Bagian 13. Ketahuan

16 9 4
                                    

Aoi menghela napas lelah sambil melirik jam yang memutarkan stop watch di lengannya. Dia sudah berlari sekitar 100 meter sedari pagi menjelang siang ini. Akhirnya, sekarang Aoi duduk sejenak, beristirahat di trotoar, memandangi toko es gelato. Tidak sadar, ternyata Aoi memutar arah----sekarang dia berada dekat dengan tempat les.

"Aoi!" Suara yang familier memanggil namanya. Lantas, Aoi menoleh dan mendapati Katsumi Jurou dan Hotaka Ichiro yang sedang berjalan tidak jauh dari tempat Aoi duduk. "Kamu joging pagi ini?"

Aoi tersenyum. "Tentu saja. Kalian ada di sini, sedang apa?"

"Oh, tidak. Aku hanya mengantar Katsumi," Ichiro menyenggol lengan Jurou yang tersipu, "Katsumi sedang jatuh cinta dengan seorang pemandu sorak dari sekolah tetangga."

Jurou menginjak kaki Ichiro. "Kamu bisa diam tidak? Rasanya lebih baik aku cerita pada Aoi lebih dulu daripada ke kamu."

"Benarkah? Di mana orangnya?" tanya Aoi.

"Itu," Ichiro menunjuk ke arah tempat les Aoi sambil terkikik geli, "di sana, dia sedang mendaftar les bersama teman-temannya. Jadinya, Katsumi juga ingin mendaftar ke sana."

Katsumi Jurou semakin tersipu, dia mendorong Ichiro, membuat laki-laki dengan rambut pirang cepak itu tertawa.

Aoi tersenyum lebar. "Baiklah, kamu sudah mendaftar? Ayo aku antar. Itu tempat lesku."

"Oh, apa adikmu juga les di sana?" tanya Ichiro.

Aoi diam sejenak, kemudian menggeleng. "Tidak. Dia tidak les. Dia ikut kursus piano dan komik. Jauh dari sini."

"Kupikir dia juga mengambil les yang sama, mengingat kalian memiliki banyak kesamaan." Ichiro tersenyum, tapi dibalas senggolan oleh Jurou. Sebenarnya, dibandingkan Jurou yang pendiam, Ichiro termasuk laki-laki yang blak-blakan. Seringkali laki-laki itu banyak bicara yang tidak memikirkan lawan bicaranya sama sekali. Seperti sekarang.

Jurou sangat tahu, kalau Aoi tidak menyukai Ame, karena posisi mereka yang hanya sebatas adik-kakak tidak kandung. Jurou ingat betul hari di mana dia menemukan Aoi yang berdiri di dekat jembatan dengan tatapan kosong---Jurou juga sangat ingat betapa sayangnya Aoi pada ibunya.

Hari itu, tepat saat hari kelulusan di SMP, ibu Aoi mengalami kecelakaan saat hendak datang ke acara di sekolah. Karena kecelakaannya sangat fatal, ibu Aoi meninggal di tempat, bahkan sebelum ada yang membantu. Tentu Aoi terpukul. Terlebih, selang beberapa bulan, ayahnya membawa kabar bahwa dia akan menikah.

Dan bertemulah Aoi dengan Ame. Seorang anak laki-laki frontal yang banyak bicara, sangat berkebalikan dengan Aoi yang pendiam.

Sebenarnya, Ame tidak melakukan apa pun yang membuat Aoi terluka, atau melakukan hal aneh yang biasanya terdapat pada telenovela tentang adik tiri yang jahat. Ame terbilang dapat mengerti posisinya, tapi Aoi tidak dapat memungkiri bahwa plat nomor yang dilihatnya di CCTV, yang menabrak mobil ibu Aoi, adalah plat nomor ibunya Ame.

Memang benar, yang mengendarai mobil saat kejadian itu bukanlah ibu Ame, melainkan seorang supir yang hendak menjemput, tapi tetap saja. Rasanya Aoi tidak dapat merelakannya, tidak dapat menerimanya, semuanya terasa janggal dan Aoi tidak menyukainya.

Hingga sekarang, Aoi tidak menganggap ibu Ame dan Ame selain orang-yang-tinggal-satu-rumah dengan embel-embel "ibu".

Bagi Aoi, tidak ada yang dapat menggantikan sosok ibunya, sekalipun itu orang yang sangat baik dan dapat menyayanginya dengan tulus, tidak akan pernah ada.

Sampai kapanpun.

Ichiro melipat bibir. "Maaf," katanya, lalu dibalas anggukan oleh Aoi.

"Jadi bagaimana?" Jurou berjalan, beriringan dengan Aoi dan Ichiro.

Aoi tersenyum. "Kamu tinggal daftar, isi formulir, lakukan tes, dan berhasil atau tidaknya itu sesuai kualifikasi dsn hoki."

Ichiro tertawa. "Kamu coba saja dulu, menang tidaknya akan jadi bonus."

Jurou akhirnya mengangguk, lantas berjalan lebih dulu untuk masuk ke dalam, sebelum kemudian berhenti, dan menarik tangan Ichiro untuk diajak masuk bersama.

Aoi terkekeh dibuatnya.

***

Lain tempat, lain perasaan. Lain raga, lain pula rasa peka. Ayumi menghela napas berkali-kali sebelum kemudian memejamkan mata erat, mencengkeram celananya, dan membalikan badan keluar dari sana---untuk memberanikan diri masuk ke dalam tempat les.

Namun, sebelum Ayumi benar-benar sampai di sana, seseorang mengangetkannya dengan berjalan ke arah sisi dinding tempat les. Tidak, orang itu tidak mengejutkan Ayumi dengan berteriak atau semacamnya.

"A-akihiko-san?" Ayumi terdiam.

Aoi sendiri jadi ikut mematung, memandangi wajah kuyu Ayumi dengan mata sembab dan hidung merah, wajahnya sangat tampak seperti orang yang habis menangis sangat lama.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Aoi.

Ayumi terpana. Dia lalu mengangguk dan kemudian menggeleng cepat.

"Kamu mau ke mana?" Aoi bertanya lagi.

Ayumi melebarkan senyum. "Mau daftar les! Aku juga mau pintar. Kamu akan aku susul."

Lantas, gadis itu berjalan mendahului Aoi.

Dan terlihatlah kini, Ayumi berdiri di depan pintu les dengan kaki gemetar. Dia melirik sedikit ke dalam, menimbang-nimbang, sebelum kemudian melangkahkan kaki untuk benar-benar masuk.

Aoi menarik senyum teramat tipis, lalu ikut masuk ke dalam.

Belum sempat Ayumi duduk, Ichiro memanggil nama lengkapnya dengan lantang.

"Oh, Morikawa Ayumi-san!"

Sontak, tiga cewek lain yang hendak daftar les menoleh ke arah Ayumi. Mereka memusatkan atensinya kepada gadis itu, sebelum nyengir dan berjalan mendekat.

Ayumi kemudian duduk, berusaha menghalau perasaan dan pikiran-pikiran buruk. Dia sudah berubah, bagaimana pun semuanya akan baik-baik saja.

Satu tangan tiba-tiba merangkulnya, lantas Ayumi menoleh dan mendapati Sankei Dea---tengah tersenyum.

Ayumi melepas paksa tangannya yang merangkul dengan gemetar. "Siapa kalian?" tanya Ayumi. Oh, sungguh pertanyaan yang bodoh.

"Tapi, herro! Kami kenal lho kamu siapa," yang satu lagi ikut berbicara, memegang rambut Ayumi.

"Sulit menemukanmu, ternyata sekarang kamu berubah."

Ayumi tersenyum, memukul tangan Nagasaki Kiara yang memegang rambutnya. "Aku tidak kenal."

"Oh, ya?" Dea berkacak pinggang, mendekatkan diri ke kuping Ayumi. "Morikawa Ayumi, lulusan A dari SMP Hiragakkei."

Mata Ayumi membola, suaranya membuat Ayumi merinding.

Dan, bohong namanya kalau Ayumi bilang dia tidak takut sekarang. Lihat tangan dan kakinya gemetar.

"Permisi," suaranya tenang dan familier, membuat Ayumi mendongak dan Kiara segera menarik rambut Ayumi kencang, membuat gadis itu mendongak, merasa perih.

"Hentikan." Aoi menarik tangan Ayumi, membuat gadis itu berdiri dan keluar dari tempat les, meninggalkan tiga orang yang berdiri mematung.

Jurou dan Ichiro saling melirik. Mereka bengong.

***

Your LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang