Aoi membawa Ayumi menjauhi tempat les. Kejadiannya sama seperti kemarin, tapi kini Ayumi melepas paksa cengkeraman tangan Aoi, membuat laki-laki jangkung itu menghentikan langkah dan membalikan badan, menatap Ayumi.
Keduanya bertemu pandang. Ayumi dengan hati yang berdebar, Aoi dengan perasaan heran.
"Kenapa menarikku keluar?" tanya Ayumi akhirnya, melepas keheningan di antara mereka berdua.
"Karena kupikir, kamu sedang kesusahan." Aoi menelengkan kepala. "Mereka teman-teman yang merundungmu, bukan?"
Ayumi terdiam sejenak, sebelum menunduk. Aoi tahu tingkah itu, seolah selama ini sudah sering Ayumi perlihatkan, membuatnya sadar kalau tingkah itu adalah tingkah tertangkap malu dan tidak mau mengaku.
"Aku akan pulang." Ayumi berjalan mendahului, tanpa menoleh lagi ke belakang.
Aoi memerhatikan gadis itu yang mulai menjauh, sebelum akhirnya dia ikut melangkah diam-diam, mengekorinya.
Untuk Ayumi sendiri, dia tidak mau merasa dikasihani. Apa yang dilakukan orang-orang itu saat dulu tidak ada hubungannya dengan Aoi sekarang. Ayumi senang jika Aoi perhatian padanya, tapi Ayumi sungguh tidak suka jika rasa kasihnya dibalas dengan kasihan.
Ayumi tidak butuh itu.
Terlebih, apa yang dia lakukan sekarang? Berjalan menjauhi tempat les seperti pengecut? Apa Ayumi akan mengulangi kesalahannya lagi degan lari dari masalah?
Tidak ada yang berubah, hari ini atau saat dulu. Ayumi tetaplah seorang pengecut, bahkan saat sekarang di mana Ayumi akan pergi jauh dua minggu lagi ke Indonesia, meninggalkan banyak hal di sini.
Termasuk laki-laki itu. Aoi, sang pujaan hatinya.
Ayumi menghentikan langkah, tepat di jembatan yang dipenuhi rindangnya pohon sakura. Dia mengepalkan tangan. Rasanya, debaran jantung yang senang itu berubah menjadi tidak mengenakkan.
Sama seperti yang dilakukannya sekarang, apa iya Ayumi harus meninggalkan Aoi dengan perasaannya yang belum terjawab sama sekali?
Ayumi membalikan badan, dan mendapati Akihiko Aoi tengah berdiri tidak jauh darinya. Laki-laki itu masih menatap Ayumi, seolah tengah mengawasi dari kejauhan.
Memangnya apa yang menyenangkan dari menyimpan sayang sendirian? tanya Ayumi dalam benak, lalu melanjutkan, tidak ada. Sebenarnya tidak ada.
Angin berembus bertepatan dengan Ayumi yang melangkah maju, mendekat pada Aoi. Gadis itu kemudian membuka tasnya, mengambil surat.
Aoi memerhatikan.
Apakah aku siap jika suatu saat nanti merasakan kehilangan? Ayumi menatap Aoi.
"Surat?" tanya Aoi.
"Minggu, bukan?" Ayumi ikut bertanya, tersenyum.
"Oh," Aoi mengangguk, "iya, aku sudah menduga kalau kamu yang memberikan suratnya."
Senyum Ayumi surut. "Kamu ... tahu?"
"Kenapa tidak? Aku pernah tidak sengaja melihatmu membuka tasku diam-diam. Kemudian salah satu anggota tim basket juga pernah melapor padaku."
"Ah, ya. Mana mungkin kamu tidak tahu." Gadis itu meremas suratnya. "Aku yang bodoh berarti."
Tidak disangka, detak jantung Ayumi semakin cepat, tapi bukan karena perasaan senang. Entahlah, rasanya sulit dideskripsikan. Seolah ekspetasi Ayumi selama ini hancur, seolah seluruh angannya untuk Aoi dijatuhkan, seolah usahanya sia-sia.
Ayumi memang mencoba untuk menjadi pengagum rahasia, karena baginya sangat sulit untuk mengumpulkan keberanian menyatakan perasaan. Walau sebagian orang pandai berbicara, mereka tetap memiliki kekurangan, mereka tetap memiliki kelemahan. Begitu pula Ayumi.
