Ayumi dan Keyko terus berjalan sambil sesekali berguyon, menyapa orang-orang yang terkesima melihat penampilan Ayumi, hingga akhirnya sampai di kelas yang sepi. Ayumi duduk di kursinya yang dekat dengan jendela. Semilir angin menerpa wajah, hangat matahari di sini pasti akan Ayumi rindukan.
Keyko membalikan kursi yang ada di depan meja Ayumi untuk menghadap ke arah gadis berkacamata itu. Dia tersenyum dan membuka ponselnya.
"Ini serius tidak apa-apa kita kabur?" tanya Ayumi.
Keyko terkikik. "Sebenarnya, sih, tidak boleh. Aku tadi hanya beralasan, karena ada Ame dan ... Aoi." Suara Keyko memelan.
"Iya, aku tahu." Ayumi menunduk, dia tampak sedih. "Aku juga melihatnya, aku juga sadar mereka ada di sana."
"Yuuchan ...."
"Ne, Yuko, bagaimana perasaanmu ketika cintamu ditolak hari Senin, dan hari itu juga ada yang menyatakan perasaannya padamu? Apa yang akan kamu katakan? Diam saja? Menghindar? Menjawab?" Ayumi menelengkan kepala. "Dan bagaimana jika tiba-tiba di hari Selasa dia yang menolak cintamu berbalik dan menyatakan suka?"
Keyko terdiam.
"Siapa yang akan kamu pilih?" Ayumi mendengkus. "Aku sedikit menyesal menulis surat-surat berisi puisi. Hontouni baka watashi."
"Apa itu tentang mereka?" Keyko menyentuh telapak tangan Ayumi yang dingin. "Apa Ame menyatakan perasaannya padamu?"
Ayumi menatap Keyko sejenak, sebelum kemudian membuang pandangan ke luar jendela. "Dia bilang tidak apa-apa kalau aku tidak menjawabnya."
Keyko tersenyum. "Ame benar-benar orang yang baik. Meski begitu, dia sepertinya mengharapkan jawaban, Yuuchan. Tidak ada orang di dunia ini yang ketika menyatakan perasaan, benar-benar mengakui bahwa dia tidak apa-apa jika perasaannya tidak terjawab sama sekali. Yuuchan, ketika manusia jatuh cinta, mereka tidak dapat bersikap normal. Ketika kamu benar-benar merasakan perasaan yang hangat, kemudian kamu bilang kalau tidak apa-apa menyimpannya sendirian, bukankah itu malah akan menyakitkan?" Keyko menghela napas. "Aku tahu kalau akhirnya akan begini."
"Aku memang bodoh ya, Yuko." Ayumi menggigit bibir bawahnya, dia menatap keluar jendela. Di depan Ayumi, Keyko dapat melihat dengan jelas air matanya mengalir, tetesannya jatuh ke atas meja. "Aku pikir Akihiko-san akan tersentuh ketika tahu aku berjuang untuk menyatakan perasaanku padanya, aku pikir ini akan berakhir baik. Tapi ternyata aku salah. Aku malah melakukan hal-hal bodoh yang egois."
"Itu tidak benar."
"Tapi itu kenyataannya. Aku membuang banyak hal, memperbaharui banyak hal, dan semua berakhir sia-sia. Aku kehilangan teman-teman yang baik di sini, aku kehilangan nilaiku, aku kehilangan kepercayaan kedua orangtuaku, dan aku harus pergi dari Jepang. Lebih dari itu, aku tertolak dengan diam. Setelah aku menyatakan perasaanku pun, aku tetap tidak tahu hatinya untuk siapa."
"Hey."
"Gomenne, Yuko." Ayumi menyeka air mata. "Aku benar-benar manusia yang egois."
Keyko berdiri dari duduk, dia berjalan dan memeluk Ayumi dari samping. "Sudah. Kan memang semua manusia itu egois, Yuuchan. Kita hanyalah satu di antara beribu manusia egois lainnya. Jadi jangan terlalu menyalahkan dirimu."
Ayumi mengangguk. "Kenapa harus sama kamu aku mendapat banyak kata-kata indah, Yuko?"
Keyko tertawa. "Itu karena kamu sahabatku!"
Ayumi menarik kedua sudut bibirnya. "Terima kasih, Yuko."
"No prob! Nontonnya tidak usah jadi ya ... se-sebenarnya, anu, aku tidak download filmnya ... dan, a-anu, ku-kuotaku ... etto.."
Ayumi tergelak. Dia mengerti, karena Keyko memerhatikan perasaan Ayumi. Untuk itu, tidak masalah.
Akhirnya, Ayumi dan Keyko menghabiskan waktu mereka di festival. Mereka banyak membeli makanan dan mencoba main game. Tentu itu menyenangkan, walau Ayumi sedikit tertekan karena Ame dan Aoi selalu melirik dirinya di tempat yang berbeda.
***
Sore yang cerah, Ayumi berjalan di sekitaran taman sambil menunggu Miki datang menjemputnya. Dia sudah berpamitan pada teman-teman perihal Ayumi yang akan kembali ke Indonesia besok, juga soal dirinya yang keluar dari sekolah.
Dia akhirnya duduk di sekitaran air mancur, dekat dengan pohon mapel.
"Dingin," kata seseorang ketika Ayumi memeluk dirinya sendiri.
Seseorang itu adalah Aoi.
Ayumi tidak menjawab, membuat Aoi langsung duduk di sebelah Ayumi.
"Katanya kamu kemarin sakit? Melihatmu sekarang sehat, sepertinya kamu sudah baik-baik saja." Suara Aoi sangat pelan. "Aku minta maaf, Ayumi."
Ayumi sedikit tersentak, ini adalah kali pertama Aoi memanggilnya dengan nama depan. Gadis itu segera memusatkan atensinya ke arah air mancur. Ayumi tetap cuek. Sampai kemudian, dia merasakan ada tangan lain yang menyentuh tangannya, seperti ingin menggenggam, tapi tidak. Aoi menyimpan tangannya di atas tangan Ayumi, hanya menyimpan, tidak beralih menggenggam.
Ayumi ingin menghindar, tapi Aoi keburu bilang, "Sebentar saja."
Gadis itu diam, dia tidak menjawab atau menggubris perkataan Aoi.
Mereka diam beberapa saat, sebelum kemudian Aoi memecah keheningan. "Aku juga suka padamu, Ayumi."
Perkataan pertamanya membuat jantung Ayumi berdegup cepat.
"Sama sepertimu, aku tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan perasaanku sendiri. Entah itu sedih, marah, atau bahkan perasaan senang karena jatuh cinta. Aku tidak mengerti hal-hal rumit seperti ini, Ayumi."
Gadis berkacamata itu masih diam, mendengarkan.
"Sejak kecil, aku diajar keras oleh ayahku. Ayah bilang, sebagai laki-laki, aku tidak boleh menangis, aku tidak boleh egois dengan menunjukkan emosi yang bisa saja memperburuk keadaan. Aku ditekan. Bahkan ketika ibuku pergi, aku tidak menangis. Karena jika aku menangis, sepertinya itu akan membuat keributan karena orang-orang akan bersikap empati." Ayumi masih diam. "Maaf jika aku membuatmu terluka tanpa sadar. Aku hanya tidak tahu ... aku tidak mengerti, Ayumi. Apa yang harus aku lakukan, apa yang harus aku katakan, bagaimana ekspresi yang harus aku tunjukkan padamu."
"Akihiko-san."
"Tapi aku terlambat. Aku pikir kamu akan terus datang padaku, tanpa ada niatan untuk memalingkan wajah. Aku salah mengira kamu akan selalu ada di sisiku." Aoi menundukkan kepala. "Aku terlambat oleh adikku."
Ayumi menggigit bibir bawahnya.
"Ame orang yang baik, bukan? Dia bersikap lebih dewasa daripada diriku."
"Aku---"
Aoi mengangkat wajahnya. "Apa pun jawabannya, siapa pun yang kamu pilih, aku akan baik-baik saja."
Ayumi menunduk, dadanya lagi-lagi sesak.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Letter
Teen FictionSetelah sekian lama menulis, akhirnya pada musim dingin pertama di kawasan Umeda, Morikawa Ayumi mulai memberanikan diri untuk mengambil langkah sedikit lebih maju: menyimpan surat-surat berisi puisi itu dalam tas seseorang. Perahu tanpa berlabuh ti...