Apakah Ini Kebahagiaan?

1K 238 38
                                    

Setelah membersihkan diri, Langit segera menemui Mentari yang telah menunggunya untuk makan bersama. Ia tak ingin, Mentari berpikir macam-macam tentang dirinya. Ia juga memasang password pada ponselnya, supaya Mentari tidak bisa membukanya saat ia tertidur nanti.

Mengingat tidur, sampai detik ini Langit belum berniat menjalankan kewajibannya untuk memberikan nafkah batin bagi Mentari.

Selain rasa canggung, Langit masih enggan karena jauh di lubuk hatinya menginginkan Bulan yang menjadi wanita pertama dalam hidupnya.

"Maaf membuatmu menunggu."

Langit menarik kursi dan duduk di hadapan Mentari yang telah menunggunya di ruang makan.

"Tidak apa-apa, Mas."

Mentari dengan sigap mengambilkan nasi, lauk-pauk beserta sayur untuk Langit.

"Kamu yang memasak?"

Mentari tersenyum malu-malu sambil mengangguk. Ia juga merasa takut jika masakan yang ia buat tidak sesuai dengan selera Langit.

Langit memakan masakan yang telah Mentari buat, ia tak menyangka jika masakan sederhana itu, terasa sangat enak dan pas di lidahnya.

"Bagaimana rasanya, Mas?"

Mentari penasaran dengan komentar Langit sehingga ia memberanikan diri untuk bertanya.

"Rasanya enak."

"Serius, Mas?"

"Ya."

Meski jawaban Langit singkat, Mentari tetap merasa senang. Semua istri pasti merasa senang jika masakan yang mereka buat mendapatkan respon baik dari suami.

"Oh ya, Mas. Besok sore aku ada jadwal terapi."

"Besok diantar."

"Tidak-tidak, aku bisa berangkat sendiri, Mas."

"Aku akan mengantarmu."

"Terima kasih, Mas."

Rasanya Mentari sangat bahagia. Ia mendapatkan suami tampan dan perhatian.

***
Makan malam selesai, Langit mengajak Mentari untuk beristirahat lebih awal.

Sebenarnya Langit belum mengantuk tapi ia butuh tidur supaya tidak kepikiran tentang Bulan namun saat hendak memejamkan matanya, ponsel miliknya yang berada di dekat bantal berbunyi beberapa kali menandakan ada beberapa pesan masuk.

"Sepertinya penting, Mas."

"Aku buka dulu."

Mata Langit membulat sempurna saat melihat beberapa kiriman foto mesra Bulan dan kekasihnya dari nomor tak dikenal.

"Ada apa, Mas?"

Mentari merasa cemas saat melihat ekspresi Langit yang terlihat marah.

"Apa kamu sudah siap?"

"Maksudnya?"

"Meresmikan hubungan kita lebih dalam lagi."

Muka Mentari mendadak merah padam. Ia tak menyangka Langit meminta haknya secepat ini.

"Baik, Mas."

Tentu Mentari setuju dengan permintaan Langit. Ia ingin pernikahannya dan langit sempurna. Jika beruntung, ia ingin cepat memiliki anak.

Langit mematikan ponselnya lalu meletakkannya di atas nakas yang berada di samping ranjang.

"Kamu yakin siap?"

Langit memastikan sekali lagi. Ia tak ingin melakukan hal ini tapi foto Bulan yang tengah bermesraan dengan kekasihnya membuat Langit merasa panas seperti terbakar.

"Iya."

Mentari tak mampu berpikir lagi. Malu dan bahagia bercampur menjadi satu.

Langit bergeser mendekati Mentari kemudian meraih tubuh Mentari supaya berhadapan dengannya.

Jantung Mentari rasanya ingin loncat dari tempatnya saat ini. Ia bisa berdekatan dengan Langit. Bahkan deru napas Langit bisa terdengar jelas.

Semakin dekat, semakin membuat napas Mentari seperti tercekat.

Sapuan lembut bibir Langit membuat Mentari semakin melayang. Sapuan lembut itu, perlahan-lahan berubah menjadi lebih menutut.

Entahlah, Langit tak mau banyak berpikir lagi. Ia akan berusaha menikmati apa yang telah sah menjadi miliknya dan mencoba untuk melupakan Bulan. Meski terdengar sedikit kejam. Ia seperti menjadikan Mentari pelarian tapi ia akan berusaha membahagiakan Mentari.

"Kita mulai?" bisik Langit pelan dengan napas yang makin memburu.

Mentari mengangguk dengan napas yang tak jauh beda dengan Langit.

Langit ingin segera mengesahkan Mentari tapi sepertinya itu tak mungkin karena ia yakin, Mentari belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya karena itu, Langit ingin menjadikan malam ini sebagai malam terindah untuk Mentari dan juga dirinya.

"Kamu hanya milikku?"

"Ya. Aku hanya milikmu, Mas."

Tanpa ragu, Mentari menjawab pertanyaan Langit.

Sedikit terlihat senyum di bibir Langit saat mendengar jawaban Mentari. Senyum yang makin membuat Mentari bahagia.

Langit mengulurkan satu tangannya untuk menyentuh seluruh hak miliknya sambil satu lagi membuka satu persatu kancing baju tidur yang Mentari kenakan.

Memberikan tanda kepemilikan adalah ide terbaik yang terlintas di otak Langit saat ini ketika melihat pemandangan bukit kembar yang ada di hadapannya.

Ya. Mentari hanya miliknya.










Diantara Langit dan BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang