PROLOG

238 41 10
                                    


"Sayang, suami mu sudah kabarin kalau mau pulang bulan depan ?" Gadis berwajah bulat ini menghentikan kegiatannya, menaruh lauk-pauk di meja makan.

"Belum Umi, mas Faisal belum telpon lagi." Gadis lugu itu menunduk takzim dihadapan mertuanya.

Sang Ibu diam mendengar penuturan dari menantunya, dirinya merasa sedih akan hubungan putra dan menantunya itu. Ini sudah empat tahun pernikahan mereka, tapi sepertinya komunikasi diantara mereka masih sama seperti diawal pernikahan mereka. Kaku dan sekedarnya saja.

"Assalamualaikum, loh ada apa iki Umi sama Shofia, pada diem-dieman begitu." Seorang laki-laki paruh baya masuk ke ruangan itu, sebelum ia duduk istri dan menantunya lebih dulu mencium tangannya dengan takzim.

"Waalaikumsalam." Jawab sang istri, nyai hajah Husna istri kiyai haji Rasyid.

Kiyai haji Rasyid penerus ketiga pondok pesantren Darul Huda, Pekalongan Jawa Tengah, biasanya para santri memanggilnya dengan sebutan Abah haji , beliau mempunyai dua orang anak, anak pertamanya ning Maisaroh diboyong oleh suaminya ke Kediri, suaminya putra tunggal dari kiyai haji Sanusi dan hajah Mariam penerus ke empat pondok Tahfiz Hidayatul iman.
Dan putra keduanya Ahmad Faisal Hafidz sedang meneruskan pendidikan S1nya di Kairo, Mesir. Istrinya bernama Shofiatul Widad, sama seperti Faisal, Shofia juga sedang melanjutkan pendidikan S1nya, di Indonesia. Di samping itu ia juga membantu mengajar para santri di pondok Darul Huda.

"Waalaikumsalam," jawab Shofia.

"Loh, malah pada diem ? yowes ayo makan dulu nanti baru kita ngobrol lagi." Kiyai Rasyid, mengerti ada yang tidak beres dengan bungkamnya istri dan menantunya, ia memilih untuk mengalah dan menunggu istrinya yang bercerita sendiri.

"Monggo Bah, mau pakai lauk apa ?" Shofia memberikan sepiring nasi tanpa lauk.

"Apa saja boleh." Shofia mengambil ayam kecap, tumis kangkung, serta tempe tepung, kedalam piring kiyai Rasyid, kemudian ia juga melakukan hal yang sama pada piring ibu mertuanya.

                                 ***
Setelah makan malam bersama mertuanya, Shofia kembali ke kamarnya, tepatnya kamar Faisal yang sekarang ia tempati. Mengerjakan tugas yang sebelumnya tertunda oleh makan malam, tapi belum sempat tangannya memegang keyboard laptop, bunyi handphone mengalihkan perhatiannya.

Klintung!

"Assalamualaikum, dek Shofia, sudah tidur ?" Pesan singkat dari aplikasi berwarna hijau, tertera nama "Mas Faisal"—suami Shofia—di atas layar obrolan.

"Waalaikumsalam, belum belum mas. Mas Faisal apa kabar ?" centang biru dua tertera di layar handphone Shofia. Namun, balasan dari Faisal belum juga ia terima.

"Alhamdulillah baik. Uang untuk kebutuhan Shofia, sudah mas transfer barusan." Selama berada di Kairo, Faisal tak pernah terlewat memberikan nafkah materi untuk Shofia, uang itu ia dapat dari mengajar ngaji privat. Saat libur kuliah, Faisal juga menjadi seorang transeletor, di sebuah travel milik orang tua murid ngajinya.

"Nggeh mas. Shofia sekalian minta izin, besok mau nginep di rumah ibu. Udah lama Shofia engga ke sana." Seperti kata Hasri—ibunya Shofia—meskipun sekarang Faisal sedang di luar negeri, tapi sebagai seorang istri, Shofia harus minta izin lebih dulu jika ingin bepergian.

"Boleh. Sudah dulu assalamualaikum." Tidak ada kata-kata romantis, cerita bagaimana kegiatan hari ini, atau menanyakan hal-hal receh seperti pasangan lainnya dalam setiap percakapannya dengan Faisal.

"Waalaikumsalam," ketik Shofia.

Hanya seperti itu, singkat, sekedarnya, dan jelas. Obrolan yang dari empat tahun lalu, tidak pernah berubah barang sedikit.

Pernikahan ini, sejatinya memang bukan kehendak dari pasangan suami-istri itu sendiri, melainkan keinginan dari para orang tua. Selain beribadah, balas jasa—walaupun jasa orang tua tidak akan terbalas— adalah salah satu hal yang melandasi pernikahan ini. Bisa melihat orang tuanya bahagia, dan tenang karena memberikan putri sulung mereka pada tangan yang tepat—setidaknya menurut orang tua Shofia— adalah kebahagiaan tersendiri bagi Shofia, begitu juga bagi Faisal.
                                  ***
"Shofia ...."

Shofia menundukkan pandangannya begitu mengetahui siapa pemilik suara yang memanggil namanya.

"Assalamualaikum," ucap Dwi.

"Waalaikumsalam, ada apa kak, Dwi ?"

"Ini, ada sumbangan dari beberapa donatur untuk acara amal ke panti jompo Minggu depan, tolong kamu masukin ke rekening organisasi dakwah kampus, dan buat rinciannya ya." Shofia menerima amplop coklat yang diberikan Dwi.

Shofia memang mengikuti organisasi dakwah kampus yang di Ketuai oleh Dwi, sementara Shofia, sendiri menjabat sebagai bendahara.

"Emm ... Shofia—" Ucap Dwi gugup.

"Iya, kak ?" Shofia menunggu kelanjutan ucapan Damar.

"Jangan terlalu capek ya ..." Shofia menyeritkan dahinya didetik-detik pertama, sebelum kemudian mengangguk pelan.

"Matur suwun kak."

Gimana-gimana, penasaran gak sama kelanjutan kisah cinta yang baru akan bersemi ini?
Jangan lupa komen, karena komen dari kalian mempengaruhi kecepatan up Author ...
Jangan lupa likenya juga ya sasay-sasay ku.

"Mas Gus'e Ukhibuka"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang