Ketukan pintu terdengar, Langit membuka matanya perlahan dan melihat ke arah jam dinding yang terpasang di kamarnya.
"Jam delapan," gumam Langit.
Reaksi Langit awalnya biasa saja, ia bahkan ingin melanjutkan tidurnya. Aktivitas semalam mengeluarkan banyak tenaga sehingga ia masih mengantuk.
"Terlambat!"
Langit memaksa membuka matanya lebar-lebar saat mengingat harus berangkat bekerja.
"Jam berapa memangnya, Mas?"
Mentari bertanya masih sambil memejamkan mata. Badannya terasa sakit semua apalagi pada bagian pusat miliknya.
"Jam delapan, aku harus berangkat bekerja. Kamu tidurlah."
Langit tergesa-gesa menuju kamar mandi.
Mentari tak mungkin tidur lagi, ia menarik selimut sampai sebatas dada, kemudian duduk di tepi ranjang sejenak untuk mengumpulkan tenaganya.
Mentari ingin menyiapkan baju kerja untuk suaminya tapi ternyata belum ada beberapa menit, Langit sudah keluar kamar mandi.
"Maaf, aku terburu-buru. Jika memerlukan bantuan, panggil saja Asih. Sepertinya dia sudah datang pagi ini."
Langit berbicara sambil berpakaian untuk mempersingkat waktu.
"Iya, Mas."
"Mas berangkat dulu."
Langit mengecup bibir Mentari sekilas lalu beralih ke keningnya kemudian berangkat.
"Hati-hati, Mas!"
Langit melihat ke arah Mentari sambil mengangguk dan tersenyum tipis.
Kali ini, Langit memang tengah belajar menerima Mentari. Lagipula kini mereka telah terikat baik secara agama manapun negara.
"Mas, ponsel!" seru Mentari saat melihat ponsel suaminya tertinggal.
Langit langsung berhenti dan berbalik untuk mengambilnya.
"Terima kasih, Sayang."
Langit mengecup kening Mentari lagi dan pergi.
Mentari tersenyum senang, Langit kini berubah menjadi lebih baik dari kemarin.
"Ehm."
Mentari terlonjak kaget sambil memegangi selimutnya erat-erat.
"Asih, kamu buat kaget saja."
Pipi Mentari memerah, malu.
"Aduh, pengantin baru," goda Asih sambil cekikikan.
"Apa sih."
Mentari berusaha memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan warna merah yang semakin ketara di wajahnya.
"Non Tari, silahkan mandi. Lalu jangan lupa sarapan. Asih sudah masak banyak. Non Tari pasti lapar setelah semalaman bergulat."
"Asih!"
Asih tertawa terbahak-bahak kemudian pergi setelah puas menggoda majikan mudanya.
***
"Syukurlah."
Langit bernapas lega karena ia sampai saat semuanya baru masuk.
"Lang?"
Langit melihat ke arah suara wanita yang tak asing bagi dirinya. Suara yang ingin mulai Langit lupakan.
"Aku menelponmu sejak subuh tadi," lanjutnya karena Langit tidak bicara apapun selain melihatnya.
"Ponsel aku matikan."
"Nanti pulang kerja, bisakah kita pergi bersama? Ada yang ingin aku bicarakan."
"Maaf Lan, aku sudah ada janji dengan Mentari. Dia terapi sore nanti."
Bulan terdiam dengan mata berkaca-kaca.
"Aku masuk ruangan dulu."
Langit tak mau lama-lama berbicara dengan Bulan. Ia tak mau tekad yang baru ia buat, hancur begitu saja. Meski dalam hati, Langit ingin berlari dan mendekap Bulan sambil menenangkan wanita itu tapi kini ia tak mau lagi karena Bulan saja tidak menganggapnya apa-apa selain sebagai teman.
"Apa kamu lupa akan janjimu tempo hari?!"
Suara Bulan sedikit meninggi dan itu menjadi terdengar sangat jelas karena suasana kantor sudah sepi.
Langit terus berjalan tak ingin menghiraukan Bulan dan itu membuat Bulan sangat kesal dan marah.
Bulan tak terima karena baru sebentar saja, Mentari sudah berhasil membuat Langit berpaling darinya.
Bulan kini memiliki tekad baru, selain mengejar para pria kaya, kini Bulan akan mengejar Langit supaya tidak akan pernah pergi dari sisinya lagi.
"Kamu tidak akan pernah bisa menjauhiku, Lang!" geram Bulan.
Rencana demi rencana kini mulai Bulan susun untuk mengikat Langit selamanya.
Langit adalah pria yang Bulan cintai tapi karena ia ingin menjadi orang yang dihargai dan diakui oleh sekitar, ia memilih untuk mengabaikan Langit dan mengejar pria kaya. Lagipula selama ini Langit selalu ada di sisinya yang membuat Bulan tidak merasa takut kehilangan dan bisa kapan saja bersama Langit.
Semua itu dulu, sebelum Mentari hadir ditengah-tengah mereka dan merusak segala rencana dan impiannya.
Hal itu menambah kebencian Bulan pada Mentari. Bulan ingin memisahkan Mentari dan Langit.
"Tunggu aku, Sayang."
Bulan tertawa sendiri kemudian berjalan santai menuju ruangan Langit. Ia akan menarik perhatian Langit dengan wajah sendu yang akan ia perlihatkan karena Bulan tahu, para pria akan takluk dengan wanita yang terlihat lemah dan tak berdaya seolah butuh perlindungan.
"Lang."
Langit mendongakkan kepalanya melihat Bulan menghampirinya dengan wajah memerah seperti akan menangis.
"Aku ingin bicara sebentar."
Langit melihat sekeliling, semua rekan kerjanya kini melihat kearah dirinya dan Bulan.
"Ini jam kerja. Kembalilah ke tempatmu."
"Aku tunggu pulang kerja."
Bulan berbicara sambil terisak kemudian pergi.
Langit sendiri tak bicara apapun. Ia justru merasa kikuk dan tak enak karena kini semua mata masih memandangnya seolah ingin tahu apa yang terjadi tapi Langit berusaha acuh dan melanjutkan kerjanya meski kini pikirannya terasa kacau.
Langit yakin, seharian nanti ia tak akan bisa fokus bekerja. Ia bingung, mengantar Mentari atau menemui Bulan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Diantara Langit dan Bulan
RomanceMemiliki tapi tidak memiliki. Begitulah yang dirasakan oleh Mentari sebagai istri sah Langit Permana. Ia memiliki raga Langit tapi tidak memiliki hatinya. Meski Langit memperlakukan dirinya dengan baik tapi Mentari tahu, semua yang dilakukan Langit...