01. Awal Mula

47 4 14
                                    

• 01

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

01. Awal Mula

Kata orang, nggak semua omongan laki-laki itu bisa dipegang, sama kayak Papa yang katanya cinta mati sama Mama tapi berakhir ninggalin Mama demi wanita lain, brengsek memang. Tapi aku kenal laki-laki yang selama ini omongannya bisa kupegang. Bukan dalam arti bisa 'dipegang' beneran, tapi ya intinya gitu.

Kita kenal pertama di taman kanak-kanak. Aku yang saat itu masih pemalu—sekarang juga sih, cuma duduk diam tanpa punya minat berteman, ah antisosial sekali. Kemudian, ada laki-laki ini. Dia orang pertama yang ngulurin tangan pas aku jatuh kepeleset di deket ayunan. Setelah itu, matanya yang bulat lucu melotot ke arah lututku yang berdarah.

Dia mengantarku pulang sampai ke rumah. Tahu hal yang merupakan kebetulan? Rumahnya ternyata bersebelahan dengan rumahku! Kebetulannya lagi, kamar dia ternyata ada di seberang kamarku. Saat itu, dia seneng banget sambil jingkrak-jingkrak heboh. Sejak saat itu kami mendeklarasikan pertemanan.

Dulu pas kita masih di sekolah dasar, dia pernah bilang kalau kita bakalan satu sekolah lagi, dan bener di SMP kita satu sekolah—ah bahkan sekelas. Sepele banget sih, tapi dari situ emang semua omongan-atau mungkin bisa disebut janji dia, itu dia ditepati.

Di SMP dia pernah bilang, kalau ada yang gangguin aku bakal dia tanganin. Awalnya aku kira dia cuma bercanda, makanya aku cuma ngangguk sambil ketawa. Toh aku juga nggak punya pikiran bakalan digangguin siapa-siapa. Aku kan bukan apa-apa jadi tak mungkin ada orang yang repot-repot mau mengangguku.

Namun, aku sepertinya salah. Di tahun kedua SMP, aku mendapat gangguan dari beberapa anak perempuan. Mungkin ini yang disebut bullying. Sebenarnya tidak separah seperti di drama-drama sih, mereka hanya mengangguku lewat perkataan pedasnya, mengangguku secara mental.

Awalnya aku kira aku bisa bertahan. Tapi saat mereka menghina Mamaku yang single parent dengan sebutan yang aku sendiri tidak berani mengatakannya, aku kalap. Tanganku saat itu secara refleks menampar pipi temanku—ah aku masih terlalu baik tetap menyebutnya teman. Aku bahkan sempat kaget dengan perbuatanku, tapi aku tidak menyesal sama sekali.

Beberapa hari setelahnya, Mama dipanggil ke sekolah. Katanya, aku akan diskors selama tiga hari dan Mama hanya mendiamkanku sambil melotot tajam. Kemudian, di hari pertama aku diskors, laki-laki yang kamarnya berseberangan dengan kamarku itu memaksaku untuk datang ke sekolah. Aku menolak tentu saja. Hei, aku ini sedang menjalani hukuman dengan baik dan benar. Dan apa-apaan dengan datang ke sekolah saat jam sudah menunjuk pukul 10.00? Anehnya, aku tetap mengikutinya yang menyeretku sampai di ruang kepala sekolah.

Aku tidak jadi diskors. Katanya, laki-laki yang saat ini sudah kembali menyeretku ke kelas ini menemukan bukti bahwa aku tidak salah. Sebagai gantinya malah teman perempuanku yang sudah menghina Mamaku diskors selama tujuh hari.

Aku tidak tahu bukti apa yang ia gunakan, intinya aku tidak jadi menerima poin dan tidak jadi diskors. Saat itu, dia tidak mengatakan apapun kepadaku, mendiamkanku hampir seharian penuh.

Takut-takut aku bertanya, "Lo marah gue nampar Hina?"

See? Bahkan namanya Hina, sama seperti kelakuannya.

Dia diam lumayan lama kemudian berujar sambil menatapku penuh, "Kalo gue jadi lo juga gue bakalan babat abis kepala tuh cewek."

Mendengar jawabannya, aku tersenyum tipis. Lagi-lagi dia membuktikan perkataannya, dia akan selalu menjagaku.

Pas SMA kita masih satu sekolah, tapi sayangnya beda kelas. Ah, selisih dua kelas aja sih. Saat putih abu-abu banyak yang mengira kami sepasang kekasih. Hanya karena aku dan dia selalu bersama—hei kami ini hanya sahabat yang benar-benar karib.

Di SMA aku juga punya teman dekat lain, namanya Jihan. Jihan dulunya juga sempat mengira kami berkencan, tapi semester depannya malah Jihan yang berkata padaku bahwa ia dan sahabatku tengah berkencan. Iya, Jihan adalah pacar pertama—mungkin juga cinta pertama sahabat baikku itu. Aku ikut senang tentu saja.

Aku juga sempat dekat dengan seseorang saat SMA, namanya Hendry. Kami dekat tapi tidak sampai berkencan karena niat busuk Hendery tercium oleh dia.

Awalnya aku tak percaya saat dia dengan gamblang mengatakan bahwa aku tak boleh berdekatan dengan Hendry dengan alasan bahwa Hendry akan mempermainkanku. Kami bahkan sempat bertengkar—yang ngomong-ngomong itu pertengkaran pertama kami.

Namun, lagi-lagi sahabat laki-lakiku itu benar. Hendry mendekatiku untuk mendapatkan sebuah motor sport milik Joni. Aku sempat melayangkan tamparan ke pipi Hendry saat itu—iya, memang senjataku hanya tamparan. Yang benar saja, bisa-bisanya ada laki-laki seperti dia di dunia ini?

Setelah itu, aku sempat mengurung diri di kamar selama satu hari penuh. Mama sempat membujukku berulangkali tapi aku tetap dalam mode menyalahkan diri sendiri. Sungguh, ini pengalaman pertamaku tentang cinta tetapi kenapa harus berakhir seperti ini?

Malam harinya sahabatku masuk ke kamarku setelah mencongkel jendela, bar-bar sekali memang. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya mendekapku semalam penuh dan aku hanya menangis dalam diam di dadanya.

Ah tunggu, jangan kaget. Kami terbiasa berpelukan kok, jadi ini bukan hal yang aneh.

Lalu kami berbaikan lagi. Aku tidak lagi dekat dengan Hendry dan katanya dia sudah putus dengan Jihan. Aku tak tahu apa alasannya yang jelas saat aku masuk ke kelas Jihan sudah tidak lagi duduk sebangku denganku. Dia juga tidak mau berbicara denganku lagi.

Di tahun ketiga SMA, Jihan pindah kelas dan aku mendapat teman sebangku baru, namanya Lani. Dia periang, ceria dan juga banyak berbicara—sangat berbanding terbalik denganku, tapi anehnya pertemanan kami bertahan lama hingga saat ini.

"Nara, cepetan turun, Renjana udah nungguin dari tadi."

Kalau itu sudah pasti suara Mamaku yang berteriak dari bawah. Aku merapikan pakaianku kemudian meneliti ranselku, takut-takut ada barang tertinggal.

"Lo ngapain dah ndekem lama banget di kamar, buruan!"

Kalau ini sudah pasti suara teman atau sahabat yang sedari tadi kuceritakan. Ia memang tak tahu sopan santun, tak pernah mengetuk pintu sebelum masuk kamar. Lihat kan? Dia bahkan saat ini sudah asyik goleran di ranjangku.

"Renjana, Nara buruan! Kalian mau ketinggalan kereta?!"

Aku buru-buru menyeret sahabat baikku—Renjana untuk keluar dari kamar. Dia sibuk menggerutu, mengomeliku yang katanya bersiap dengan sangat lama.

"Nara buruan! Main hpnya nanti lagi! Renjana seret Nara, kalau perlu kamu bopong terus lempar ke mobil!"

Ah, sudah dulu ceritanya, ya. Nanti aku ceritakan lagi kalau sempat. Aku sedang buru-buru sekarang, takut ketinggalan kereta—sebenarnya lebih takut ancaman Mama sih, gimana kalau Renjana beneran ngelakuin perintah Mama? Aku kan nggak mau dilempar ke mobil!

"Nara, cepetan!"

Nah, kan. Renjana udah ikut ngegas. Kalau kali ini beneran udah dulu ceritanya, ya. Sampai jumpa lagi.

Finally, published!Jadi, walaupun nggak ada yang baca aku tetep bakal publish heheoke sekian, bye!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Finally, published!
Jadi, walaupun nggak ada yang baca aku tetep bakal publish hehe
oke sekian, bye!

Asmara Anucara [Huang Renjun]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang