Cowok itu tersenyum begitu melihat aku berdiri di hadapannya. Ia menatapku intens dari atas sampai ke bawah. Saat aku mulai menyadari penampilanku yang sangat lusuh dan berantakan wajahku berubah merah menahan malu.
"Mau ngapain kesini?" tanyaku to the point. Berusaha mengalihkan konsentrasinya dari penampilanku.
"Gue nggak disuruh duduk dulu nih?" ia bertanya dengan senyum miringnya. Aku menghela napas lalu menggelengkan kepala.
"Nggak perlu. Karena kehadiran lo sangat tidak gue inginkan disini."
Bi Inah datang membawa dua gelas syrup rasa jeruk di nampan. Ia meletakkan dua gelas itu di meja lalu pergi meninggalkanku berdua dengannya.
"Kayaknya gue disuruh lama disini," ujarnya lalu mengambil posisi duduk di sofa. Ia mengambil salah satu gelas di meja lalu meneguknya. Aku memutar bola mata dengan kesal.
"Nggak usah basa-basi lagi mending lo langsung jelasin apa tujuan lo kesini."
Ia berdeham sebentar. "Gue mau ngajak lo dinner."
Mataku membulat. Alisku menyatu. "Dinner??!"
Dia mengangguk. "Malam ini. Tenang aja, lo bukan satu-satunya cewek yang gue ajak. Ada adek gue, Bella."
Aku memegang kepalaku yang terasa seperti mau meledak, lalu menggelengkannya berulang kali. "Gue nggak ikut deh. Lagi banyak urusan."
Ia menaikkan salah satu alis. "Banyak urusan atau banyak pikiran?" tebaknya.
"Bukan urusan lo. Yang pasti gue nggak akan dateng."
Dirga mengeluarkan ponselnya dari saku. Setelah men-slide layar handphone itu, ia menempatkan benda itu ke telinganya. "Ya ... seperti yang gue duga ... oke," ia berbicara di telepon. Setelah itu, menjauhkan layar handphonenya dari telinga dan melakukan sesuatu dengannya.
Dirga menunjukkan layar handphone-nya kepadaku. Di layar itu terpampang wajah Bella yang sedang tersenyum. Video call.
"Zaaaa, dateng ya ntar malem. Temenin gue. Masa lo tega sih ngebiarin gue berduaan sama Dirga?" Bella memohon dengan wajah melas.
Aku mengernyitkan kening. Heran. "Lah, dia kan kakak lo, Bel. Gue gak dateng ah lagi gak mood."
Bella mengedipkan matanya berulang kali seakan memberikan aku isyarat yang langsung aku mengerti. Aku menghela napas panjang. "Baiklah," ujarku pasrah.
Pukul tujuh malam, aku telah bersiap dengan setelan apa adanya. Celana jeans, kaos pink pastel dan kemeja navy. Selang beberapa menit kemudian, suara klakson mobil membuatku berpamitan dengan mama dan berjalan ke luar rumah. Sedan hitam yang tadi sore sempat berkunjung ke rumah kini terparkir lagi di halaman depan. Aku segera masuk kedalam pintu penumpang di belakang dan duduk disana.
"Ootd lo nggak feminin banget Za," Bella berkomentar dari kursi penumpang di depan.
Dirga yang sedang menyetir tertawa renyah mendengarnya. "Kayaknya lo harus ngajarin dia cara jadi cewek gimana Bel."
"Gak feminin aja udah cantik, gimana kalo gue ajarin rumus gue, bisa kalah gue, Kak," balas Bella dengan guyonannya.
Aku yang merasa amat tidak tertarik dengan topik ini akhirnya memilih untuk mengeluarkan iphone-ku dan memainkannya sebagai obat kebosanan.
Alunan akustik instrumental yang dibawakan Sungha Jung perlahan menggantikan suara tawa yang ada di dalam mobil ini. Membuat suasana jadi mellow ala-ala drama Korea.
"Ngantuk ah dengernya, gue ganti ya?!" Bella meminta persetujuan Dirga untuk mengganti lagu ini yang hanya dibalas dengan anggukan oleh Dirga.
"Jangan! Nanti aja kalo lagunya udah abis," cegahku. Lagu yang satu ini sangat aku kenal. Setiap kali mendengarnya membuatku merasakan suatu perasaan yang sulit untuk aku deskripsikan. Rasanya seperti kembali ke masa lalu, tapi aku tak pernah tahu masa apa itu.
Dirga menginjak pedal rem dengan mendadak membuat tubuh kami terdorong ke depan. Aku berusaha menetralkan degup jantung yang mulai tak karuan karena kaget. Kejadian ini berhasil membuatku tersadar dari lamunanku yang tak tahu melayang kemana.
"Sial! Gila tuh angkot, dikira jalan ini punya dia! Sembarangan banget," maki Dirga, dari nada bicaranya terdengar dia sangat kesal.
Bella menyenderkan punggungnya di jok mobil. "Kaget banget gue," ujarnya sambil mengelus dada.
Dirga menolehkan kepalanya ke kursi belakang. "Lo nggak pa-pa kan?!" tanyanya memastikan keadaanku. Aku hanya membalasnya dengan sebuah anggukan.
Bella menegakkan tubuhnya. "Sekarang gue di posisi nomor dua ya.. adiknya sendiri nggak ditanya keadaannya gimana," sahut Bella sedikit sarkas. Dirga yang sadar bahwa kalimat itu ditujukan untuknya langsung memasang wajah serba salah. "You okay, Sista?" tanyanya.
Bella mengerucutkan bibirnya. "I'm okay as long as i' m with you."
Dirga tersenyum. "Bentar lagi nyampe nih," ujarnya lalu mengemudikan mobilnya. Siapa yang nanya.
∞
KAMU SEDANG MEMBACA
Philophobia
Teen FictionAku takut. Ketakutan itu membawa ku menuju ketakutan yang lain. Ketakutan kecil yang berkembang biak menjadi besar. Aku pikir aku sudah melupakannya. Nyatanya tidak. Sedikitpun. Aku pikir semuanya sudah baik-baik saja. Nyatanya tidak. Sedikitpun. Ak...