11. Jevano Prayuda dan Inspeksi Perdana

14 1 0
                                    

• 11

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

11. Jevano Prayuda dan Inspeksi Perdana 

Rumah Jeno berada tak jauh dari kampus, mungkin sekitar 20 menit saja, yaitu di Hyarta Residence. Aku membonceng Jeno setelah sebelumnya mengembalikan motorku ke kosan. Saat kutanya kenapa harus begitu, Jeno menjawab takut kalau aku tertinggal di belakang dan berakhir nyasar. Ck, apakah dia meremehkan skill ngebut dan membaca mapsku?

"Lo punya meteran laser nggak, Jen?" Aku berkata sedikit berteriak karena jalanan yang lumayan ramai.

Jeno membalasku tak kalah keras, "Ada di rumah!"

Aku tertawa keras karena Jeno yang juga membalasku dengan berteriak, kami sudah seperti di hutan saja, "Oke, pinjem ya!"

Kami tertawa bersama dengan keras hingga menimbulkan pengendara motor lain menoleh ke arah kami. Mungkin berpikir kami sedikit gila.

Aku sendiri bingung. Selain dengan Renjana, baru kali ini aku bisa seekspresif ini. Bahkan dengan Haechan yang notabenenya kenal lebih dulu daripada Jeno aku terkadang masih sedikit canggung, padahal aura Haechan malah lebih friendly loh. Tapi kali ini aku seperti bertemu teman lama—hei, bukankah kami baru berkenalan tadi?

Memasuki salah satu rumah dengam cat putih dan abu-abu, Jeno memarkirkan motornya di garasi yang kosong. Aku memandangi rumah Jeno. Wajar sih, karena berada di dalam kawasan perumahan mewah jadi ya sudah dipastikan bagaimana mewahnya rumah Jeno. Hanya saja yang jadi masalah, berapa banyak data yang perlu aku tuliskan di form inspeksi lapanganku nanti?

"Kenapa?" Jeno membuka suara mungkin mendengar helaan napasku yang tergolong keras.

"Rumah lo mewah banget, gue takut ga bisa inspeksinya deh," aku mengaku sambil meringis.

Jeno terkekeh dan lagi-lagi kedua matanya hilang dengan lucu, "Nanti aku bantuin."

Aku tak bisa untuk tidak memekik girang, mungkin juga netraku sudah berbinar sekarang, "Beneran ya?"

Masih dengan senyumnya ia membalas, "Iya, Naraya."

Jeno memasuki rumahnya, mengucap salam dengan sedikit keras kemudian ada wanita memakai daster dengan warna pastel yang datang dari arah dalam dan membalas salamnya.

"Loh tumben udah pulang, Je?" Wanita dewasa itu menatap Jeno heran.

Tangan Jeno terulur menyalaminya, "Jam kuliahnya udah selesai, Ma. Ah iya, ini temen sekelas Jeno namanya Nara, dia mau minjem rumah buat objek tugas penilaian kayak Jeno kemarin lho."

Wanita itu beralih menatapku, senyumnya terbit. Ah, aku tahu sekarang dimana Jeno mendapatkan eyesmile yang menawan itu. Iya, jawabannya ada pada wanita yang melahirkannya ini.

"Temen apa temen?" Sudut bibir Mamanya Jeno ini tersenyum meledek anaknya.

"Saya Naraya, Tante. Mau minta izin buat inspeksi rumah buat tugas ya, Tan," aku berkata sambil menyalimi tangan Mamanya Jeno.

"Boleh kok, Nak Nara. Ayo, duduk dulu," Mama Jeno sudah memegangi tanganku kemudian membimbingku untuk duduk di salah satu sofa di ruang tamunya.

"Aku ambilin legalitas sama meteran lasernya dulu, ya," Jeno berkata sambil menatapku, ketika melihat anggukanku ia kemudian melangkah meninggalkan aku dan Mamanya—yang ngomong-ngomong masih menatapku terus sedari tadi.

Aku heran, tidak ada hal aneh di wajahku kan? Atau rambutku yang berantakan? Aku tersenyum canggung ketika tanpa sengaja berkontak mata dengannya. Dengan sedikit salah tingkah, aku mengeluarkan papan jalan dan form inspeksi dari totebagku.

"Nara aslinya dari daerah mana kalau boleh tau?" Mamanya Jeno membuka suaranya sambil tangannya sibuk membuka toples makanan ringan.

"Saya dari Jakarta Pusat, Tan."

Netra wanita yang kutaksir sepantaran dengan Mama itu sempat melebar sepersekian detik, "Beneran? Papanya Jeno juga dari Jakpus lho."

Aku ikut tertarik dengan obrolan ini. Oh ayolah, refleks orang jauh di perantauan itu jika mendengar ada orang berasal dari daerah yang sama jadi merasa bersaudara.

"Ohiya, Tan? Jakpusnya daerah mana? Siapa tahu malah tetanggaan sama saya," aku sedikit terkekeh geli di akhir.

"Waduh kalau itu Tante kurang tahu sih, nanti aja kalo Papanya Jeno pulang kamu tanyain aja, Ra."

"Boleh, Tante. Hehehe."

Jeno datang dari arah dalam sambil membawa tiga gelas minuman yang aku tebak adalah jus jeruk karena warna kuningnya. Ck, berbicara tentang warna kuning, aku jadi teringat Renjana.

Laki-laki yang punya tato—ah bukan, tanda lahir di punggung tangan kanannya—itu dari tadi tak henti mengirimiku pesan melalui line. Dia mengirimi hampir 25 pesan yang isinya sangat-sangat tidak penting. Seperti mengingatkanku untuk pulang sebelum maghrib, menanyakanku sudah makan atau belum—padahal dia tadi melihat aku makan sepiring nasi pecel di kantin, menanyakan rumah Jeno dimana, menanyakan dia perlu menjemputku atau tidak, dan yang paling random adalah menanyakan apa warna cat tembok rumah Jeno, aneh sekali bukan?

Semua pesan Renjana hanya aku baca, aku sedang tak punya mood untuk membalas ketidakjelasan laki-laki itu. Oh ayolah, setelah hampir sepuluh—tidak, bukan sepuluh, kata Renjana dua belas—hari kami tidak bertemu dan dia tidak mengirimiku pesan satupun. Sekarang saat dia senggang dan mungkin gabut bisa-bisa dia membombardir ponselku dengan pesannya.

"Ini meteran lasernya, terus ini SHM tanahnya, ini IMBnya," Jeno menyerongkan meteran laser berwarna hitam dan satu map yang mungkin berisi legalitas rumahnya.

Aku mengalihkan pandangan ke Mamanya kemudian aku meringis, "Izin aku fotoin rumah sama legalitasnya ya, Tan."

"Nggak papa, Ra. Boleh, kemarin juga Jeno juga ribut gitu inspeksi di rumah eyangnya."

Jeno yang disebut hanya cengengesan yang membuatku tersenyum simpul. Jeno sepertinya tipe-tipe softboy yang tidak bisa membantah omongan Mamanya. Sangat berbanding terbalik dengan Renjana yang selalu ngegas dan adu mulut dengan Bundanya, tapi aku tahu sih, cara penyampaian kasih sayang orang itu beda-beda—tunggu, kenapa aku jadi membandingkan mereka berdua?

"So, mau dimulai darimana?" Jeno berujar sambil bangkit dari duduknya dan aku mengikutinya.

Aku menjawab dengan semangat, "Dari depan aja gimana? Teras terus nanti baru masuk-masuk ruangan."

"Boleh. Yuk, Na. Aku temenin sama aku bantuin."

Aku mengangguk mantap, entah kenapa aku begitu semangat. Banyak kemungkinan kenapa aku bisa sesemangat ini, mungkin karena ini inspeksi perdanaku, mungkin juga karena aku akhirnya memperoleh objek penilaian, atau malah karena orang yang membantuku dan juga sebagai pemilik objeknya—Jevano Prayuda.

 Banyak kemungkinan kenapa aku bisa sesemangat ini, mungkin karena ini inspeksi perdanaku, mungkin juga karena aku akhirnya memperoleh objek penilaian, atau malah karena orang yang membantuku dan juga sebagai pemilik objeknya—Jevano Prayuda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Asmara Anucara [Huang Renjun]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang