Warna jingga memang selalu mempunyai daya tarik tersendiri. Pun, dengan senja yang selalu menghipnotis para pencintanya. Namun, itu semua sepertinya kurang berkesan untuk Shofia, dibandingkan dengan berjalan-jalan sore, mengerjakan tugas kampus adalah pilihan yang Shofia ambil setelah mengikuti kajian untuk para santri Ulya. Tingkatkan yang lebih tinggi, dari pada Ula dan Wustha. Dikhususkan untuk para abdi ndalem, para alumni yang memilih untuk tinggal lebih lama di pondok, atau para santri yang mengikuti program khusus salafi.
Shofia, akan dengan senang hati mengikuti kajian itu, karena banyak remaja-remaja yang sebayanya atau bahkan lebih dewasa dari Shofia. Kajian itu sendiri tidak berlangsung setiap hari melainkan tiap Senin, Selasa, Rabu, dan Sabtu sore.
Di tengah keseriusannya mengerjakan tugas, lantunan sholawat Tabassam mengalun merdu dari handphone Shofia, pertanda ada penelpon. Nama kak Dwi, muncul dilayar gadget itu.
Tok!
Tok!
Tok!"Assalamualaikum?" Belum sempat Shofia, menyentuh tombol hijau, pintu kamarnya lebih dulu di ketuk oleh seorang. Shofia, kenal suara si pengetuk, itu pasti Mbak Lia. Salah satu abdi ndalem kepercayaan Umi.
"Waalaikumsalam, sebentar!" Setelah menjawab salam, barulah Shofia, menjawab panggilan dari Dwi, yang masih berdering.
"Hallo? assalamualaikum?" Sapa Dwi lebih dulu.
"Waalaikumsalam," jawab Shofia.
"Ma-maaf Shofi, Shofia sibuk?" Shofia terdiam sebentar, tugasnya memang tidak terlalu banyak, sehingga dia tidak terlalu sibuk, tapi ada Lia yang menunggunya di depan kamar.
"Emz ..." Shofia ragu ingin bicara bagaimana.
"Emm ... nanti aku telpon lagi ya, Shofi. Assalamualaikum." Dwi mengakhiri panggilan, sepertinya dia tau jika Shofia mempunyai urusan, tapi tidak bisa diceritakan.
"Waalaikumsalam." Jawab Shofia, setelah panggilan terputus.
***
"Umi jatuh di kamar mandi Ning." Ucap mbak Lia, setelah Shofia membukakan pintu dan bertanya keperluannya memanggil Shofia."Innalilahi ... terus sekarang Umi-nya gimana mbak?" Shofia melangkah ke kamar mertuanya didampingi oleh mbak Lia.
"Kaki Umi, keseleo. Sekarang lagi di urut sama mbak Nana." Shofia mengangguk.
Mbak Nana, masih salah satu santri di pondok pesantren ini, dia terkenal dengan kemampuan memijatnya yang sangat bagus, seperti seorang profesional. Katanya sih, dia cuman diajarin sama ayahnya yang kebetulan menjadi tukang pijat di kampungnya, dia juga kerap kali di panggil ke ndalem untuk memijat atau mengurut Umi, atau juga para abdi ndalem yang keselo.
"Assalamualaikum, Umi, Shofi boleh masuk?" Setelah mengetuk pintu, terlebih dahulu Shofia, meminta izin sang pemilik kamar. Adab dan akhlak sangat diutamakan di tempat ini.
"Waalaikumsalam, sini nduk !"
"Umi, gimana keadaannya ? ko, bisa sampai jatuh di kamar mandi ? mau Shofia bikini apa ?" Sambil duduk di pinggir ranjang, Shofia mengutarakan pertanyaan beruntun setelah mengalami kedua mertuanya.
Nyai Husna, tersenyum sesaat sebelum menjawab pertanyaan Shofia. "Tadi, Umi buru-buru dan mboten hati-hati pas mau ke kamar mandi, jadi'ne Umi, kepeleset. Cuman, sekarang udah lebih baik ko, sudah di urut sama mbak Nana."
Shofia, tersenyum ramah pada mbak Nana, yang masih telaten merawat kaki nyai Husna. Sebenarnya usia Mbak Nana, ini sebaya dengan Shofia, hanya terpaut satu tahun lebih tua dari Shofia, artinya seumuran Faisal.
***
"Mantu kita iku loh, baik tenan ya Bah ?" Tanya nyai Husna, pada suaminya setelah Shofia, berpamitan ke dapur untuk membuatkan nyai Husna, beras kencur dan bubur ayam kampung yang menjadi kegemaran nyai Husna.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Mas Gus'e Ukhibuka"
Lãng mạnDi umurnya yang masih belia Shofia terpaksa menikah dengan orang yang sama sekali tidak dikenalnya.