Bagian 5

326 11 0
                                    

Masih dengan senyum kemenangannya, cowok itu menatapku dengan tatapan licik. “Sekarang lo pasti inget gue,” ia tersenyum miring lagi. Cih, aku benci senyumnya itu.

Aku memalingkan wajahku darinya. “Nggak, gue gak inget apa-apa. Apalagi dengan lo,” ucapku ketus.

Cowok itu memasukkan kembali kertas tersebut kedalam dompetnya. Ia menghembuskan napas seolah-olah frustasi. “Kalo lo emang nggak inget gue, yaudah,” kata cowok itu kemudian berdiri ingin pergi.

Ntah kekuatan darimana, tanganku refleks bergerak untuk memegang tangannya dan berusaha menahannya pergi. Dalam hati aku mengutuk tanganku karena bergerak lancang.

Cowok itu membalikkan badannya dan menatapku. “Sudah ingat denganku, hm?” katanya dengan senyum miringnya. Lagi.

Sekarang aku bingung ingin menjawab apa. Jujur saja, aku tidak mengingatnya, tapi aku merasa aku pernah melihatnya. Wajahnya tidak terasa asing bagiku. Tapi aku benar-benar tidak bisa mengingatnya sekarang. Tapi kertas itu menunjukkan kalau aku mengenalnya. Tapi...kurasa bukan dia orangnya.

Aku menggelengkan kepalaku seraya menarik tanganku dari pergelangan tangannya. “Gue gak inget lo siapa dan gak mau inget,” jawabku akhirnya.

Cowok itu mengangkat kedua bahunya lalu pergi meninggalkanku. Aku benar-benar ingin pulang sekarang.

“Woi, sendirian aja lo,” seseorang menepuk pundakku kasar. Tatapanku dari layar iPod langsung teralihkan kepada orang disebelahku yang ternyata adalah Bella.

“Yaela, gue daritadi nyariin lo.”

“Iya telat gue. Lo kesini sama siapa?” tanya Bella karena melihatku duduk sendiri dan bangku disebelahku kosong.

“Bareng Dana.”

Bella terbelalak kaget, “Dana? Yang anak basket itu?” tanyanya antusias. Aku mengangguk. “Kok lo bisa sama dia sih?” dikepala Bella penuh tanda tanya.

Aku mengerlingkan mataku heran. “Emangnya kenapa deh? Dia temen kecil gue,” jawabku sekenannya.

“Kok lo nggak bilang-bilang sih?!?!?!” Jeda. “Kenalin gue dong ke dia,” lanjutnya dengan penuh semangat.

Setelah acara inti berlalu, kini telah masuk ke penghujung acara, seusai pembacaan doa agar sekolah ini makin maju dan blablabla, pukul 21.47 pesta ini resmi berakhir.

Dana menghampiriku yang telah menunggunya di parkiran, disebelahku ada Bella yang sudah tidak sabaran ingin berkenalan dengan Dana.

“Dan, kenalin nih Bella. Temen sekelas gue,” ucapku memperkenalkan Bella kepada Dana. Dana tersenyum ramah, ia mengulurkan tangannya kepada Bella.

“Bella,” Bella menyambut uluran tangan Dana dengan malu-malu, terlihat jelas dari wajahnya.

Dana memberikan kode ayo-pulang-sekarang kepadaku. Aku mengangguk melihat kodenya. “Bel, lo balik sama siapa? Mau bareng gue ga?” tanya ku pada Bella. Basa-basi lebih tepatnya.

Bella melihat sekitarnya seperti mencari sesuatu. “Gue bareng kakak gue. Tuh dia,” katanya seraya menunjuk mobil hitam yang berjalan ke arah kami.

Mobil itu membuka kaca pengemudinya. Sang pengemudi membuka kacamata hitamnya. Terpampang jelas wajah kakak Bella yang tampan itu.

“Duluan ya, Dan, Za,” ucap Bella kemudian masuk kedalam mobil tersebut.

Aku sedikit shock begitu mengetahui siapa orang yang berada dibalik setir pengemudi mobil yang ditumpangi Bella. Dia adalah... kau pasti sudah bisa menebaknya bukan? Ya, kau benar. Si-cowok-menyebalkan-tadi.

“Dan, gue tadi ketemu cowok aneh,” kataku akhirnya mecritakan hal itu pada Dana.

Dana masih berkonsentrasi menyetir, “Siapa?”

“Gue nggak tau namanya siapa. Lo liat kakaknya Bella nggak? Nah dia itu.”

Dana mengernyitkan keningnya, “Oh, Kak Dirga maksud lo?”

Sekarang aku yang bingung, “Kak?” tanyaku tak mengerti.

“Dia senior kita kali. Kelas 12,” jawab Dana menuntaskan kebingunganku. Aku mengangguk-angguk mengerti.

Dana menghentikan laju mobilnya ketika telah sampai didepan rumahku. Ia membuka pintu untukku, lalu membantuku keluar mobil.

“Mau masuk dulu nggak, Dan? Basa-basi kek sama nyokap,”

“Nggak ah, besok-besok aja. Salam ya buat nyokap. Bilang makasih ke dia udah ngelahirin anak secantik lo,” kata Dana sambil tersenyum jahil. Sialan, bikin aku malu aja.

 

Setelah membersihkan diri dan mengganti baju dengan piyama, aku langsung merebahkan tubuhku di kasur. Aku sangat lelah rasanya malam ini. Bayangan cowok tampan yang diakui Dana bernama Dirga tadi terus memenuhi pikiranku. Rasa penasaran muncul terus menerus. Aku berusaha mengingat-ingat siapa Dirga sebenarnya dan mengapa ia bisa menyimpan kertas itu?

PhilophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang