Sore jumpa, segala acara di sekolah hari ini sudah selesai. Ayumi juga tidak mengantarkan pesanan sore ini, jadi dia memiliki banyak waktu luang.
Tentu saja Morikawa Ayumi tidak lupa dengan ajakan Ame kemarin, tentang mereka yang akan belajar bersama. Hanya saja, perasaan Ayumi sedang tidak baik. Terlebih, sore ini, saat Ayumi baru saja sampai di rumahnya, dia melihat satu mobil terparkir rapi di halaman. Itu menandakan ayah dan ibunya sudah datang, bahkan sebelum malam tiba.
Ayumi mengeratkan cengkeraman tangannya pada rok, terasa gugup dan takut, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa. Ini pilihannya, dan segala hal yang terjadi dalam hidupnya adalah tanggung jawab Ayumi.
Gadis itu melangkah masuk ke dalam, dan mendapati kursi di ruang makan penuh, menyisakan satu kursi kosong.
"Aku pulang," kata Ayumi pelan, tanpa menoleh, lalu melangkah naik ke lantai dua.
"Yuuchan, turun." Suara tegas dan serak ayah terdengar, membuat langkah kaki Ayumi di tangga terakhir terhenti. "Kalau tidak mau mendengar, terpaksa kamu harus pulang."
Ayumi menahan napas, dia membalikan badan dan kembali melangkah turun, duduk di kursi kosong.
Suasana yang tegang teramat mencekam, membuat makan malam bersama keluarga ini terasa memuakkan. Ayumi seolah memakan rumput, karena segala macam makanan enak yang menggugah jadi terasa hambar. Televisi dimatikan, suara lemari es yang menggerung dan detak jam dinding, Ayumi terjebak hening.
Tangan ibunya mengketuk-ketuk meja makan, sedangkan ayahnya melirik Ayumi yang tengah menundukkan kepala.
"Bagaimana dengan sekolah?" tanya ayah.
Morikawa Ayumi menelan ludahnya berat sebelum menjawab, "Baik."
"Baik" adalah jawaban yang netral daripada; hari ini aku telat masuk sekolah, lupa membawa uang jajan, merusak dekorasi festival, dimarahi habis-habisan oleh guru kesiswaan, diabaikan, didiamkan, sendirian. Namun, Ayumi tidak mengatakannya. Dia ingat semboyan keluarga Morikawa—kehidupan pribadi dan peristiwanya adalah privasi. Karenanya, sejak kecil hingga sekarang, Ayumi diajarkan untuk tidak menceritakan segala yang tidak penting pada anggota keluarga. Ayumi wajib menyimpannya sendirian. Jika sesuatu yang dijalaninya itu salah, maka Ayumi harus bisa introspeksi diri dan memperbaiki, jika sesuatu yang dijalaninya baik, maka Ayumi harus bersyukur tanpa harus tinggi hati.
"Hari ini kamu telat pulang." Ayah mengubah posisi duduk, lebih dekat ke arah Ayumi. "Bagaimana dengan hasil ujian?"
Morikawa Ayumi menoleh, menatap kedua manik biru milik ayahnya dekat. "Perlu beberapa perbaikan, tapi itu bukan masalah."
"Bagaimana itu bukan masalah kalau nilai di atas kertas ini," ayahnya kembali ke posisi semula, menyimpan kertas-kertas buram di atas meja, menyodorkannya ke arah Ayumi. "Adalah nilai rata-rata? Bahkan ada nilai merah. Bukan satu, tapi tiga, Yuuchan. Tiga."
"Kenapa Ayah begitu peduli? Aku bisa introspeksi diri. Ini juga termasuk privasi, bukan? Seperti semboyan keluarga Morikawa. Aku bisa mengurus masalahku sendiri."
"Morikawa Ayumi!" Ibunya membentak.
Ayumi tersentak, dia menatap ibu sebentar sebelum kembali menundukkan kepala.
"Nilai dalam keluarga Morikawa adalah keharusan. Terlebih kamu tidak masuk ke sekolah kejuruan. Kamu ingat apa janjimu dulu pada kami, Yuuchan? Kamu berjanji untuk giat belajar dan tidak sekalipun mendapat nilai merah di atas kertas ujian. Untuk mendapat peringkat terbaik. Tapi apa buktinya?" Ayahnya menyobek kertas ujian fisika milik Ayumi, tepat di depan Ayumi. "Omong kosong. Ayah mengizinkan kamu untuk sekolah menengah akhir, di sekolah yang bagus, untuk tidak mengikuti jejak kakakmu, tapi apa itu berakhir baik? Ini tahun ketiga kamu sekolah di sana, Ayumi! Dan nilai kamu .... mengecewakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Letter
Roman pour AdolescentsSetelah sekian lama menulis, akhirnya pada musim dingin pertama di kawasan Umeda, Morikawa Ayumi mulai memberanikan diri untuk mengambil langkah sedikit lebih maju: menyimpan surat-surat berisi puisi itu dalam tas seseorang. Perahu tanpa berlabuh ti...