Dia kesulitan menyembunyikan perasaan, dia juga kesulitan jika ingin menyatakannya dengan terang-terangan.
Ayumi cinta Aoi, itu fakta. Tidak dapat dihapuskan atau diubah statusnya begitu saja.
Keheningan terjadi begitu lama, sampai tidak sadar Ayumi meneteskan air matanya. Gadis itu membiarkan, karena menurutnya, ini yang terakhir.
"Kamu ... menangis?" Aoi mendekat, membuat Ayumi mendongak menatapnya, dan saat itu pula langkah Aoi terhenti.
"Aku cinta sama kamu." Suaranya tercekat, air matanya masih berjatuhan. "Aku sayang sama kamu." Alis Ayumi berkedut, dia menarik napas. "Aku memang bodoh."
Aoi terdiam, tidak tahu harus berbuat apa.
Ke mana Aoi yang heroik seperti tadi yang menariknya dari tempat les?
"Aku sok-sokan menjadi pengagum rahasiamu, tapi semuanya sia-sia karena kamu tahu," suara Ayumi bergetar, "dan kamu diam saja tanpa mengatakan apa pun tentang itu."
Aoi masih terdiam.
"Bahkan sekarang, saat aku sudah mengaku pun, kamu tetap diam." Ayumi menyeka air mata. "Entah aku yang payah atau kamu, aku tidak tahu," katanya.
Dan dengan begitu, Ayumi membalikan badan, berjalan cepat menjauhi Aoi yang berdiri mematung, dengan segala pertanyaan yang tumpang-tindih dalam benaknya.
***
Bohong. Semua yang Ayumi katakan pada Keyko tentang kesiapannya dalam jatuh cinta adalah kebohongan. Apa yang dia tulis menjadi puisi di kertasnya juga adalah kebohongan. Ayumi tidak siap, Ayumi juga tidak tahu harus menyikapi bagaimana sekarang.
Aku bodoh. Ayumi menyeka air matanya lagi. Sekarang dia ada di jalan menuju rumah.
Ayumi mengerti. Kebodohannya dalam memprioritaskan diri agar dekat dengan Aoi adalah salah. Ayumi rela mengganti banyak hobinya dan penampilan agar dapat menarik perhatian Aoi, Ayumi juga rela masuk SMA agar dekat dengannya. Mengenal Aoi membuatnya lupa banyak hal.
Ayumi kehilangan dirinya sendiri, dia rela melakukan banyak cara sedangkan Aoi tidak peduli.
Ayumi meremas suratnya, lalu merobek dan membuangnya sembarangan.
Dia tidak kuat, akhirnya Ayumi berjongkok di sisi jalan dekat tiang listrik sambil memeluk lutut dan menyembunyikan kepala di sana. Ayumi menangis. Rasa sakitnya masih terasa jelas, dan ini adalah kali pertama.
Ayumi sudah melakukan banyak kesalahan. Sekarang, rasanya tinggal kembali menjadi dirinya sendiri dan memperbaiki keadaan. Apa yang ayah perintahkan juga sudah tidak terlalu berat untuk Ayumi.
Untuk Aoi, Ayumi akan berubah. Selama ini sikap yang mungkin merepotkannya itu akan hilang.
Saat itu juga, sore itu, Ayumi berjanji untuk tidak mengganggunya lagi.
Gadis itu menyeka air mata, lalu mendongak dan mendapati seseorang tengah ikut berjongkok di hadapannya sambil memegang ponsel.
Ketika Ayumi menelengkan kepala, laki-laki itu menjauhkan ponselnya dari wajah, dan tampaklah Ame di sana.
"Ame-kun ....?"
Ame tersenyum. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya, lalu mengulurkan tangan agar Ayumi bangun. Gadis itu membalas uluran tangan, ikut bangun, dan entah mengapa, dia menarik senyum tanpa diminta.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Letter
Teen FictionSetelah sekian lama menulis, akhirnya pada musim dingin pertama di kawasan Umeda, Morikawa Ayumi mulai memberanikan diri untuk mengambil langkah sedikit lebih maju: menyimpan surat-surat berisi puisi itu dalam tas seseorang. Perahu tanpa berlabuh ti...