berapa banyak es creamnya?" tanya Langit sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Dikit kok, hanya sepuluh rasa es cream. Ini ada rasa Blueberry chocolate, Strowbery, Mint, jeruk, oreo ah banyak pokoknya Amarta nggak bisa nyebutin satu-satu." Amarta meletakkan satu persatu es cream yang ada di tangannya itu keatas meja, sembari ia memperhatikan rasa dan menyebutkannya agar Langit tahu rasa apa saja yang ia ambil.

"Bakalan lo makan sendiri?"

Amarta menganggukkan kepalanya dengan sangat menggemaskan "Iya, kan di sini varian rasanya banyak banget, Gua bingung mau pilih yang mana, ya udah gua pesen semua hehe." Mendengar itu Langit hanya bisa menghembuskan napasnya panjang. Namun sebenarnya ada senyum yang merekah di wajah Langit, melihat cara Amarta mencoba satu persatu es cream di hadapannya, kadang ia mencoba mencapur semua rasa di cup yang sudah kosong. Terkadang ia sangat senang karena perpaduan yang ia ciptakan itu rasanya sangat enak menurutnya.

"Seharusnya toko es cream ini bisa dong bikin es cream rasa Vanila di mix sama jeruk dan oreo. Rasanya enak tahu, gua aja bisa buat rasa seenak ini, ya kali toko es cream segede ini nggak bisa." Ujar Amarta sembari terus memakan es creamnya tanpa peduli mulut dan pipinya kotor berisi es cream yang ia makan. Langit refleks mengambil tisu dan mengelap sisa es cream di mulut Amarta. Seketika keduanya terdiam membeku, mata mereka kini saling beradu. Namun Langit bergegas mengalihkan kecangungan itu dengan candaan.

"Lo itu makan kek bocah, belepotan nggak jelas." Ujar Langit namun ia sama sekali tidak menatap Amarta saat mengucapkan itu, ia salah tingkah tak jelas. Namun hatinya sangat bergetar, keringat dingin tiba-tiba saja keluar, tubuhnya seakan memanas, bahkan telinganya pun sudah memerah.

"Habis ini kita pulang ya!" Langit mencoba menormalkan perasaannya. Amarta pun hanya menganggukkan kepala sembari fokus memakan es cream yang ia pesan tadi, masih tersisa satu es cream yang harus ia habiskan.

"Kita udah janji sama Bunda buat pulang awal kan?" tambah Langit agar Amarta sedikit bergegas untuk menghabiskan es creamnya.

"Iya-iya ih bawel banget." Gerutu Amarta tak suka. Akhirnya Langit pun berdiri untuk membayar semuanya di kasir.

"Lo tunggu di sini dulu, gua mau bayar." Amarta menganggukkan kepalanya. Di kasir Langit menyerahkan black card. Siapa yang tidak mengenal Langit, anak orang terkaya di kota ini. Namun semua itu bukan uang dari Ayahnya, ia sebenarnya memiliki usaha sendiri, sebuah perusahaan yang diberikan kakeknya Kepada Langit. Seteleh selesai membayar Langit kembali ke meja tempatnya ia dan Amarta makan es cream.

NestapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang