Bagian 4

375 16 0
                                    

"Moza?!" Dana meneliti penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Ini, Moza?" Ia masih tak percaya rupanya.

Aku mencubitnya pelan. "Iyalah ini gue, Moza!"

"Lo... beda banget."

"Gak usah lebay. Buruan, deh."

Kami berjalan menuju mobil Dana. Dana membukakan pintu kirinya untukku, lalu mempersilahkanku masuk ke dalam.

"Za," panggil Dana pelan saat diperjalanan, memecah keheningan diantara kami.

"Hm," gumamku menanggapi, masih dengan pandangan keluar jendela.

Dana menghidupkan radio dimobilnya yang langsung disambut dengan lagu what makes you beautiful milik One Direction. "Lo cantik malem ini" Ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan Jakarta di depannya yang padat.

"Makasih," ujarku sok cuek. Padahal, deg-degan setengah mati!

**

Dana menggapit tangan sebelah kiriku lalu kami berjalan ke taman sekolah yang sudah di-design sedemikian rupa agar tampak begitu indah. Murid-murid lain memperhatikan kami dengan tatapan ih-pasangan-baru-ya.

"Za, jalannya cepet dikit dong, jadi pusat perhatian nih kita," kata Dana pelan. Ternyata ia juga merasa risih jika diperhatikan.

Dana, gue gak bisa pake heels. Jagain gue. Bisikku ditelinganya.

"Pantes lama." Ujarnya yang dibalas toyoran olehku. Kini ia menyesuaikan langkahnya dengan langkahku yang kecil dan hati-hati.

Terlihat diujung sana, The Angels sedang melihat ke arah kami dengan wajah merah padam. Haha, menyakiti hati orang lain yang jahat kepadaku adalah kebahagiaan tersendiri buatku.

"Dan, gue duduk disana aja deh. Lo gabung aja sama temen-temen lo gak apa-apa" pintaku lalu menunjuk bangku-bangku yang masih kosong.

"Seriusan? Ga bete emang?"

"Kan ada iPod" jawabku sambil menunjukkan iPod yang kugenggam. "Yang penting, jangan tinggalin gue ntar pas balik." lanjutku.

"Siap, princess," balasnya sambil membungkukkan badan ala-ala orang Jepang.

"Apaan deh, lebay."

Aku duduk disalah satu kursi kosong. Menghidupkan iPod lalu mendengarkan lagu melalui headset. Ku pikir ini akan menjadi best Sunday night ever, rupanya tidak ada yang menarik. Atau, belum ada yang menarik?

Dan ternyata, acara pun baru dimulai. Sekarang masih dalam sesi sambutan, sesi yang paling aku benci disetiap acara. Apapun itu.

"Dengan ini, perayaan ulang tahun SMA Harapan Bangsa dimulai," kata kepala sekolah diakhir sambutannya, lalu, muncullah kembang api yang menyala-nyala ke atas langit. Memberikan warna pada langit yang hitam pekat. Semua orang yang hadir memberikan tepuk tangan riuh bersama sorakan-sorakan yang heboh. Awal yang bagus.

Setelah acara sambutan, dilanjutkan dengan penampilan band dari ekstrakurikuler musik. Aku memperhatikan satu persatu personil band tersebut. Mulai dari guitarist, bassist, drummer, dan vocalist. Tapi tentu saja aku tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas, jarak antara aku dengan panggung saja, cukup jauh.

Seusai penampilan band yang tidak ku ketahui namanya, dilanjutkan dengan penampilan dari ekstrakurikuler lainnya. Mataku meneliti orang-orang disekitar, berusaha menemukan Dana, aku benar-benar bosan duduk sendirian seperti ini.

"Hey," Suara seseorang mengagetkanku.Aku menoleh kesamping, kudapati seorang cowok yang memakai jas hitam. Bodoh,semua cowok disini memakai jas hitam. Tidak, tidak, maksudku, dia tampan. Aku menyipitkan mataku, mengerutkan kening, berusaha mengingat-ingat siapa dia, wajahnya familiar. Siapa ya?

"Lo masih punya utang ya, sama gue," katanya seraya menaikkan salah satu alisnya keatas dan tersenyum miring.

"Gue gak pernah ngutang," jawabku kesal. Siapa coba yang nggak kesel kalo ada cowok tampan yang nyamperin lo tapi dia malah nagih utang? Plus disenyumin miring pula!

Cowok tampan itu memicingkan matanya. "Lo beneran lupa, atau pura-pura lupa?" tanyanya, matanya menusuk tajam kedalam retinaku, seram.

"Pernah ketemu lo aja nggak," kataku tak mau kalah. Sialan, cowok ini bikin nambah bete aja.

Ekspresi cowok itu berubah datar, dan sedetik kemudian ia kembali melontarkan senyuman miringnya. Apakah itu senyum khasnya? Ya Kurasa.

Cowok itu tersenyum miring lagi, lalu, mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Sebuah dompet. Mau apa dia? Ia mencari sesuatu diantara bagian-bagian dompetnya, dan mengeluarkan selembar kertas berukuran sedang dengan senyum kemenangan. Apa itu? Kemudian, ia menunjukkan kertas itu kepadaku.

Damn it. Ingatkan aku untuk meninju wajahnya.

PhilophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang