Jangan lupa vote+comment!!.
"Kata Afta, kamu sakit?"
Arin melempar botol kosong bekasnya minum ketong sampah, Tangan lentiknya membenarkan letak kacamata yang membingkai indah di wajahnya.
"Cuma pusing.. kayaknya kecapean."
Haris mendekat, tangannya terulur menyentuh kening wanita itu yang terasa hangat. "Jangan lupa minum vitamin, Afta khawatir banget Mamanya sakit."
Arin terkekeh, wajahnya sedikit merona. Ia jadi ingat saat tadi pagi dirinya hendak pergi ke rumah sakit, anak sematawayangnya itu bersikeras menyuruhnya untuk tetap tinggal di rumah. "Istirahat Mama ya Ampun... susah ih di bilangin nya~"
"Afta sehat kan?" Haris kembali membuka obrolan.
"Kamu kemarin kan ketemu dia... Basa basi banget kamu ini." Arin bangkit, hendak pergi meninggalkan lelaki yang kini menatapnya intens. "Bukan sehat itu...,"
Arin membeku, langkahnya sontak terhenti.
"Apa—"
"Haris!!!" Arin berbalik, mendelik dengan wajah yang berubah warna, ia menatap tajam wajah lelaki yang menjadi sahabatnya sedari kecil, "Diam atau aku bakal marah dan gak akan lagi mau ketemu kamu."
"Arin..." Haris bangkit, ingin mendekat. Namun urung saat kalimat penuh penekanan itu terlontar, "Jangan ikut campur." Arin mengepalkan tangannya erat. "Aku—"
"ARIN!"
Haris berseru panik, dengan cepat menangkap tubuh wanita itu yang tiba-tiba saja limbung. "Arin,, bangun!".
***
"Mama.... Liat Afta dapat juara.."
Seorang anak kecil tampak berlari membawa selembar kertas berwarna putih kearah wanita yang saat itu tengah duduk dengan seorang pria tampan disebelahnya.
"Wahh... Hebat banget anaknya Mama, sama Papa ini." Puji lelaki yang kini tangannya mengelus lembut puncak kepala bocah berusia enam tahun dengan baju kaos seragam berwarna biru muda.
"Mama..."
"Mama, Afta...takut."
"Sakit Ma..."
"Afta!!"
"Mama!!"
Arin menghembuskan nafasnya kasar. Sedetik kemudian ia tersenyum ketika mendapati putra nya yang kini tengah mengenggam erat jari jemarinya. "Pusing ya?? Mana yang sakit? Tunggu, Afta panggil dokter dulu." bocah itu berbalik.
"Mama udah gapapa, ga usah panggil dokter." Arin menarik ujung sweater abu yang di pakai Afta, "Mama juga dokter kalo Afta lupa." Katanya bercanda.
"Iya Afta gak mungkin lupa. Tapi dokter juga manusia kan? Mama juga manusia." Ucap anak itu sewot.
"Eiy... Kok gitu sih.. Mama lagi sakit lho.. kok di omelin".
"Habisnya bandel. Gak mau dengerin Afta. Padahal Afta selalu dengerin Mama,kan?"
Lihat anaknya sedang merajuk. Bibir tipis yang terlihat pucat itu mengerucut lucu. Jangan lupakan mata sipit yang kini menatapnya tajam, Arin tidak takut, malahan ia merasa gemas.
"Aw.. Anak mama lucu banget sihh..." Arin mencubit kedua pipi tirus itu dengan gemas, setelahnya tangan halus miliknya menangkup sisi wajah putranya yang masih kesal. "Udah ah jangan manyun gitu.. kaya meng aja suka pundung."
KAMU SEDANG MEMBACA
SWEET PAIN 2 || LEE JENO
Fiksi PenggemarAku kembali berharap bisa merasakan sedikit bahagia yang dulu sempat tabu kurasa. Aku kembali dengan raga yang sama. Untuk kali ini, rengkuhlah aku yang rapuh ini. Berikan aku pelukan yang hangat.. yang tulus tanpa harus menyakiti. Berikan aku ke...