TIGA

2.6K 506 61
                                    

Eh, ada yang minta nomor telepon dong! Kira-kira siapa? Seperti biasa, kita cek kesehatan mental :-) Gimana kabarmu? Dari skala 1 sampai 10, ada di angka berapa kebahagiaanmu? Jangan lupa tinggalkan komentar untukku. Komentar di bab sebelumnya bikin aku bahagia hahaha kalian asyik banget. Di akhir bab ada pertanyaan penting-nggak-penting yang harus dijawab juga ya :-)

Love, Vihara(IG/Twitter/FB/Twitter/TikTok ikavihara, WhatsApp 0831 5586 1228)

***

Sudah dua hari atau lebih Lamar tidak bercukur, Malissa memperkirakan. Rahang, dagu, dan sekeliling bibir Lamar ditutupi rambut, menyisakan bibir yang, Malissa percaya, pasti sering digunakan untuk mencium seseorang dengan terampil.

Dari raut muka Lamar, ada satu sifat yang bisa disimpulkan Malissa. Berkemauan keras. Ekspresi di mata Lamar seperti meyakinkan semua orang yang mencoba mengacaukan hidupnya, atau orang yang menghalanginya mendapatkan apa yang diinginkannya, bahwa dia tidak akan takut menyingkirkan apa saja yang mengganggu langkahnya.

Melihat Malissa berusaha mengalihkan pandangan, Lamar melemparkan senyum malas dan mengulurkan tangan. Malissa harus bersyukur. Karena, walaupun tidak akan pernah bisa memiliki laki-laki seperti Lamar dalam hidupnya, sebagai pasangannya, paling tidak Malissa pernah bertemu dengannya. Untuk bahan lamunan saat mencuci baju.

"Lamar," katanya dengan suara yang berat dan dalam, begitu Malissa menyambut jabatan tangannya.

Hangat. Kuat. Malissa tidak ingat kapan terakhir kali ada laki-laki yang menggenggam tangannya. Mungkin dulu saat pengantin baru. Tetapi saat itu rasanya tidak seperti ini. Tidak ada percikan gairah yang membuat ... Malissa menggelengkan kepala. Kalau dia meneruskan pemikiran itu, dia akan membuat malu dirinya sendiri.

"Malissa ... Lissa."

"So, Lissa, kata ayahku, kamu ingin bertemu denganku?"

Saat ini Malissa tahu apa yang dia inginkan untuk hadiah ulang tahunnya nanti. Pasangan hidup. Siapa pun itu yang akan menjadi suaminya, semoga wajah dan posturnya tidak akan jauh berbeda dengan laki-laki yang duduk di sampingnya. Badannya harus lebih tinggi daripada Malissa dan atletis. Menyukai anak-anak dan mau menerima anak-anak Malissa sebagai bagian dari pernikahan mereka. Laki-laki itu harus memiliki keyakinan diri yang sangat kuat, sehingga pada saat Malissa ingin menyerah, dia akan menarik Malissa untuk bangkit. Ketika Malissa terpuruk, dia akan menawarkan kenyamanan dan perlindungan di pelukannya. Yang paling penting, laki-laki itu harus bisa membuat jantung Malissa berdebar sangat kencang—terdengar sampai ruang angkasa kalau bisa—dan menghidupkan kembali kupu-kupu di perutnya yang dulu mati bersamaan dengan pengkhianatan suaminya.

"Lissa?"

"Um ... aku menemukan dompetmu di ... parkiran supermarket." Malissa menyerahkan dompet kepada Lamar. Sambil menyuruh dirinya berhenti berfantasi. Laki-laki sempurna seperti yang dia harapkan akan hadir di hari ulang tahunnya memang bisa ditemukan di dunia. Tetapi laki-laki itu punya pilihan untuk menikah dengan wanita yang bukan janda. Yang tidak punya dua anak balita.

"Thank you." Lamar memasukkan dompet itu ke saku celananya.

"Kamu ... nggak ingin memeriksanya?"

"No. I trust you."

Setelah beberapa saat tidak ada yang bicara di antara mereka, Malissa bangkit dari duduknya. "Well, that's it. Aku cuma mau mengantarkan itu."

Lamar ikut berdiri dan Malissa baru benar-benar mengetahui selisih tinggi badan mereka. Tinggi badan Malissa 165 cm. Tinggi untuk ukuran wanita Indonesia. Tetapi begitu berhadapan dengan Lamar, Malissa merasa pendek. Sandals—hanya saat pergi bersama anak-anak saja Malissa memilih sepatu yang praktis—yang dipakainya hari ini berhak sepuluh centimeter tapi itu hanya membantu sedikit. Puncak kepalanya sejajar dengan bahu Lamar.

RIGHT TIME TO FALL IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang