???

1.2K 122 15
                                    

Jangan lupa vote+coment.












" Gimana?"

Arin menolehkan kepalanya, mengernyit saat  mendapati seorang lelaki dengan wajah tampan  berdiri tegak di sampingnya.

" Maksud kamu? "  Wanita itu balik bertanya.

" Aku tau, kamu paham apa yang Aku maksud."

Arin menatap lelaki itu tajam, "nggak. Aku nggak paham apa yang kamu omongin—"

" Udah terlalu lama, kamu masih belum ikhlas?"

Arin memejamkan kedua matanya sejenak, hela nafas kasar keluar dari mulutnya.

Sabar, dirinya tidak boleh terpancing. "Maksud kamu gimana sih? Aku udah ikhlas, kok——Aku ikhlas atas kepergian mas Bima."

"Bukan itu." Jawab lelaki itu cepat.

" Lalu? " Arin mengangkat sebelah alisnya, "Apa yang harus Aku ikhlaskan?".

"Arin, ini salah. Kamu sudah terlalu jauh."

Arin menepis kasar tangan yang mencoba menyentuh pundaknya, Ia marah—tak suka jika apa yang dilakukannya dicampuri oleh orang lain. Apa yang dirinya lakukan saat ini sudah benar, sangat benar malah.

" Kamu apa-apaan sih. Kamu nggak tau apa-apa,ya! Mending kamu diem."

Lelaki di depannya tampak menghembuskan nafas lelah, "Aku peduli sama kamu. Aku nggak mau kamu makin terluka, nantinya."

" Udah ya, kamu nggak ada hak ikut campur urusan Aku!"  Setelah mengucapkan  itu, Arin pergi berlalu meninggalkan lelaki yang kini menatapnya terus tanpa berpaling.

Sementara itu, Arin berjalan dengan langkah lebar. Dadanya terasa sesak, kilas masalalu kembali mengisi ruang kosong di ingatannya.

Ikhlas? Apa-apaan coba! Memangnya dia siapa? berani sekali.

Brughh

"Akh.." 

Arin  terjatuh saat dengan tiba-tiba tubuhnya ditabrak oleh seseorang yang berlari dari arah yang berlawanan.

"M-mama... Maaf."  Arin menerima uluran tangan anaknya yang kini terulur mencoba membantunya, dapat Ia lihat raut wajah anaknya yang terlihat khawatir sekaligus bersalah. Bahkan kini kedua sudut bibir anaknya tampak melengkung kebawah.

Arin tersenyum, hatinya terasa hangat mengetahui anaknya kini berdiri dihadapannya, lega saat mengetahui bahwa Afta sudah jauh lebih baik. Anaknya yang selalu menjadi penyembuh, obat dari segala luka lara di dalam hatinya. Luka yang menganga.

" Kamu.. kamu kenapa kok lari-lari?"

"Eh.. anu— itu, itu e ituhh apa ya namanya"

"Pelan-pelan sayang..." Tangannya meraih jemari lentik remaja yang terlihat gugup, kebiasaan yang menurutnya lucu.

" Itu aku mau cari Mama tadi tapi,—" Afta menjeda ucapannya.

" Tapi?"

" Tapi, Afta kebelet pipis sekarang, Mah."

" Ya ampun. "  Arin segera melepaskan tautan tangannya dan setelahnya tubuh kurus di hadapannya berlari meninggalkan dirinya yang hanya bisa mengelengkan kepala.


***



"Arin nggak bisa Pah.."

".........."

"Bukan gitu. Jadwal aku terlalu padat, lagian Afta barusan sembuh dari demam. Arin kasihan kalo harus pergi perjalanan jauh."

"........"

SWEET PAIN 2 || LEE JENO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang