"Hentikan, A-akihiko-san." Ayumi menggigit bibir bawahnya, dia berkata sambil bangun dari duduk.
"Ayumi." Aoi menahan dengan menggapai telapak tangan Ayumi, laki-laki itu ikut bangun.
"Jangan katakan apa pun lagi, itu semua sudah selesai." Ayumi tidak menoleh ke belakang, dia menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca dengan rambut, fokus menatap air mancur. Namun, Ayumi juga tidak melepaskan genggaman tangan Aoi.
"Iya, aku mengerti." Aoi mengeratkan pegangan tangan. "Aku terlambat."
Ayumi menunduk. "Semua yang terlambat itu percuma."
"Suratmu--"
"Buang saja. Itu tidak berguna. Awal dari masalah ini adalah suratku. Aku yang bodoh karena kupikir kamu akan tersentuh, aku yang gila karena berpikir dengan berubah semuanya akan jauh lebih baik. Aku naif, Akihiko-san. Aku kehilangan semuanya hanya karena jatuh cinta kepadamu." Ayumi melepaskan tangan, membuat tangan Aoi menggenggam angin. "Itu salah, bukan?"
Aoi mengerutkan alis, dia ikut menggigit bibir bawah sebelum kemudian memberanikan diri untuk menyentuh kedua bahu Ayumi, membalikkan badannya dengan paksa agar berhadapan. Dan kini terlihatlah wajah Ayumi yang memerah menahan malu dan marah, lalu Ayumi juga melihat wajah Aoi yang putus asa.
Ayumi tidak mengerti Aoi, selama ini pun Aoi tidak mengerti Ayumi. Betapa menariknya gadis itu dengan segala yang dia punya, betapa senyumnya begitu menghangatkan, betapa tawanya kadang dirindukan. Aoi menutup diri untuk didekati, Aoi menghalau fakta datang bahwa dia tahu Ayumi si Pengirim Surat. Laki-laki itu sibuk berkhayal bahwa keluarganya baik-baik saja, laki-laki itu sibuk mengulur waktu dengan mempersiapkan diri agar bisa menata perasaannya untuk berhadapan dengan Ayumi.
Entah kapan perasaan ini muncul, rasa rindu yang begitu menyiksa semenjak Ayumi cuek membuat Aoi hilang akal. Dia tidak mengerti dirinya sendiri, lantas bagaimana caranya Aoi mengerti Ayumi? Dia bahkan belum pernah jatuh cinta sampai rasanya benar-benar gila begitu melihat Ame selalu selangkah di depan untuk Ayumi. Ada rasa sakit yang mencubit-cubit hati, ada rasa sesak yang diam-diam menyelinap.
Aoi sadar dirinya payah. Aoi perlu ditampar agar lebih sadar lagi bahwa mengerti perasaan orang lain juga penting. Kini karena sering mengulur waktu, Ayumi pergi.
Aoi tidak memiliki kesempatan lagi.
Sama seperti Ayumi, Aoi juga kehilangan semuanya. Sejak dulu pun, dia sadar bahwa dirinya tidak memiliki siapa-siapa. Ayah, ibunya yang pergi, ibu tirinya, Ame, teman-temannya, bahkan Ayumi ....
Aoi tidak dapat menjaganya secara bersamaan. Dia terlalu kacau.
Akihiko Aoi benar-benar kacau.
"Aku yang bodoh, Ayumi. Entah kamu akan membenciku setelah ini, entah kamu akan menjauh dan cuek, rasanya memang seperti itu harusnya dari awal." Aoi melepaskan tangannya, dia tersenyum. "Aku mencintaimu," Aoi menunduk, "aku mencintaimu," katanya, sekali lagi.
Ayumi membuka kacamatanya, dia menangis. Lantas tangan lain menutup matanya yang berair itu.
Aku juga, kata Ayumi dalam benak. Aku juga mencintaimu.
Tapi aku tidak bisa lagi.
"Maaf, aku harus pulang." Ayumi membalikkan badan, dia berjalan menjauh.
Aoi mengepal kuat tangannya.
Sama seperti dulu, dia merelakan seseorang pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Aoi tidak mampu mengejar, Aoi tidak mampu menghalau.
Dia terjebak dengan pikirannya, Aoi kalah telak dengan perasaanya.
***
Ayumi berjalan keluar taman, tepat saat seseorang keluar dari mobil. Orang itu adalah Miki. Melihat Ayumi yang berjalan sambil mengusap-usap matanya, Miki menduga adiknya menangis. Karena itu, dia segera mendekat.
"Yuuchan, daijoubu?" Miki bertanya, mengelus punggung Ayumi.
Ayumi mengangguk, kemudian menggeleng. "Aku menyelesaikannya."
"Apa? Menyelesaikan apa?"
Ayumi menahan napas, dia mendongak. Dadanya benar-benar sesak. "Aku mau makan ayam goreng yang pedas, kue beras pedas, aku juga mau pergi karaoke. Boleh ya, Kak?"
Miki mengerutkan alis heran. "Ha? Ada apa denganmu?" Kakaknya membuka pintu mobil. "Apanya yang diselesaikan? Dan kenapa mau makan ayam? Pergi karaoke?"
"Aku mau pesta besar." Ayumi tersenyum bangga. "Sudah, ayo masuk! Cepat pergi makan ayam."
Miki tersenyum aneh, sebelum kemudian masuk ke dalam mobil dan melaju, membawa mereka berdua ke restoran ayam.
Miki mengerti apa yang dimaksud dengan "pesta besar" yang adiknya katakan.
Banyak ayam goreng pedas tersaji di atas meja dengan saus tambahan. Ayumi ada di hadapannya dan mengambil suapan besar. Adiknya itu seperti orang yang kelaparan, tapi Miki membiarkannya. Karena bagaimanapun juga, sudah lama dia tidak melihat Ayumi yang seperti ini.
Entah apa yang membuat dia menangis, Miki berharap adiknya bisa menceritakan apa yang dia rasa pada Miki suatu saat nanti.
Setelah makan, mereka pergi karaoke. Di sinilah, Miki dan Ayumi tertawa terbahak-bahak karena menyanyikan lagu India sambil berjoget.
Rasanya sangat riang, Ayumi merupakan perasaannya yang kalut sejenak. Sebelum kembali pulang dan berkemas.
Dia akan pulang.
***
Surat lagi
Benar, aku menulis lagi
Karena aku tidak punya kemampuan, tidak banyak keberanian
Nyaliku ciut, pikiranku kalut
Lidahku kelu
Aku sudah kalah telak dengan otakAyumi tersenyum.
Indah tawamu, lepaslah semu
Memikirkan namamu membuatku malu
Bolehkah aku memimpikanmu?Tidak, tidak boleh
Kamu bukan milikku
Kali ini kamu adalah Tuan tak bernama
Tuan yang membuatku tersenyum
Tuan yang ada tanpa banyak bertanya
Tuan yang menyayangiku tanpa banyak alasan
Siapakah kamu, Tuan?Aku kacau
Katanya hidup sudah memiliki benang yang disebut takdir
Tapi kenapa harus memilih saat semuanya sudah ditentukan?Ayumi menidurkan kepalanya di atas meja, dia memejamkan mata sejenak sebelum membukanya lagi.
Malam yang dingin, Ayumi berada di kamarnya. Dia sudah berkemas. Namun, perasaan sedih di hati itu datang lagi, berakhir Ayumi menulis dengan kata-kata puitis.
Bagi Ayumi, menulis sesuatu yang tidak dapat diungkapkan itu sesuatu yang menenangkan.
Untukmu Tuan tak bernama
Aku sudah selesai berharap
Aku sudah selesai untuk tahu
Saatnya pergi, semuanya sudah semuHilanglah, aku melepasmu
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Letter
Teen FictionSetelah sekian lama menulis, akhirnya pada musim dingin pertama di kawasan Umeda, Morikawa Ayumi mulai memberanikan diri untuk mengambil langkah sedikit lebih maju: menyimpan surat-surat berisi puisi itu dalam tas seseorang. Perahu tanpa berlabuh ti...