Aku Tidak Pernah Salah

1.1K 243 41
                                    

Kedatangan Langit dan Bulan menarik perhatian teman-teman di kantor.

Bukan rahasia lagi, mereka mengetahui jika Langit sangat menyukai Bulan. Tentu saja, hal itu membuat yang lain penasaran kenapa mereka bisa datang bersama.

"Pelakor," ucap Miranda saingan utama Bulan sambil melewati Bulan dengan tatapan mencemooh.

Ucapan Miranda tentu saja membuat Bulan tak terima. Ia ingin mengejar Miranda dan menjambak rambutnya yang indah namun ia di cegah oleh Langit.

"Biarkan aku memaki wanita bermulut pedas itu!"

Bulan protes pada Langit karena telah mencegah dirinya.

"Tindakan kamu justru akan menarik perhatian banyak orang."

Bulan mengembuskan napasnya kasar. Ia marah dan tak terima tapi ucapan Langit benar, ia tak mau ada keributan yang akan merugikan dirinya sendiri. Ia harus tetap terlihat anggun dan elegan.

"Mungkin lebih baik kita jaga jarak."

Langit menatap Bulan tak percaya. Kenapa Bulan bicara seperti itu kepadanya. Langit tak bisa bayangkan harinya tanpa Bulan.

"Aku tidak setuju."

"Kamu sudah menikah, Lang. Aku tidak mau ada mulut-mulut lain seperti Miranda yang mengataiku Pelakor."

Bulan juga tak ingin berjauhan dari Langit tapi ia harus lakukan ini semua demi rencana yang telah ia susun susah payah.

Bulan juga sengaja bicara sedikit keras untuk menarik perhatian sekitar dan membuktikan bahwa dirinya adalah wanita baik-baik.

Tak lupa, Bulan juga berakting terlihat seperti sedih dan terluka supaya yang melihat dirinya merasa kasihan.

"Baiklah."

Mata Bulan terlihat berkaca-kaca membuat Langit tak tega, akhirnya ia setuju dengan keputusan Bulan. Mungkin inilah cara yang terbaik untuk melindungi Bulan supaya tidak terluka karena dirinya.

Bulan menitihkan air mata, lalu cepat-cepat ia hapus dan berlari pergi dari hadapan Langit.

Hal itu membuat hati Langit merasa teriris, melihat orang yang ia sukai terluka karena dirinya. Ia juga kini merasa menyesal telah mengambil keputusan tanpa berpikir panjang, ia menyesal telah menikah dengan Mentari sehingga tak bisa lagi melindungi Bulan.

Langit tak bisa berbuat banyak untuk membalas perlakuan Miranda pada Bulan karena ia tak mau ada keributan besar yang akan membuat Bulan makin terpojok dan menderita.

Miranda yang melihat Bulan dan Langit hanya bisa tertawa. Sudah lama ia tak menyukai Bulan karena Bulan selalu merebut apa yang dia sukai.

Jujur saja, Miranda tidak ingin bertindak seperti itu pada Bulan. Dulu mereka adalah sahabat karib. Mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama dan saling curhat seperti sepasang sahabat pada umumnya tapi semua itu berubah saat Bulan mengambil kekasihnya, menusuk dirinya dari belakang.

Sejak saat itu, Miranda tak menyukai Bulan. Meski semuanya sudah sangat lama terjadi tapi tetap saja, Miranda tak terima sebelum melihat Bulan menangis, merasakan kehilangan orang yang paling dicintainya.

Miranda berpikir, mungkin inilah saatnya. Ia akan berdiri di pihak Mentari untuk menyerang Bulan karena Miranda yakin, Bulan menyukai Langit dan Miranda tak akan pernah membiarkan Bulan mendapatkan Langit. Ia ingin Bulan menderita melihat Langit bahagia bersama Mentari.

"Sebaiknya kamu jangan bicara sembarangan!"

Langit mencoba menegur Miranda saat melewatinya.

"Aku hanya bicara fakta."

"Bulan wanita baik-baik. Kamu bisa dengar tadi. Sebaiknya kamu minta maaf kepadanya."

"Minta maaf?"

