"Sekarang sudah lebih baik."
"Terima kasih, Mas."
"Aku mandi dulu."
"Mau aku buatkan minum?"
"Tidak usah. Sudah ada air putih di nakas. Kamu istirahat saja."
Langit berjongkok dan membantu menaikkan kaki Mentari supaya bisa rebahan di tempat tidur.
Lagi-lagi Mentari tersenyum dengan perlakuan manis Langit.
Mentari bersyukur, ia tak salah mencintai seseorang selama ini. Sejak dulu Langit memang terlihat sangat baik kepada siapapun. Dia juga menjadi siswa terbaik di sekolah yang selalu mendapatkan peringkat tiga besar. Mentari bangga bisa menjadi istrinya saat ini.
"Tidurlah."
Mentari mengangguk, ia memang merasa sangat lelah hari ini.
Langit setelah memastikan Mentari merasa nyaman, ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Hari ini, sungguh hari yang berat bagi Langit. Ia harus bisa mulai berbagi tempat dengan Mentari dan mencoba menerima keberadaan Mentari yang tak pernah ia harapkan sama sekali dalam hidupnya.
"Andaikan Bulan yang ada di sisiku saat ini, mungkin aku akan merasa sangat bahagia," gumam Langit sembari menatap pantulan dirinya di cermin yang berada di kamar mandi.
"Apa yang barusan aku katakan!"
Langit menjambak rambutnya sendiri. Mungkin memang ia akan kesulitan menerima Mentari dalam hidupnya karena selama ini hanya ada nama Bulan yang selalu menghiasi hari-hari dan juga mimpi-mimpinya tapi saat ini ia harus bersanding dengan wanita yang tak pernah sedikitpun terlintas di otaknya.
Meski Langit terus mencoba ikhlas menerima takdir yang tengah ia jalani tapi nyatanya, ia tak bisa bersikap normal. Wajahnya saja terlihat penuh keterpaksaan sepanjang hari ini.
Setelah selesai mandi. Langit melihat Mentari sudah tertidur. Ia mengambil selimut yang ada di lemari lalu memakaikannya pada Mentari.
Langit melihat Mentari sejenak lalu beralih ke arah ponsel miliknya yang ada di nakas.
Tak tahu apa yang harus Langit lakukan, ia juga belum mengantuk. Akhirnya Langit mengambil ponselnya dan berjalan keluar kamar menuju dapur untuk membuat secangkir teh hangat sambil memainkan ponselnya.
Iseng, Langit membuka sosial media lagi. Ternyata Bulan baru saja mengunggah foto dengan wajah terlihat sedih berlatar belakang suasana tempat yang sepi.
Tanpa pikir panjang, Langit mengirimkan pesan untuk Bulan dan menanyakan keadaannya.
Satu menit, dua menit, pesan itu tak kunjung Bulan buka. Langit mendesah kecewa lalu meletakkan ponselnya di meja dapur.
Saat akan membuat teh, ternyata ada notifikasi pesan masuk. Buru-buru, langit meletakkan cangkirnya kembali dan meraih ponselnya. Ia tersenyum saat di layar ponsel tertera nama Bulan.
"Sepi."
Hanya itu isi balasan dari pesan yang Langit kirim untuk Bulan.
"Mau aku temenin?"
"Jangan bercanda, apa kamu akan datang jika aku memintamu kemari sekarang juga."
"Tentu."
"Aku tunggu di tempat biasa."
Langit tersenyum makin lebar, ia segera memasukkan ponselnya ke saku celana dan buru-buru mencari kunci mobilnya untuk menemui Bulan di tempat biasa mereka habiskan waktu bersama.
Mentari terbangun saat mendengar suara mobil. Ia melihat ke sisi tempat tidur yang masih terlihat rapi kemudian melihat sekeliling yang ternyata kosong. Ia tak menemukan keberadaan Langit di kamar.
Perlahan, Mentari mencoba turun dari tempat tidur dan mengambil kruk yang satu bulan belakangan ini menjadi teman setianya, selalu membantu dirinya berjalan tanpa protes ataupun mengeluh.
"Apa Mas Langit pergi?" gumam Mentari sambil berjalan keluar kamar untuk memastikan.
Kosong.
Itu yang Mentari tangkap saat keluar kamar. Ia juga mencoba beberapa kali memanggil Langit tapi tidak ada jawaban sama sekali. Jadi Mentari mengambil kesimpulan, bahwa langit memang pergi.
Mentari melirik jam yang ada di dinding ruang televisi. Jam saat ini menunjukkan pukul sebelas malam. Ia sebenarnya penasaran kemana Langit pergi selarut ini tapi ia tak berniat untuk menelpon Langit karena ia takut mengganggu jika memang ada urusan penting.
Akhirnya mentari memilih untuk kembali ke kamar dan besok ia akan menanyakan pada Langit kemana dia pergi.
🥀🥀🥀
"Bulan."
Bulan terkejut mendapati Langit yang kini berdiri dihadapannya dengan napas terengah-engah.
"Lang? Kamu ...."
Bulan terkejut, bingung dan juga heran karena saat ini seharusnya malam pertama bagi Langit dan istrinya. Tadi ia hanya bercanda, sungguh ia tak menyangka Langit benar-benar datang menemuinya.
"Kamu tidak apa-apa?"
Wajah Langit terlihat sangat cemas melihat Bulan yang terdiam dan terlihat bingung.
"Aku tidak apa-apa."
"Ceritakan padaku jika kamu sedang mengalami masalah."
Langit duduk di kursi yang berada di hadapan Bulan.
"Aku tidak sedang mengalami masalah apapun. Justru aku saat ini sedang bingung, kenapa kamu ada di sini?"
"Aku mengkhawatirkan kamu."
Bulan semakin tak mengerti dengan sikap Langit. Mungkin lebih tepatnya pura-pura tidak mengerti.
Bulan tahu, Langit menyukainya sejak lama namun pria itu tidak pernah mengutarakan perasaannya sehingga ia memilih pria lain.
Kabar pernikahan Langit membuat Bulan sedih tapi ia juga tidak bisa protes karena mereka berdua tidak memiliki ikatan hubungan apapun.
Bulan ingin mengubur perasaannya dalam-dalam pada Langit tapi sikap Langit membuat Bulan bimbang.
Langit sudah menikah. Malam ini adalah malam yang penting untuk Langit beserta istrinya tetapi pria itu justru kini sedang duduk dihadapannya, mengkhawatirkan dirinya. Sehingga Bulan memiliki harapan dan perasaan lebih.
"Tuhan, bolehkah aku masih mengharapkan pria ini? Pria yang aku cintai meski kini telah bersama wanita lain?" batin Bulan penuh kebimbangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diantara Langit dan Bulan
RomanceMemiliki tapi tidak memiliki. Begitulah yang dirasakan oleh Mentari sebagai istri sah Langit Permana. Ia memiliki raga Langit tapi tidak memiliki hatinya. Meski Langit memperlakukan dirinya dengan baik tapi Mentari tahu, semua yang dilakukan Langit...