"Hai, tampan. Siapa nama lo?" tanya Jennyza dengan nada centil kepada Dana. Tatapannya sok menggoda tapi malah membikin aku jijik.
Dana memasang wajah bete. "Dana," jawabnya singkat. Cool.
Jenyza memainkan rambutnya dengan jari telunjuknya, lalu berkata "Uhm.. Dana. Lo harus jadi pasangan Fey nanti malem" perintahnya yang kemudian melirik ke arah Fey. Fey mengangguk dengan wajah puppy face-nya, ih.
"Apaan, sih. Ga mau," kata Dana, lalu menyeruput kembali jus jeruknya yang tinggal setengah.
Jennyza memicingkan matanya ke arah Dana kesal. Sementara Fey, Nuri dan Dinta memasang wajah sok kaget dengan membentuk mulutnya menjadi huruf 'O', persis seperti disinetron-sinetron yang sepupu kecilku sering tonton. Aku yang bosan dengan percakapan gak jelas mereka ini, hanya mengaduk-aduk jus melonku dengan tidak nafsu. The angels is moodbreaker.
Merasa terhina, Jennyza menggebrak meja keras. "Gue gak mau tau, lo harus dateng sama Fey!" perintahnya lagi sambil menunjuk wajah Dana dengan jari telunjuknya.
"Gue udah ada pasangan," kata Dana dengan santai namun tegas. Ia menekankan setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Gue dateng sama dia," lanjut Dana sambil melihat ke arahku, tangannya menggenggam tanganku yang bebas di atas meja. Aku kaget, namun dengan cepat kupasang ekspresi aku-menang-kali-ini.
The angels melihatku dengan tatapan tajam, seperti hewan buas yang ingin melahap santapannya bulat-bulat. Sebenarnya nanti malem mau kemana? Ada acara apa? Aku pun nggak tau apa-apa.
Dengan memasang wajah kesal, malu, dan kecewa, the angels meninggalkan aku dan Dana dengan wajah sinis, tak lupa dengan gebrakan di meja, lagi. Aku yakin pasti tangannya sedang kesakitan sekarang.
"Pasangan apa maksud lo?" seusai the angels menjauh, aku langsung meminta penjelasan kepada Dana.
"Besok ulang tahun sekolah ini. Jadi, nanti malem akan diadain party. Dan, bukan jadi rahasia umum lagi, setiap orang bakalan dateng dengan pasangannya masing-masing," Jelas Dana. "Lo mau kan jadi pasangan gue?" lanjutnya.
"Emang lo yakin, gue bakal dateng?" tanyaku tanpa ekspresi.
"Dateng dong, Za. Please... demi gue deh," ucapnya dengan wajah sok manis. Ah, itu membuatnya bertambah manis saja. Eh, apa kataku?
Aku menghembuskan nafas. "Tapi party gitu bukan gue banget, Dan," tolakku sambil menatapnya lekat-lekat dan memasang wajah serius.
"Please, Za. Lo gak mau kan liat sahabat lo ini dideketin sama geng gak jelas itu?" katanya masih memohon. Shit, aku bener-bener gak kuat liat wajah dia yang begitu.
"..."
"Please, demi gue"
Aku berpikir sejenak. "Iya deh. Gue dateng. Demi lo."
Dana tersenyum puas.
Dan, daun-daun pun ikut berbunga.
**
"Sabar dong, ini blush on nya tebel sebelah."
"Merem dong matanya nanti bulu matanya gak nempel."
"Iya iya ini tinggal pake lipgloss kok."
"Mozaaa, bedaknya jangan diapus lagi dong, aih, kamu."
"Itu, lipsticknya juga, biarin! jangan diapus juga."
"Sini sini. Jangan diapus lagi ya, bedaknya!"
Begitulah keributan yang terjadi disore menjelang malam dirumahku. Setelah aku ceritakan kepada mama bahwa sekolahku akan mengadakan party, mama langsung pergi ke butik untuk membeli gaun untukku, dan segala tetek bengek yang bahkan rasanya aku baru kali ini melihat itu semua.
Sepulangnya dari belanja, mama langsung mengaplikasikan kelihaiannya dalam ber-make-up di wajahku, dibantu Bi Minah sebagai asisten-asistenannya. Sebenarnya, kan, ini hanya party biasa, jadi, ku pikir, nggak perlu se-lebay ini, kan?
Acara berdandan yang melelahkan pun selesai. Pokoknya dalam hal dandan, mama egois banget. Walaupun kadang aku kesal, tapi memang, sih, hasil riasan mama nggak perlu diragukan lagi.
Mama langsung menyuruhku bercermin di cermin panjang dan besar yang ada di ruang rias miliknya, jadi aku dapat melihat penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Ini mengejutkan. Sungguh. Aku tidak bohong. Aku... tidak mengenali siapa gadis cantik didalam cermin. Rambut gelombang kecoklatan yang dibiarkan terurai dan hanya dihiasi tatanan rambut yang simple. Polesan make-up yang natural, tidak medok seperti ibu-ibu mau kondangan. Gaun tanpa lengan berwarna hitam berkolaborasi dengan warna merah muda keungu-an yang berjuntai dan berakhir di atas lutut, sebuah tas tangan dan sepasang high heels berwarna hitam yang ada hiasan pita ditengahya.
Eh, tunggu! Apa ku bilang tadi? High Heels? HIGH HEELS? H I G H H E E L S? Oh gosh! Seketika aku seperti tertimpa tangga yang membuatku tersadar. Aku langsung menatap wajah mama dengan wajah penuh harap.
Seakan tahu, mama langsung tersenyum. "Kamu harus belajar pake heels. Kamu kan cewek," kata mama seraya membenarkan letak rambutku yang dirasa kurang rapi.
Aku memasang wajah ku yang paling melas. Berharap mama mau mengerti. "Ma..please, kan bisa pake sepatu biasa?" pintaku sambil memegang kedua tangannya memohon.
"Lah? Mbak ini aneh-aneh wae to. Masa udah apik-apik pake baju gaun mosok yo pake sepatu sekolah?" kata Bi Minah mengacaukan suasana.
"Ya gak pake sepatu sekolah juga kali, Bi" kataku sambil memutarkan kedua bola mata.
"Udah-udah, mendingan selagi nunggu Dana, kamu belajar jalan, deh. Pokoknya kejadian kayak di pesta kemarin, nggak boleh terjadi lagi, ya!" nasihat mama.
Dengan sangat terpaksa, lagi, aku harus menggunakan benda mengerikan ini. Aku berusaha berjalan pelan-pelan dari sudut satu ke sudut lainnya. Untungnya, heels kali ini tidak setinggi heels kemarin. Sepertinya mama kapok memaksaku memakai heels setinggi 15 cm.
"Mozaa. Dana udah dateng tuh," Kata mama dari ruang tamu.
Aku langsung menuju ke ruang tamu, walaupun masih agak susah berjalan diatas heels, paling tidak, ini nggak separah yang kemarin.
"Inget ya, sayang, kejadian di pesta jangan terjadi lagi!" Nasihat mama sekali lagi. Aku mengangguk mantap lalu berpamitan.
Aku berjalan keluar rumah hati-hati. Dana sudah menunggu di depan rumah dengan tuxedo hitam yang melekat pas sekali ditubuhnya. Menambah nilai plus dimata setiap cewek yang melihat.
"Moza?!" kurasa ia kaget.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Philophobia
Teen FictionAku takut. Ketakutan itu membawa ku menuju ketakutan yang lain. Ketakutan kecil yang berkembang biak menjadi besar. Aku pikir aku sudah melupakannya. Nyatanya tidak. Sedikitpun. Aku pikir semuanya sudah baik-baik saja. Nyatanya tidak. Sedikitpun. Ak...