Aku Sudah Ada Janji dengan Mentari

1.6K 266 34
                                    

Langit mengamati jam tangannya. Sebentar lagi waktunya pulang kerja sedangkan ia masih belum memutuskan apapun.

"Aku harus temani Mentari," ucap Langit meski tak mantap dengan ucapannya sendiri tapi ia sudah terlanjur berjanji kemarin. Ia tak mau Mentari kecewa padanya.

Sambil menunggu waktu pulang yang tinggal beberapa menit lagi, Langit bersiap-siap mengemasi peralatan kerjanya lalu ia ingin cepat-cepat pulang supaya tidak bertemu Bulan tapi semua itu hanya rencana. Bulan sudah datang terlebih dahulu.

"Lang."

Suara Bulan terdengar bergetar, Langit yakin wanita itu tengah menahan tangisnya saat ini.

Langit merasa serba salah, ia ingin meninggalkan Bulan namun ia merasa tak tega.

"Kita bicara sebentar, aku benar-benar butuh kamu saat ini."

"Aku sudah ada janji dengan Mentari."

"Aku mohon."

Bulan mulai menitihkan air matanya sehingga Langit merasa semakin terpojok dan tak memiliki pilihan lain lagi.

"Baiklah, katakan!"

"Ayo ikut aku!"

"Tidak, katakan saja di sini."

"Kamu yakin?"

Bulan melihat sekeliling dan semua mata yang ada di ruangan itu tengah mengamati mereka berdua. Sepertinya percakapan antara dirinya dan Langit lebih menarik daripada bersiap-siap untuk pulang.

"Ya."

Langit tak ingin berlama-lama, ia ingin masalah dengan Bulan cepat selesai supaya ia bisa segera menemani Mentari.

"Aku hamil."

"Apa?!"

"Aku hamil, Lang."

Bulan menangis sesenggukan sedangkan Langit salah tingkah karena kini orang-orang yang ada di ruangan itu mulai berbisik-bisik.

"Aku ... "

Ucapan Bulan terhenti, ia menutup mulutnya dan berlari meninggalkan Langit sambil menangis.

"Lan!"

Langit segera berlari mengejar Bulan. Ia takut Bulan akan melakukan hal-hal bodoh.

Entahlah, Langit tak mampu banyak berpikir saat ini. Ia juga tidak peduli lagi dengan omongan orang sekitar yang prihatin, mencibir atau bahkan menertawakan dirinya yang bodoh.

Pikiran Langit saat ini adalah menenangkan Bulan dan membantu Bulan keluar dari masalah yang dia hadapi saat ini.

"Bulan, tunggu!"

Langit meraih tangan Bulan supaya dia mau berhenti.

"Aku malu, Lang."

Bulan berhenti dan langsung memeluk Langit erat masih sambil menangis sesenggukan.

Langit ingin sekali membalas pelukan Bulan dan mengusap-usap rambut wanita itu pelan supaya merasa tenang namun Langit tidak melakukan itu. Langit takut tidak akan bisa melepaskan Bulan untuk selamanya.

"Hidup aku hancur, Lang."

"Berhentilah menangis."

Bulan tidak berhenti menangis, justru ia semakin terisak hingga membuat dada Langit ikut merasakan sesaknya melihat orang yang ia cinta terluka.

"Cukup, Lan. Aku mohon jangan menangis. Ayo ikut aku!"

Demi memenangkan Bulan, Langit akan mengajaknya ke tempat favorit mereka berdua.

Meski mungkin ia tak bisa membantu banyak, setidaknya ia bisa mendengarkan keluh kesah Bulan supaya hati Bulan merasa sedikit lega.

🥀🥀🥀

Mentari melihat pantulan dirinya di cermin untuk memastikan sekali lagi jika penampilannya saat ini sudah baik. Meski hanya pergi terapi biasa, ia tetap bersemangat karena Langit akan ikut mengantarnya. Ia tak sabar menunggu kedatangan Langit.

Meski ia bisa berangkat sendiri atau ditemani Asih tapi ucapan Langit yang ingin mengantarnya membuat Mentari tak sabar.

Lagipula, Langit memang berhak tahu kondisi dirinya saat ini.

"Jam lima," gumam Mentari.

Harusnya Langit sudah pulang karena jam kantor hanya sampai jam empat sore.

Meski penasaran tapi Mentari berusaha berpikir positif, ia berpikir Langit terjebak macet sehingga pulang telat.

Ya. Mungkin seperti itu.

Pikiran positif Mentari tak berlangsung lama. Ia cemas pada kondisi Langit dan ia takut terjadi sesuatu padanya. Akhirnya Mentari memilih untuk menelpon Langit.

"Tidak diangkat."

Mentari mencoba menghubungi Langit lagi dan lagi tapi tetap tidak ada jawaban. Pesan yang mentari kirim juga tidak ada balasan.

"Non Tari, katanya mau terapi?"

Asih menghampiri Mentari.

"Mas Langit tidak menjawab telpon dan tidak membalas pesanku. Aku khawatir terjadi sesuatu padanya."

"Mungkin sedang macet di jalan, Non."

"Meskipun macet, seharusnya sudah sampai rumah."

"Kalau begitu, coba telpon lagi saja, Non."

Mentari mengangguk dan mencoba menelpon kembali Langit tapi masih saja sama seperti sebelumnya. Langit tidak mengangkat telpon darinya.

"Ya Tuhan, semoga Mas Langit baik-baik saja."

"Non, coba telpon temannya di kantor. Mungkin Den Langit sedang lembur."

"Ah ya, benar."

Mentari segera mencari kontak teman kerjanya dan menanyakan apakah hari ini ada lembur.

Tubuh Mentari merosot saat mendengar jawaban dari temannya. Mentari mengikuti apa yang dia katakan.

Lagipula sudah lama ia tidak membuka grup kantor saat membukanya, hati Mentari seperti tercabik-cabik. Ia melihat foto suaminya sedang berpelukan dengan Bulan.

"Non?"

Asih langsung mendekati Mentari. Ia khawatir dengan perubahan wajah Mentari.

"Ada apa, Non?"

Mentari tak menjawab, ia hanya menyerahkan ponselnya kepada Asih.

"Astaga!"

Asih terkejut lalu menutup mulutnya tak percaya.

"Sabar ya, Non. Bisa saja, ini tidak sesuai dengan yang kita lihat."

Asih memeluk Mentari yang kini mulai menangis. Asih mengerti, wanita manapun pasti akan bereaksi seperti Mentari saat menahan kegundahan dan keresahan hatinya namun tak tahu harus berbuat apa. Sehingga menangis adalah pilihan paling tepat untuk saat ini supaya suasana hatinya sedikit membaik.

Diantara Langit dan BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang