05. Barat dan Timur

13 2 1
                                    

• 05

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

• 05. Barat dan Timur •

Kampus negeri yang akan menjadi tempat kuliahku dan Renjana ternyata lumayan luas. Kami saat ini sedang berada di dekat Fakultas Psikologi. Kami belum menuju gedung fakultas kami karena tadi keburu sholat ashar—btw kami sudah mencoba sholat di masjid kampus dan masjidnya nyaman banget, aku saja hampir tertidur di sana.

"Mama lo dulu kuliah di sini?" Renjana berujar sambil memakai helmnya.

Aku menggeleng pelan, "Mama di kampus sebelah."

Renjana hanya mengangguk paham kemudian menaiki motor, kami berniat untuk mengelilingi kampus di sekitar sini dulu karena tadi aku lihat gedung fakultas kami berada agak jauh dari sini. Mungkin kami akan memulainya dengan Lapangan Pancasila, Grha Sabha Pramana, lalu ke Gedung Pusat. Jangan tanyakan darimana aku tahu gedung-gedung itu, karena jaman sekarang google sudah membantu banyak. Tadi saja kami menemukan masjid berkat bantuannya.

Renjana tak banyak bicara selama di perjalanan—mungkin dalam rangka menikmati atau juga mengingat nama-nama gedung kalau-kalau besok saat kuliah perlu mendatanginya. Aku juga diam, menatap beberapa gedung yang menjulang, pohon-pohon yang terawat rapi, juga beberapa orang hilir-mudik dengan kesibukannya.

Aku tiba-tiba tersadar, aku akan kuliah. Aku akan memasuki dunia yang mungkin sangat berbeda daripada saat sekolah menengah dulu. Entah kenapa aku tiba-tiba takut, tanpa Mama aku bisa atau tidak ya?

Aku ini anak satu-satunya dan Mama juga satu-satunya orangtuaku—aku tak mau menganggap laki-laki brengsek itu Papaku, tidak. Cukup bersama Mama aku sudah bahagia. Aku belum pernah berpisah dari Mama, apalagi harus tinggal jauh—jadi, tidak salah kan kalau aku tiba-tiba ragu dan khawatir?

Renjana masih diam saja, tapi ia melajukan motornya keluar dari Boulevard kampus. Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran Renjana, apakah dia juga berpikir sama sepertiku? Karena pada kenyataannya kita ini sama-sama anak tunggal yang belum pernah pisah dengan orangtua.

Di lampu merah dekat dengan KFC aku memanggilnya, "Ren."

"Hm?"

"Lo ngerasa takut sama ragu nggak, Ren?"

"Hah? Kenapa, Ra?" Renjana menjawab dengan suara sedikit keras, mungkin agar aku bisa mendengarnya karena hiruk-pikuk kendaraan di sekitar kami.

"Enggak papa, nanti aja ngobrolnya."

Renjana diam saja, tapi setelah melewati pertigaan dan mendapat tempat yang lumayan sepi sekaligus lebar dia menghentikan motornya.

"Tadi ngomong apa, Ra? Gue nggak denger, motor trail tadi suaranya kenceng banget, knalpotnya dimodif kayaknya," Ia berkata sambil menoleh kepadaku.

"Lo ngerasa takut sama ragu nggak? Gue kok tiba-tiba takut nggak bisa adaptasi ya, Ren."

Renjana sudah menatap depan, kami masih duduk berboncengan di motor matic sewaan ini. Aku mendengarnya menghela napas.

"Lo pasti bisa, Nara. Ada gue, lo harusnya paham kenapa gue ngikutin lo sampai ke Jogja."

"Buat jagain gue kan?"

Renjana berdecak lalu memukul lututku, "Buat kuliah lah, ya kali jagain lo."

Aku tidak bisa untuk tidak memukul kepala Renjana—ya walaupun terhalang helm. Sementara itu, pemilik kepala itu hanya tertawa keras. Aku kesal tapi entah kenapa aku juga ikut menyemburkan tawa.

