Bagian 2. Pangeran dan Ibu Peri

111 46 104
                                    

Bersenandung sambil menyikat gigi di kamar mandi, Ayumi melihat sekantong plastik tergeletak di bawah wastafel. Dia tahu kertas apa itu: kertas-kertas ulangan minggu lalu. Ada begitu banyak, dan nilainya merah dengan tanda minus (-). Meski Ayumi pandai dalam membuat kerajinan tangan, itu tidak menepis kenyataan bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Termasuk dirinya; cukup bodoh untuk mengerjakan tugas, tidak paham soal-soal algoritma matematika, pemalas, dan selalu memiliki nilai merah yang minus setiap kali hasil ulangan sekolah dibagikan. Dia awalnya biasa-biasa saja, tapi ini jadi tidak biasa karena Ayumi mulai kecanduan.

Ayumi Morikawa tersenyum. Jika semalam Ayumi tidak mengalami hal yang menyenangkan dengan salah satu orang favoritnya, mungkin pagi ini akan sangat kacau. Jika Aoi tidak memotivasinya untuk terus belajar, Ayumi tidak mungkin menekankan diri untuk belajar les. Jika saja Aoi tidak masuk SMA, Ayumi juga tidak akan masuk ke sana. Entah kenapa, Ayumi seolah bersikap-ingin-dekat dengan Aoi, tapi dia sadar caranya salah.

Dalam keluarga Morikawa, mayoritas anak remaja masuk ke sekolah kejuruan, agar setelah lulus nanti dapat langsung kerja----meski ada juga beberapa yang memilih masuk ke universitas. Namun, Ayumi berbeda. Dia tidak mengikuti para sepupunya untuk masuk sekolah kejuruan dan lebih memilih sekolah menengah akhir. Selain karena faktor biaya, ada hal lain yang membuatnya membulatkan tekad untuk masuk ke sekolah menengah akhir----Akihiko Aoi.

Laki-laki itu menjadi salah satu alasan besar Ayumi masuk ke sana.

Setelah selesai, Ayumi segera memakai baju seragamnya, sepatu, mengikat dua rambutnya, bibirnya dipulas penuh coral pink, tersenyum sebentar di depan cermin, lantas keluar dari rumah sambil sedikit berlari. Tidak lupa dia juga mengunci pintu, bersenandung dan menyapa pak Kiko----tukang angkut sampah, lalu para ibu-ibu kompleks yang sedang memilih sayur-mayur, dia juga menyapa kucing-kucing yang sedang berjalan di atas dinding, kucing yang baru saja melangkahkan kaki setelah bangun tidur langsung terkejut.

Setelah melewati delapan rumah, tiga belokan jalan, dia berhenti di sebuah rumah bertingkat dua dengan cet krem. Di halaman rumah itu ada mobil yang sedang dipanaskan, bunga-bunga cantik, dan satu orang laki-laki yang baru saja keluar dari pintu. Ayumi menarik senyum kecil, sebelah tangannya diangkat tinggi-tinggi dan melambai dengan suara ceria.

"Selamat pagi, Ame-kun!" teriak Ayumi.

Laki-laki itu, Akihiko Ame, yang tersentak karena sapaan selamat pagi dari Ayumi bengong sebentar, sebelum ikut tersenyum dan mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi sambil melambai. "Selamat pagi, Ayumi-chan!" katanya, dibalas gelak tawa Ayumi.

Ame berjalan mendekat, membuat Ayumi mencium parfum mangga yang tidak terlalu menyengat. "Mau berangkat bareng?" tanya Ame.

Morikawa Ayumi menganggukkan kepalanya beberapa kali, tapi matanya masih fokus melirik ke rumah itu, berharap satu orang lagi segera keluar dari sana.

"Apa yang kamu lihat?"

Ayumi menggeleng. "Tidak, aku hanya melihat, emm, merasakan juga sesuatu yang tidak biasa. Kau tahu, rumahku akhir-akhir ini juga begitu." Ayumi menutup mulutnya dan mengerutkan alis. "Apa jangan-jangan, setiap rumah yang sepi selalu mengeluarkan aura negatif?"

Ame tergelak. "Ada apa denganmu? Di rumahku masih ada orang."

"Oh, ya? Ayahmu belum pergi bekerja? Bibi tidak ke pasar? Lalu ... emm, apa, kakakmu sudah berangkat ke sekolah lebih dulu? Pagi-pagi sekali? Meninggalkanmu?" tanya Ayumi. "Apa berangkat sepagi itu sudah makan? Kamu tahu, tidak makan pagi dapat membuatmu sakit perut? Karenanya, apa kamu sudah makan? Apa ... kakakmu juga sudah makan?"

Maaf ya, Ame. Aku hanya basa-basi saja.

Ayumi melihat Ame seolah menatapnya dengan heran, tapi siapa pun selain Ayumi pasti tahu, bahwa laki-laki itu sekarang tengah menahan tawa.

Your LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang