Musik klasik mengalun lembut menyambut kedatangan kami. Perjalanan yang bagiku memakan waktu lama, akhirnya usai saat mobil Dirga terparkir di sebuah restoran.
Pelayan restoran membawa kami ke meja yang telah dipesan di taman belakang. Restoran yang berlokasi di atas bukit ini, memiliki pemandangan yang indah. Sejauh mata memandang, kerlap-kerlip lampu perkotaan meneduhkan. Langit malam ini, cerah bertaburan bintang, menghadirkan suasana tenang nan romantis.
Meja bundar dengan tiga kursi telah disiapkan. Kain putih sebagai taplak meja menjuntai hingga ke tanah. Tiga piring dan perlengkapan makan lainnya sudah siap dipakai. Sepasang lilin diletakkan di tengah meja, mengapit sebuah vas berisi lima tangkai mawar merah─sepertinya, aku hanya menerka-nerka jumlahnya. Romantis. Ah, ini lebih cocok untuk kencan dua orang.
Kami duduk. Dirga di timur laut, sedangkan Bella di barat laut. Aku? Sudah jelas di bagian selatan.
Dirga memanggil waitress. Memesan makanan. Aku tidak ikut memilih. Apapun yang dipilihkan akan aku terima. Tidak ada yang spesial saat makan berlangsung. Hanya sepatah dua kata yang keluar, sesekali mereka─karena aku hanya mengeluarkan suara saat ditanya saja─ memuji rasa makanan yang─ya, aku akui─enak sekali. Kemudian, hening kembali menguasai.
Suasana tidak nyaman, ntah, ini menurutku saja atau nyatanya memang begitu. Aku harus keluar dari kecanggungan diantara mereka, setidaknya lima menit. Usai makan, aku berjalan ke toilet, tanpa mengalihkan pandanganku dari layar handphone. Tapi, aku masih memerhatikan langkahku.
Bukannya pintu toilet yang aku temukan, aku malah menabrak dada bidang seseorang. Dan, sebuah air mengalir dari atas.
"Aw! Shit!" sesuatu mengenai kepalaku sebelum akhirnya benar-benar mendarat di atas lantai. Sebuah botol minuman plastik berukuran sedang. Rambutku basah, pun bajuku, tersiram cairan dari dalam botol tersebut. Kopi susu.
Sial. Aku tak bisa berhenti mengumpat dalam hati. Aku menatap wajah orang di depanku ini. Tidak berbeda denganku, dia pun berekspresi marah. Ada cap setengah lingkaran di bibir bagian atas─melihat ini aku ingin tertawa. Ya, setidaknya, baju nya ikut terkena air kopi juga.
"Mbak, jalan pake mata!" belum apa-apa dia sudah nyerocos dengan nyolot. Padahal, tadi aku sedang memikirkan kalimat apa yang harus aku keluarkan untuk memaki cowok ini.
Aku melipat kedua tangan di dada. "Jalan tuh pake kaki, Mas. Liat baru pake mata. Jelas-jelas lo yang nabrak gue. Nggak punya mata?"
Dia mendengus kesal sambil berkacak pinggang. "Mbak, kalo situ nggak nabrak gue, baju gue nggak akan kotor gini."
Aku memicingkan mata dan menyatukan alis. "Nggak liat apa, rambut sama baju gue jadinya kayak gimana? Ini semua gara-gara lo. Lagi minum kok sambil jalan?!" Aku memegang rambutku yang basah, lengket dan menjijikkan.
Dia memalingkan wajahnya dariku. Kemudian, menatapku lekat-lekat. "Lo tuh emang beneran bego, ya?" tanya cowok itu. Benar-benar bikin mood makin turun drastis ke level paling menyedihkan.
"Apaan, sih, sokap lau?!!"
"Sebelumnya lo kan nabrak gue di pesta," ucapnya, ia menarik satu sudut bibirnya ke atas.
Aku mengerutkan kening.
"Pura-pura nggak inget?" tanya cowok itu dengan judes.
Refleks, aku menutup mulutku dengan telapak tangan. Kaget. Ia adalah cowok yang aku tabrak dulu. Oke, aku kalah.
"Emang,ya, kalo ketemu lo, gue sial mulu," dia mencibir.
Aku menggenggam telapak tanganku geram. Ingin rasanya mendaratkan telapakku di wajahnya yang tengil. "Kalo gitu, anggep aja kita nggak pernah ketemu. Fine?" aku membalikkan tubuhku, berniat pergi meninggalkan cowok ini. Namun, dia malah menarik tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Philophobia
Teen FictionAku takut. Ketakutan itu membawa ku menuju ketakutan yang lain. Ketakutan kecil yang berkembang biak menjadi besar. Aku pikir aku sudah melupakannya. Nyatanya tidak. Sedikitpun. Aku pikir semuanya sudah baik-baik saja. Nyatanya tidak. Sedikitpun. Ak...