Bulan melambaikan tangannya sambil tersenyum menawan kemudian mendekati Langit dan Mentari untuk mengucapkan selamat.
"Selamat Lang, Tari."
Bulan bersalaman dengan Mentari lebih dahulu kemudian berpindah pada Langit.
"Terima kasih Mbak Bulan."
Mentari tersenyum namun senyum itu sirna saat mendengar pertanyaan Langit untuk Bulan.
"Kamu sama siapa ke sini?"
"Sama Romi, pacar aku. Dia ada di sana."
Bulan menunjuk salah seorang pria yang lumayan tampan dan berpakaian wah.
"Tipikal pacar kamu seperti itu?"
"Kamu bicara apa, sih Lang?"
"Sepertinya dia bukan pria baik-baik."
"Sudah deh, Lang. Kamu jangan bicara yang tidak-tidak. Aku menyukainya dan dia sangat perhatian padaku. Harusnya kamu mendukung aku supaya cepat menyusulmu."
"Aku peduli padamu."
Bulan melirik ke arah Mentari, ia merasa tak enak karena sikap Langit.
"Aku minta cukup, Lang. Semoga kamu menjadi keluarga sakinah mawadah warahmah."
Bulan ingin cepat-cepat pergi tapi Langit meraih tangannya tepat dihadapan Mentari.
"Dengarkan aku sekali saja, Lan. Dia bukan pria baik-baik."
Bulan melepaskan tangannya paksa apalagi mereka kini tengah menjadi pusat perhatian. Bulan tak mau citranya buruk dihadapan banyak orang meski jujur, Bulan terkejut mendengar Langit menikah tiba-tiba dan ia pasti akan merasa kehilangan nantinya.
"Lan!"
Langit hendak mengikuti Bulan tapi Mentari mencegah Langit.
"Orang-orang melihat ke arah kita semua, Mas."
Langit berhenti seketika dan melihat sekelilingnya.
"Maaf."
Hanya itu yang mampu Langit ucapkan. Ia tak sadar dengan apa yang ia lakukan barusan. Seharusnya ia tak boleh bersikap seperti itu apalagi dihadapan Mentari yang kini telah sah menjadi istrinya.
Mentari sendiri hanya mengangguk sebagai jawaban. Mungkin semua akan berpikir ia baik-baik saja dibalik wajahnya yang tenang namun dalam hati Mentari terasa sakit luar biasa.
Mentari semakin yakin jika semua yang ia dengar dari rekan kerja bukanlah gosip semata. Kehadirannya diantara Langit dan Bulan kini menjadi pihak ketiga.
🥀🥀🥀
Acara pernikahan berlangsung lancar. Saat ini, Mentari ikut bersama Langit ke rumahnya. Mentari bangga terhadap suaminya itu karena diusianya yang masih sangat muda, dia sudah memiliki rumah sendiri.
"Sementara kamar kita di bawah saja."
Mentari mengangguk setuju. Ia juga belum bisa naik turun tangga.
"Aku hanya mendapatkan cuti dua hari. Jadi besok aku sudah masuk kerja. Kamu tidak apa-apa sendirian di rumah?"
"Tidak apa-apa, Mas."
"Atau kamu sementara mau tinggal bersama orangtuaku?"
"Tidak, Mas. Aku sungguh tidak apa-apa. Aku juga tidak mau jika harus merepotkan orangtuamu, Mas."
"Jika ada apa-apa, kamu langsung telpon saja aku dan sekarang mandilah dulu lalu beristirahat."
Mentari tersenyum manis meski senyumnya mungkin tak berpengaruh apapun untuk Langit karena nyatanya Langit tidak tersenyum sama sekali sejak tadi meski perkataannya terlihat perhatian tapi wajahnya terlihat sangat datar.
Tak mau banyak berpikir yang tidak-tidak, Mentari pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri supaya merasa segar, baik badan dan pikirannya.
Seperginya Mentari, Langit duduk ditepi tempat tidur sambil mengecek ponselnya. Ia mengabaikan banyak pesan dari teman-temannya yang mengucapkan selamat. Ia lebih fokus mencari pesan dari Bulan.
Langit mendesah kecewa saat tak ada satu pesan pun dari Bulan hari ini. Pesan yang ia kirim tadi pagi hanya di baca saja olehnya tanpa dia balas.
"Mas?"
Langit meletakkan ponselnya di nakas saat mendengar ketukan pintu dari dalam kamar mandi dan suara Mentari yang memanggilnya.
Langit beranjak mendekat ke arah pintu kamar mandi.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Maaf, aku hanya ingin meminta tolong. Ambilkan tas aku yang warna hitam. Aku lupa membawa baju."
Langit melihat sekeliling kamar, setelah melihat apa yang Mentari sebutkan tadi, ia segera mengambilnya.
"Buku pintunya!"
Mentari membuka sedikit pintunya lalu mengulurkan tangannya untuk meminta tas berisi baju miliknya karena tidak mungkin ia keluar hanya mengenakan handuk dihadapan Langit meski kini pria itu sudah sah menjadi suaminya.
Langit juga tak banyak bicara. Ia segera memberikan tas itu pada Mentari. Rasanya sangat canggung, ia terbiasa sendiri dan kini ia harus tinggal berdua bersama wanita.
Setelah memberikan tas Mentari, langit kembali duduk di tepi tempat tidur sambil memainkan ponselnya lagi. Ia membuka sosial media milik Bulan.
Melihat postingan Bulan hari ini, hati Langit terasa sakit. Harusnya ia yang ada di posisi pria itu. Berdiri berdampingan dengan Bulan yang tersenyum sambil bersandar manja.
"Astaghfirullah."
Langit beristighfar dan menutup ponselnya. Ia tak seharusnya berpikiran seperti itu saat ia kini sudah menikah. Ia harus bisa jaga pandangan matanya meski itu sangat sulit karena melihat Bulan sudah menjadi kebiasaannya selama bertahun-tahun.
"Sudah selesai, Mas."
Langit mendongak melihat Mentari yang terlihat sangat segar setelah mandi.
"Kemari!"
Mentari tersenyum kikuk tapi tetap mendekat pada Langit.
"Rambutmu masih sangat basah."
Langit mengambil handuk miliknya yang rencananya akan ia gunakan untuk mandi setelah Mentari selesai.
"Duduk di sini."
Langit menepuk kasur sebelahnya.
Mentari tak banyak komentar, ia segera duduk di sebelah Langit.
Tanpa banyak bicara lagi, Langit mengeringkan rambut Mentari dengan handuknya.
Wanita mana pun pasti akan senang dengan perlakuan Langit yang romantis ini termasuk Mentari.
Jika ini sebuah mimpi, Mentari rasanya tidak ingin bangun untuk selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diantara Langit dan Bulan
RomanceMemiliki tapi tidak memiliki. Begitulah yang dirasakan oleh Mentari sebagai istri sah Langit Permana. Ia memiliki raga Langit tapi tidak memiliki hatinya. Meski Langit memperlakukan dirinya dengan baik tapi Mentari tahu, semua yang dilakukan Langit...