08. Almet Kita Ketuker!

10 1 0
                                    

• 08

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

08. Almet Kita Ketuker!

Nggak afdol rasanya kalo ke Jogja nggak nongkrong di Kebon Ndalem. Dengan Tugu sebagai pemandangannya, aku saat ini tengah menikmati vanilla frappe dan banana split. Renjana sendiri sudah hampir menandaskan sepiring nasi goreng sei sapi cabe ijo—bukan Renjana sendiri sih, tadi aku sempat minta seperempat piring.

"Besok lo jadwal ambil almet jam berapa?"

Aku mengalihkan pandanganku dari hiruk-pikuk Tugu yang terlihat dari atas sini, "Kita satu fakultas kalo lo lupa, yang artinya kita bareng."

"Iya, tapi jam berapa?"

Aku memutar kedua bola mataku, "Bilang aja lo males buka palawa."

Renjana meringis di hadapanku, dengan malas aku membuka ponsel, mengakses portal akademik mahasiswa kemudian memeriksa jadwal pembagian almet dan pembuatan KTM.

"Kita besok dapet jam 10."

Renjana menyeruput teh hijaunya, "Gue jemput setengah sepuluh kalau gitu."

Aku mengangguk, "Pakai scoopy gue aja ya, dari kemarin belum gue panasin."

Iya, hampir tiga hari di Jogja dan kami selama itu menggunakan vespa milik Renjana. Kasihan sekali scoopy hitam kesayanganku yang hanya asyik nangkring di parkiran kos tanpa tahu dunia Jogja yang menakjubkan.

"Tugas ospek lo sampe mana?" Renjana membuka suara lagi.

Aku terdiam, mencoba mengingat-ingat, "Tinggal yang hari terakhir kayaknya."

Netra serupa rubah itu berbinar, "Gila, gercep banget lo! Pasti tugasnya rilis langsung lo kerjain."

Aku mengangguk, "Kek lagunya Smash deh lo."

"Hah?"

"You know me so well..."

Aku melihat Renjana mengernyit kemudian ia berujar, "Dasar bocah prik."

"Halah, gue ingetin bocah prik ini yang bakal ngasih contekan buat tugas ospek," cibirku pelan.

Renjana terkekeh pelan, tangannya terulur mengacak rambutku lembut, "Lo tau nggak sih, Ra, kalau gue sayaaaaaang banget sama lo."

Jangan salah paham dulu, Renjana dengan mulut lemesnya itu sering merayu siapa saja demi mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri. Ah, sudah hapal di luar kepala aku.

Aku memutar bola mata malas, "Jijik gue dengernya."

Aku buru-buru berdiri, melangkah meninggalkan Renjana. Sementara laki-laki penyuka warna kuning itu hanya menatapku sambil tersenyum geli. Mataku melirik vanilla frappeku yang masih separuh. Sayang sekali, minuman enak itu harus kutinggalkan jika tak mau mendengar rayuan-rayuan milik laki-laki mirip rubah itu.

Asmara Anucara [Huang Renjun]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang