Sepulang sekolah, aku langsung mengemudikan mobilku menuju rumah Dana. Hal ini aku lakukan karena aku tidak sempat bertemu dengannya selama di sekolah tadi. Ada hal yang sangat penting yang ingin aku tanyakan.
Tante Dona sebagai ibu Dana langsung mengenaliku begitu membuka pintu dan mendapatiku berdiri disana. Ia langsung menyuruhku masuk dan memanggil Dana.
“Moza mau minum apa?” tawar Dona dengan senyum ramahnya.
Aku melontarkan senyum ter-ter-teramah ku. “Air putih aja, Tante,” jawabku dengan suara lembut.
Selang beberapa menit kemudian, Dana menghampiriku yang sedang duduk sendirian di ruang tamu. “Tumben amat lo kesini,” Jeda. “Ada apaan sih? Nggak biasa nya,” lanjutnya langsung ke inti pembicaraan.
Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. “Lo bisa jelasin ke gue siapa Dirga sebenernya?” tanyaku penuh harapan.
Dana mengernyit bingung. “Kenapa jadi Dirga sih? Dia kakak nya Bella. Mantan ketua osis, pas kelas sepuluh ikut ekskul basket, kelas sebelas gabung ekskul musik, dia pa―”
“Bukan itu yang gue mau. Lo bisa jelasin dia siapa sebenernya?” tanyaku meracau. Rasanya otakku mendadak tidak sistematis, aku jadi bingung mengolah kata agar Dana mengerti maksudku.
Dana menggeleng. “Gue nggak ngerti maksud lo.”
Aku tahu, sudah pasti Dana tidak mengetahui apa maksud perkataanku, karena jujur saja, aku sendiri pun tidak paham dengan apa yang aku katakan. Aku mengatur napas yang mulai tidak beraturan. “Lo tau kan siapa nama lengkap gue, yang kebanyakan orang nggak tau?”
“Iya... Moryza kan? Disingkat jadi Moza, dan semua orang kenal lo dengan Moza. Apa yang salah sih?”
“Lo inget nggak siapa aja yang tau nama Moryza selain keluarga gue dan lo?” tanyaku penuh harap. Semoga ingatan Dana sedang baik saat ini.
Dana berpikir keras. Lalu berkata, “Seinget gue sih, cowok nerd pas kita sd itu dia tau juga deh,” jawabnya ragu.
BLAM.
Seperti ditampar sebuah kamus bahasa asing yang tebal, aku menjadi sadar lagi akan realita yang tidak bisa aku hindari. Aku menghempaskan punggungku ke sofa. Air muka Dana menandakan ia bertanya-tanya ada apa gerangan dengan ku.
“Lo pasti nggak percaya kalo gue bilang si Kak Dirga itu tuh, dia juga tau Moryza.”
Dana terbelalak kaget. “Haa? Jangan asal ah!”
Aku menghela napas panjang. “Cuman ada dua kemungkinan,” aku mencondongkan tubuhku agar dapat melihat kedalam manik mata Dana. “Lo tau pasti apa maksud gue,” lanjutku. Ia mengangguk.
Terdengar suara gaduh dari lantai atas, aku langsung mengalihkan perhatianku pada lantai dua di rumah Dana. Seakan mengerti maksudku, Dana menjawab pertanyaanku yang ku lontarkan dalam hati. “Biasa, anak-anak lagi pada di atas,” aku mengangguk mengerti. Anak-anak yang dimaksud Dana adalah teman nongkrongnya yang biasa main dengannya saat disekolah.
Aku berpamitan pulang, bisa ku pastikan sekarang Dana sama pusingnya dengan ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Philophobia
Novela JuvenilAku takut. Ketakutan itu membawa ku menuju ketakutan yang lain. Ketakutan kecil yang berkembang biak menjadi besar. Aku pikir aku sudah melupakannya. Nyatanya tidak. Sedikitpun. Aku pikir semuanya sudah baik-baik saja. Nyatanya tidak. Sedikitpun. Ak...