Jangan lupa vomment.
Malam itu hujan turun begitu deras mengguyur bumi, dengan kilat dan petir yang terus saling bersautan.
Luna duduk di samping anak bungsunya yang kini sedang bermain catur bersama suaminya. Luna tersenyum meski hatinya masih sakit jika harus menginggat kejadian dua tahun yang lalu.
Dua tahun ya. Waktu terasa begitu cepat berlalu. Namun selama itu tidak lagi bisa Ia rasakan bahagia yang sesungguhnya seolah ketika dirinya ingin berbahagia wajah anak sulungnya selalu menjadi alasan untuknya menyiksa diri.
Ikhlas. Iya, begitu permintaan anak bungsunya juga bisikan yang terdengar lembut di telingannya ketika Dirinya pergi mengunjungi rumah anaknya. Luna sudah ikhlas meski di dalam hati kecilnya menolak mentah-mentah kata itu.
" Bun.. besok kita jadi kan ke rumah Abang. "
Rumah.. Luna menantang keras ketika orang mengajaknya pergi ke makam anaknya. Ia akan marah, bukan karena ajakannya tapi karena kata Makam yang mereka ucapkan Luna tidak terima, tentu saja.
Kata makam terlalu keji untuknya yang masih merindukan senyum manis milik anaknya yang lain. Jadi ajaklah Ia ke rumah baru anak sulungnya, jangan ke makam. Luna yakin Jeno masih ada, dia masih hidup. Kalaupun tidak di dunia ini dia hidup di surga sana.
Jeno selalu hidup di hati Bunda.
"Jadi dong... Kemarin kan udah nggak jadi,. Nanti abang ngambek kalo kelamaan di tinggal. "
Benar. Apa yang dikatakan suaminya itu benar, anaknya pasti akan marah atau lebih parahnya akan kembali kecewa. Luna yakin dengan pasti Jeno disana sudahlah bahagia, sangat.
Tapi biar bagaimana pun sebagai seorang ibu, meski kata itu tak pantas untuknya. Luna yakin Jeno tetap kesepian.
Luna menghela nafas panjang. Matanya kembali memanas tiap kali kilas masa lalu kembali terbayang di pikirannya. Bagaimana Ia yang keji ini tidak pernah memberikan kasih sayang pada putranya yang dulu Ia tangisi saat katanya putranya sudah tiada.
Dan bagaimana suara tangisan bocah cilik yang sedang demam ia abaikan hingga suara nya serak dan hampir habis. Luna ingat dengan jelas, wajah bayi Jeno yang memerah ketika menangis dan tidak di beri pertolongan. Luna saat itu muak, dirinya benci hingga berniat menghunuskan sebuah pisau tepat di dada yang kembang kempis dengan ritme yang pelan.
Luna berteriak, memaki bayi kecil itu dengan keras. Luna ingat dia terus menyumpahi agar bayi malang itu cepat mati. Tapi Tuhan sepertinya mengetahui, iya Tuhan Maha Tahu segalanya.
Hingga kini balasan atas perbuatannya seperti belati yang terus menerus mengiris tubuhnya terutama hatinya. Jika ditanya bagaimana kondisinya saat ini maka jawabannya adalah hancur, fisiknya baik-baik saja namun tidak dengan hatinya yang lebur.
" Bunda kangen sama Abang.. " katanya lirih.
Kedua orang di sana diam, seketika mood bermain mereka hilang hanya karena sebuah kalimat yang wanita cantik itu ucapkan.
" Kita doakan saja semoga Jeno bahagia disana. " Dimas mengeser posisinya agar lebih mudah merengkuh tubuh kurus istrinya.
" Bisa nggak kalo aku minta sama Tuhan untuk tukar Posisi?" Tanyanya sambil menatap wajah tegas suaminya. " Aku mau, gantiin posisi Jeno disana... Kalaupun bukan di surga, aku mau."
" Bundaa.... "
Kali ini anaknya yang bersuara, dengan matanya yang berkaca-kaca ia menatap wajah cantik yang setia menampilkan raut sendu. "Jangan lagi,please."
Tokk...tookk.... tokk...
Suara ketukan di pintu membuat ketiganya saling diam, sesekali menatap dengan tanda tanya besar. Siapa yang bertamu dimalam hari dengan hujan lebat di luar sana?
Luna bangkit, memberi isyarat agar dirinya saja yang membuka pintu.
Kleekkk
Pintu kayu itu terbuka.
"......"
Tbc..
Apa sih ini tuh...
Mas pacar..🤧🤧
KAMU SEDANG MEMBACA
SWEET PAIN 2 || LEE JENO
FanfictionAku kembali berharap bisa merasakan sedikit bahagia yang dulu sempat tabu kurasa. Aku kembali dengan raga yang sama. Untuk kali ini, rengkuhlah aku yang rapuh ini. Berikan aku pelukan yang hangat.. yang tulus tanpa harus menyakiti. Berikan aku ke...