Miranda tersenyum mengejek. Sampai matipun ia tak sudi untuk meminta maaf pada Bulan karena seharusnya, Bulan yang harus minta maaf padanya.

"Kamu salah paham padanya dan berbicara tidak baik. Aku dan Bulan hanya teman."

"Aku tidak pernah salah. Jika sudah tidak ada yang ingin kamu bicarakan lagi, aku mau ke ruang kerjaku karena aku tidak punya banyak waktu ladenin drama wanita tak tahu diri itu."

Miranda berjalan angkuh melewati Langit yang terlihat sangat marah tapi Miranda tak peduli. Ia akan tetap menjadi dirinya sendiri meski banyak orang yang akan membencinya.

🥀🥀🥀

Mentari bosan seharian di rumah tanpa melakukan apa-apa. Ia hanya bisa duduk menyaksikan asisten rumah tangga yang di kirim oleh orang tua Langit untuk membantunya  mengerjakan pekerjaan rumah.

"Apa ada yang bisa aku bantu?"

"Sudah, Non Tari istirahat saja. Biar Asih yang bereskan rumah ini."

"Aku bosan tidak melakukan apapun."

"Non Tari masih sakit, jadi harus banyak-banyak istirahat supaya cepat sembuh dan bisa beraktivitas normal seperti sediakala."

Mentari tersenyum tipis, ia bersyukur karena orang tua Langit mengirimkan  asisten rumah tangga seperti Asih. Dia masih muda serta banyak bicara membuat Mentari sedikit terhibur dan tidak begitu merasa kesepian di rumahnya yang baru.

Mentari berharap, rumah baru ini bisa memberikan kehidupan baru yang lebih baik untuknya. Kehidupan rumah tangga yang harmonis dan langgeng sampai mereka menua.

"Asih, berapa lama kamu bekerja di rumah orang tua Mas Langit?"

"Sudah sejak usia lima belas tahun jadi sekitar tujuh tahunan, Non."

"Muda sekali dan sudah lama juga, ya?"

"Kalau di desa-desa seperti itu, Non. Masih muda sudah banyak yang memilih untuk bekerja, merantau demi mendapatkan hidup yang lebih baik."

"Kamu tidak memilih untuk melanjutkan sekolah?"

"Sebenarnya ingin, Non. Semua pasti inginkan itu namun tidak semua orang beruntung memiliki uang yang cukup untuk biaya sekolah. Meskipun katanya ada sekolah gratis kadang masih ada beberapa buku yang tentunya tidak gratis juga. Belum lagi transportasi menuju ke sekolah dan masih banyak lainnya."

Mentari mengangguk paham. Semua yang dikatakan Asih benar dan ia harus bersyukur atas hidupnya saat ini.

"Sepertinya seru?"

"Mas Langit."

Mentari langsung berusaha berdiri untuk menyambut Langit yang baru pulang bekerja.

"Tidak usah berdiri. Duduk saja!"

Langit menghampiri Mentari dan mencium keningnya.

"Bagaimana harimu?"

Langit duduk di samping Mentari.

"Andai Mamah tidak mengirim Asih kemari, mungkin aku akan merasa bosan."

Langit melihat ke arah Asih yang tengah senyam senyum melihat dirinya dan Bulan.

"Terima kasih, Asih," ucap Langit.

"Tidak usah berterima kasih, Den Langit. Asih suka kok nemenin Non Tari."

Langit mengangguk kemudian kembali melihat ke arah Mentari.

"Kamu sudah makan?"

Mentari menggelengkan kepalanya.

"Kenapa? Kamu ingin makan apa?"

"Aku hanya ingin makan bersama kamu."

Mentari tersipu malu, telah mengutarakan apa yang menjadi keinginannya.

"Baiklah, aku mandi dulu sebentar. Setelah itu kita makan bersama."

Sekali lagi, Langit mengecup kening Mentari sekilas lalu bangkit dari tempat duduknya menuju kamar. Ia harus bisa bersikap normal saat di hadapan Mentari meski hatinya kini tengah gelisah karena nomor Bulan tidak bisa di hubungi sejak tadi siang.

"Semoga kamu selalu baik-baik saja, Lan," gumam Langit sedih.

Diantara Langit dan BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang