Part 1 [Sebuah Fakta kecil]

118 36 5
                                    

Jangan lupa kasih bintang dan komen untuk part kali ini.

Delapan Agustus empat tahun lalu ...

"Assalamualaikum...."

"Waalaikumussalam, tumben pulangnya awal, biasanya abis Asar baru pulang nduk," Hasri Ibunya Shofia tengah menyulam di teras kala anak sulungnya pulang mengucap salam.

"Shofia kan sudah ujian nasional bu, jadi mboten belajar lagi tinggal nunggu hasil kelulusannya, Ibu lagi nyulam baju buat Ayah nggeh ?" setelah mencium tangan sang Ibu Shofia duduk di lantai melepaskan sepatu, melihat Ibunya yang tengah menyulam baju koko.

"Ibu lupa nduk, kalau anak gadis ibu Iki sudah mulai dewasa, padahal rasan'e baru kemarin kamu nangis karena Ibu larang main air hujan ..." guratan kesedihan muncul dari wajah Hasri namun, buru-buru ia kembali tersenyum dan melanjutkan sulamannya.

"... Bagus mboten nduk ?, tapi ini bukan untuk Ayah," Hasri membentangkan baju koko remaja berwarna biru langit, jelas itu bukan untuk Ayah Shofia pak Karyo, karena ukurannya yang lebih kecil dari badan pak Karyo.

"Bagus Bu, tapi kalau bukan buat Ayah ini buat siapa ? Ibu kan engga punya anak laki-laki." gadis SMA itu beringsut mendekati Ibunya, ikut memperhatikan hasil sulaman sang Ibu.

"We, cepetan ganti bajunya nanti kotor." suruh Ibunya Shofia tanpa memberikan jawabannya terlebih dahulu.

"Nggeh Bu," Shofia masuk ke dalam rumah berniat ke kamarnya.
***
"Assalamualaikum." Pak Karyo membuka pintu kamar Shofia, disusul oleh Hasri, ibu Shofia.

"Waalaikumsalam, kenapa, Yah ?" Shofia, menghentikan kegiatannya memainkan gadget sambil berbaring.

"Mbak Shofi ..." Hasri, membelai lembut rambut sebahu putri sulungnya. Saat berada di dalam kamar, Shofia memang melepaskan jilbabnya, dan kembali mengenakan jilbab jika ia keluar kamar.

Shofia, terdiam. Jika ibunya memanggil dengan sebutan 'Mbak Shofi' berati, ibunya berbicara dalam mode seorang anak sulung-seorang kakak, yang telah dewasa, seorang perempuan yang harus bisa mandiri, bisa menjadi contoh bagi untuk adiknya, bisa menjaga dan menyayangi adiknya-berati ibunya sedang bicara serius padanya.

"Mbak Shofi, kalau Ayah minta sesuatu dari Shofi boleh ?" Shofia mengangguk. melirik kearah ibunya, Hasri terlihat menitikkan air mata. Namun, buru-buru Hasri menghapus air mata itu.

"Ba'da isya nanti, ada gus Faisal, anaknya kiyai Rasyid mau ke sini. Kamu Inget kiyai Rasyid-kan ?" Karyo melihat ekspresi apa yang ditunjukkan putri sulungnya itu.

Shofia mengangguk. "Temen waktu mondok yang pernah Ayah ceritain ?" Karyo mengangguk.

"Keluarga mereka nanti malam mau ngelamar kamu, untuk Faisal." Shofia terdiam mendengar penjelasan ayahnya.

Deg.

Shofia terdiam. Entah perasaan apa yang harusnya ia rasakan saat ini, sedih, marah, kecewa, atau justru bahagia, karena selama ini ia sering mendengar banyak kebaikan tentang Faisal dari Ayahnya.

Tapi, menikah di umur 17 tahun ?
Haruskah ia menolak, jika Shofia menikah masa muda yang sudah ia rencanakan dengan teman-temannya akan berakhir dan tergantikan dengan kehidupan yang ia belum harapkan, atau pikirkan sebelumnya. Menjadi seorang istri.

"Nduk, selama ini Ayah belum pernah minta apapun dari kamu, tapi, untuk pertama kalinya, Ayah minta sama kamu, nanti kamu terima lamaran Faisal. Bagaimana Shofia ?"

Shofia bungkam seribu bahasa. Ia tak tau harus menjawab seperti apa, di satu sisi ia tak ingin menikah muda, terlebih lagi dengan orang yang bahkan tak pernah ia temui sebelumnya. Namun, di satu sisi membahagiakan orang tuanya adalah salah satu daftar keinginan dalam hidupnya. Dan, sekarang kebahagiaan orang tuanya sudah di depan mata, yaitu dengan melihat ia menikah dengan Faisal.

"Mas Gus'e Ukhibuka"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang