Bagian 8

370 11 7
                                    

Aku merebahkan diri di kasur dengan frustasi. Otakku terasa penuh dengan pikiran-pikiran yang terus menghantuiku sejak kemarin, membuatku tidak bisa berpikir dengan jernih.

Sambil memejamkan kedua mata, aku berusaha menyusun puzzle yang mulai bermunculan namun aku masih belum bisa menemukan benang merah yang akan membantuku untuk menyelesaikan teka-teki ini.

Kertas. Dirga. Moryza. Bella. Brother complex. Apa yang sebenarnya terjadi dibalik ini semua? Aku benar-benar tidak bisa memikirkannya hingga akhirnya tidur adalah satu-satunya pilihan terbaik.

Aku membuka kedua mataku. Aku seperti berada di buku dongeng anak-anak. Di hadapanku membentang luas permadani rumput hijau yang indah. Tepat disebelahnya terdapat air terjun yang berasal dari gunung yang cukup tinggi. Dari percikan airnya saja aku dapat merasakan bahwa akan terasa sangat dingin jika aku menyentuhnya.

Di bawahnya terdapat sungai yang selalu siap menampung air yang terus jatuh. Sungai itu mengalir dengan deras. Airnya sangat jernih hingga aku bisa melihat ke dasar tanpa harus menyelam. Aku berjalan mendekat ke sana.

Air sungai itu memantulkan wajahku yang sangat kusam dan tidak bergairah. Lingkaran hitam disekitar mata terlihat sangat jelas, membuat wajahku tampak seperti monster yang tidak tidur selama sebulan. Dari sudut mataku, aku melihat tiga orang anak kecil sedang berlarian. Dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. Yang laki-laki tampak mirip namun mereka terlihat tidak cukup akrab sedangkan yang anak perempuan, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Mereka berlarian ke arahku―air terjun. Si anak perempuan berhenti dan dua anak laki-laki itu pun ikut berhenti. Anak perempuan itu berjalan mengendap-endap dengan hati-hati ke sebuah bunga berwarna merah yang amat cantik. Di atas bunga itu hinggap seekor kupu-kupu berwarna serupa. Anak itu berusaha menangkap kupu-kupu cantik itu namun kupu-kupu tersebut yang sadar akan adanya gangguan memilih untuk meninggalkan bunga itu dan terbang untuk mencari bunga yang lain.

Raut wajah anak perempuan itu berubah kecewa. Dua anak yang lain merasa kasihan dengannya. Anak laki-laki yang berbaju biru berusaha untuk menangkapnya dan anak laki-laki yang memakai kacamata pun ikut berusaha untuk menangkap kupu-kupu yang terbang semakin tinggi.

Tak sengaja, si anak berkacamata menyenggol anak berbaju biru, membuat anak itu hampir kehilangan keseimbangan. Aku yang melihat kejadian ini dengan refleks berjalan ingin menghampiri mereka. Namun, tak bisa dihindari lagi, kedua anak itu terlanjur bertengkar. Mereka saling dorong mendorong. Aku segera berlari ke sana untuk memisahkan mereka. Aku berteriak untuk menghentikan mereka berkelahi namun mereka tidak menghiraukan teriakanku.

Si anak perempuan duduk terdiam di bawah pohon sambil memandangi temannya yang sedang berkelahi. Aku tidak memedulikannya dan tetap berjalan menghampiri anak laki-laki itu. Aku mencoba melerainya namun mereka seakan tidak menyadari bahwa aku ada disana. Aku berteriak sekuat mungkin namun mereka seakan tidak mendengarku. Aku berusaha untuk memisahkan keduanya namun kekuatan mereka seakan lebih kuat dari kekuatanku.

BYUR

Suara benda jatuh ke dalam air membuatku kaget. Jantungku berdetak dengan sangat cepat. Kini aku hanya melihat si anak berbaju biru sedang melipat kedua tangan di dada. Sementara itu aku berusaha mencari anak berkacamata di sungai. Mataku menjelajahi sungai dan melihat sepasang tangan yang terangkat ke atas. Aku segera mencari kayu yang panjang dan memberikannya kepada tangan itu namun tangan itu tidak meraihnya hingga akhirnya tangan itu menghilang bersama derasnya arus sungai yang mengalir.

Ku lihat anak berbaju biru dan anak perempuan kini berjalan berdampingan. Mereka berjalan menjauhiku. Aku mengejarnya.

“Hei!!!!” aku berusaha memanggilnya.

“Panggil orang tua kalian, temen kamu jatuh ke sungai!” jeritku lagi. Tapi kedua anak itu tetap berjalan tanpa menggubrisku sedikitpun.

Aku bingung. Ingin menolong anak tersebut namun aku tak mampu melawan derasnya arus sungai. Aku marah pada dua anak itu namun aku tak bisa apa-apa.

Aku mendngar sebuah jeritan melengking memekakkan telinga. Aku menutup kedua telinga dengan telapak tangan, entah darimana asalnya jeritan itu, semakin aku mencoba untuk tidak mendengarnya semakin jeritan itu mengeras.

Pemandangan bak di cerita dongeng kini berubah menjadi pemandangan yang mengerikan. Lebih menyeramkan dari buku misteri yang pernah ku baca. Aku terus menutup kedua telinga, suara jeritan itu masih saja tidak menghilang. Aku memejamkan mata. Jantungku berdegup dengan kencang. Kepalaku pusing tak karuan. Napasku tersengal-sengal seperti habis berlari marathon dua puluh kali.

Aku merasa seperti di awang-awang, melayang namun ada rasa mengerikan yang menyelimuti hati. Tubuhku melemas.

Aku terbangun.

Plafon gypsum berwarna putih adalah sesuatu yang ku lihat pertama kali saat aku membuka mata. Aku mengedarkan pandangan dan mengubah posisiku menjadi duduk. Ini kamarku. Keringat membanjiri tubuhku membuat seragamku basah. Aku melirik ke arah jam di dinding, masih pukul 15.45 itu artinya belum sampai tiga puluh menit aku tertidur namun rasanya aku baru saja melewati petualangan yang memakan waktu tiga puluh hari. Sangat lama dan sangat mengerikan.

Aku mengatur napas yang masih tersengal. Aku dapat mendengar degup jantungku sendiri. Setelah mengucir rambut yang sangat berantakan dan kusut, aku segera turun ke lantai bawah untuk mengambil minum.

“Non, ada temennya nunggu di ruang tamu.” Kata Bi Inah, pembantu di rumah. Aku yang sedang meneguk air dari gelas hanya mengangguk menanggapi.

Di ruang tamu, aku melihat tubuh seorang cowok sedang membelakangiku. Cowok itu membalikkan tubuhnya, melihat wajahnya membuatku terkejut.

[A/N] akhirnya di post juga.. hehe saya minta maaf banget buat yang udah lama nungguin cerita ini. Beneran terharu ternyata ada yang masih baca:'')))

Buat yang udah add ke library dan ngeluangin waktu buat baca makasih banyaaakkk, baca "Long Black" juga yuuuk^^

PhilophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang