29. Pemilik Satu-Satunya

120 17 0
                                    

"Ayo."

Louis mengangkat wajah. Amy telah bertukar pakaian. Dia mengenakan kaos dilapisi cardigan rajut oren dan rok tennis putih.

"Penampilan kamu santai sekali."

"Kenapa?"

Bagi Amy tampilan santai bukan masalah. Dia sendiri telah melihat dengan mata kepalanya, mahasiswa lain mengenakan pakaian demikian.

"Pakailah yang lebih formal. Kamu kan hendak ke universitas. Bukan main-main ke mall."

"Kemarin ada juga yang pakai pakaian santai. Kaos dan celana denim pendek."

"Mereka adalah mereka. Kamu adalah kamu. Sana, ganti!"

Bibir Amy tertekuk. Namun dia tidak melemparkan bantahan. Terlalu malas untuk merusak suasana pagi yang indah.

Tak lama dia telah kembali. Rapi, memakai kemeja putih dan rok span hitam.

Louis menepuk wajahnya. Formal sih formal, tapi bukan begitu juga yang dia maksud.

"Salah ya?"

"Sudahlah. Ayo berangkat."

Louis beranjak. Amy langsung mengekori dengan membawa tasnya.

"Masa ke kampus begini?"

Amy cemberut akan penampilannya. Dia terlihat seperti mahasiswa baru yang hendak ospek atau boleh jadi orang yang  hendak melamar pekerjaan.

"Sudah tahu begitu, kenapa kamu pakai?"

"Kata Louis pakai yang lebih formal."

"Tidak berarti kemeja putih dan rok hitam. Benar kan?"

"Jadi apa?"

Louis tidak menjawab. Setengah jam kemudian mobil berhenti di depan sebuah butik. Trian membukakan pintu. Louis merengkuh pinggul Amy untuk masuk.

Karyawan yang baru melakukan persiapan untuk membuka toko segera heboh. Akan tetapi Louis tidak terganggu sedikitpun. Amy malah cemas memikirkan kata-kata Jonah. Mereka pasti tidak akan demikian heboh dan terkejut seandainya tahu pertunangan yang baru terjadi.

Apa sih yang gue harapkan?

Amy ditekan oleh kesadaran. Dia menjadi dingin seperti Louis. Melewatkan begitu saja gosip bahwa dia perempuan pertama yang dibawa masuk oleh Louis Jeyanandika. Dalam kata lain perkataan Jonah benar. Pertunangan mereka tidak sampai ke publik sepenuhnya.

"Coba ganti."

Louis memberikan Amy sepasang rok dan blazer coklat susu. Dia kemudian menambahkan kaos berwarna putih serta sepatu bot hitam.

Amy baru sadar setelah memakainya. Warna yang dipilih sama dengan warna jas Louis hari ini. Berdiri di sebelahnya langsung saja memberikan makna bahwa mereka sepasang.

Louis tersenyum puas. Dia lalu memanggil salah seorang karyawan dan memintanya mengirimkan beberapa pasang setelan sama dengan warna dan motif berbeda.

"Sebanyak itu?"

"Mau tambah?" tawar Louis.

Amy berbinar cerah. "Boleh?"

"Tentu."

Louis menggenggam tangan Amy, membawanya untuk melihat-lihat koleksi pakaian yang terpajang. Amy tidak berniat meminta banyak. Dia hanya ingin satu, sebuah dress berwarna oren cerah.

"Warnanya terlampau norak."

Perkataan Louis membuat Amy akhirnya memilih dress  putih. Bukan karena suka. Dia hanya melakukannya agar Louis tidak mengetahui perasaan kecewanya.

Between [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang