"Aoi, sudah pulang?" tanya ayah Aoi ketika melihat anak sulung laki-lakinya keluar dari dapur. Dia baru saja pulang, sekarang tengah memasak telur. "Ayah tidak sadar kamu sudah pulang."
Aoi tersenyum. "Ya."
Ayahnya membalas senyum. "Nak, mau ikut Ayah jalan-jalan sebentar? Telur itu nanti ibumu yang bereskan. Ayo bicara dengan Ayah."
Aoi diam, dia membuang wajahnya, sedikit merasa canggung. "Mau ... ke mana?"
Ayah tidak menjawab, beliau malah tersenyum dan bangun dari duduk, berjalan keluar rumah dengan kunci mobil di tangannya. Aoi tidak bertanya lagi, dia mengekor ayahnya dari belakang, ikut masuk ke dalam mobil, dan mobil pun melaju.
Entah ayah akan membawa Aoi ke mana, yang pasti ke jalan yang pernah mereka lalui, tapi kini terasa asing. Jalanan yang teduh dengan pohon di kanan kirinya, menaiki lembah, dan menepi di jalan sepi. Aoi segera turun dan merasakan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya. Hijau rerumputan membuat hati tenang, seperti rasa yang selama ini Aoi rindu.
Ayah berjalan lebih dulu dengan pelan, Aoi lagi-lagi hanya mengikuti. Hingga akhirnya mereka berhenti di atas lembah, berdiri di depan sebuah pusara dengan buket bunga putih segar di atasnya. Tampaknya ada yang berziarah dengan rutin. Aoi merasakan sesak di dada, tanpa sadar jadi mengepalkan tangan.
Ini adalah pusara ibunya. Akihiko Arisa. Wanita paling cantik dan paling lembut yang pernah Aoi temui, wanita yang selalu dirindukannya setiap saat.
Aoi menggigit bibir bawah. Tampaknya, hanya dengan melihat pusara itu, hatinya terenyak. Dia banyak melalui masalah, tapi kenapa Aoi lupa kalau ibu selalu ada di sisinya? Kenapa Aoi lupa untuk berkunjung? Dia ingin menangis, tapi Aoi tahan. Tidak. Tidak boleh di sini. Ada ayah.
"Kenapa Ayah bawa aku ke sini?" tanya Aoi, berusaha agar suaranya tidak bergetar.
"Dulu, Arisa selalu menegur ayah untuk tidak terlalu keras dalam mendidikmu. Arisa selalu ingin kamu untuk menjadi dewasa dengan penuh kasih sayang, tapi aku menolaknya. Itu karena aku tidak mau apa yang terjadi denganku dulu terjadi padamu, Aoi." Ayah menoleh ke arah Aoi. "Aku selalu memintamu untuk kuat, untuk tidak menangis, berusaha untuk tekan emosimu, hingga saat Arisa pergi, kamu benar-benar tidak menangis sama sekali. Maafkan Ayah, Nak."
Aoi tidak menggubris.
"Ayah terlalu memaksakanmu, ya?" Ayah meluruskan pandangan, menatap pusara. "Ayah tidak mengerti perasaanmu bagaimana, Ayah juga tidak meminta pendapatmu tentang Riria, dan menikah tanpa persetujuan kamu."
"Kenapa Ayah menikah dengannya?" tanya Aoi cepat.
"Karena Ayah pikir kamu membutuhkan Riria. Ayah ingin kamu dewasa, tapi Ayah juga masih melihatmu sebagai putra Ayah yang kecil. Setelah kepergian Arisa, kamu mengurung diri, menjadi kaku. Jadinya Ayah pikir, dengan adanya Ame juga---"
"Aku," Aoi menekan kata-katanya, "Aku tidak mengerti apa-apa, Ayah. Kenapa ... secepat itu, apa Ayah tidak memikirkan Ibu? Apa ayah, aku, aku sangat sedih. Aku tidak tahu. Aku tidak mengerti. Kenapa ayah melakukan ini, sesuatu yang salah, demi aku ..., yang bahkan aku tak merasa membutuhkannya ...."
"Aoi ...."
Air mata Aoi lolos. "Aku tidak dapat menahannya lagi, Ayah. Aku orang yang lemah." Aoi melangkah, berlutut di depan pusara ibunya, menunduk. "Aku tidak tahu, aku bingung. Semuanya terasa sangat kacau."
Ayah ikut berlutut, menyentuh bahu Aoi. "Nak, maafkan Ayah," katanya, suara ayah begitu lirih.
"Aku ... aku merindukan Ibu." Aoi memejamkan mata, semuanya luruh, Aoi ingin semuanya luruh.
"Maafkan aku, Arisa. Aku telah ceroboh dalam mengambil keputusan." Ayah mengepal tangannya. "Jika kamu ingin bermain, ingin pergi ke mana pun, berekspresi seperti apa, Ayah tak akan lagi melarang, Nak. Lakukan apa yang kamu mau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Letter
Teen FictionSetelah sekian lama menulis, akhirnya pada musim dingin pertama di kawasan Umeda, Morikawa Ayumi mulai memberanikan diri untuk mengambil langkah sedikit lebih maju: menyimpan surat-surat berisi puisi itu dalam tas seseorang. Perahu tanpa berlabuh ti...