Benar kata Renjana, aku pasti bisa. Ada Renjana yang bakal menjaga—ralat kuliah bersamaku di sini.

Nara, semangat!

*****

Ada berita besar!

Aku dan Renjana tidak segedung—sebenarnya wajar sih karena kami beda departemen, tapi yang nggak wajar itu jarak gedungku dengan gedungnya, jauh sekali.

Aku baru tahu ternyata Fakultas Sekolah Vokasi kami berdiri di dua tempat. Departemen tempatku kuliah yaitu Ekonomika dan Bisnis—iya, aku mangkir jurusan—berada di depan Jalan Prof. Dr. Mr. Drs. Notonegoro—aku tidak tahu berapa lama Pak Notonegoro ini kuliah karena gelarnya sendiri sudah membuatku ngeri.

Oke, lupakan tentang Pak Notonegoro dan gelarnya. Gedung Renjana berada di Gedung Pusat Sekolah Vokasi di daerah Sekip. Gedungku berada di sebelah timur dan gedung Renjana di sebelah barat. Sebutan kerennya sih voktim untuk vokasi timur—gedung departemenku. Dan vokbar untuk vokasi barat yang berisi departemen-departemen lain selain departemenku.

Aku heran, ngapain juga dipisah. Padahal kan hanya satu departemen yang berada di tempat berbeda, begitu tadi protesku pada Bapak-bapak mirip satpam yang berseragam warna biru.

Tapi Bapak-bapak tadi hanya mengatakan bahwa wilayah Sekip sudah tidak cukup untuk membangun gedung untuk departemenku, di tambah lagi bangunan di daerah Sekip kebanyakan adalah cagar budaya, jadi ya tidak bisa diubah-ubah.

Aku sempat kesal tapi setelah melihat gedung departemenku kekesalan itu hilang. Nyatanya, gedungku lebih baik dari gedung Renjana—karena gedungku adalah gedung baru dan tidak ada aura bangunan sisa Belanda. Fasilitasnya juga tergolong lebih lumayan. Ya, setidaknya cukup sih untuk mengobati kekesalanku karena berpisah dengan Renjana. Gedung kuliahku juga sangat berdekatan dengan masjid kampus tapi kami tadi tidak menyadarinya.

"Lo mau nyari kos lain, Ren?"

Aku bertanya karena ternyata kos kami lebih dekat dengan gedungku jika dibandingkan dengan gedungnya.

"Ngapain? Kos yang tadi nyaman kok."

"Jauh dari gedung lo kan?"

Dia menggeleng, meminum teh botol yang tadi sempat di belinya. Oh iya, saat ini kami sedang berada di Wisdom Park yang berada di seberang gedung kampusku.

"Timbang dari Sagan ke Sekip doang, kan besok gue juga ada motor."

Aku mencibir, "Lagak lo udah kayak paham banget sama daerah Jogja."

Ada jeda yang lumayan lama. Wisdom Park ini lumayan sejuk di sore hari seperti ini. Sepertinya aku akan betah jika bersantai di sini saat penat karena tugas kuliah—halah, kenapa aku jadi sok tahu sekali tentang dunia perkuliahan?

"Ayo nyari oleh-oleh, besok kita kereta pagi kan?" Renjana berdiri kemudian membersihkan bagian belakang celananya.

"Mama nitip Bakpia Kurnia Sari," aku berkata sambil mengingat-ingat.

Renjana mengangguk, "Bunda sama Ayah juga nitip Bakpia Tugu."

"Gue beli buat Arin juga ya."

"Ayo buruan, keburu maghrib, gue juga mau beli buat Arjun sekalian."

Sudahi overthinkingmu, mari berbelanja bersamaku!

Sudahi overthinkingmu, mari berbelanja bersamaku!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Asmara Anucara [Huang Renjun]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang