Di tengah lapangan balai kota, semua pengunjung mengelilingi kami dan menunggu penampilan dimulai. Di atas sana, matahari yang terik menerpa kulit.
Aurel berdiri sendiri di depan barisan, tampak ekspresi gugup tergambar di wajahnya. Namun kemudian ia menarik nafas panjang dan kembali tersenyum. Aku pun bisa lega melihatnya. Aurel mengangkat tongkat mayoretnya dan sedikit melompat.
Suara snare drum yang cepat dari Lingga mengawali permainan kami. Membuat personil lain bersiap memulai ketukannya masing-masing. Kemudian terompet pun berbunyi, dan kami pun mulai memainkan alat musik masing-masing.
Suara yang kami hasilkan cukup senada, saling mengiringi satu sama lain meski memiliki alur melodi yang berbeda. Denting marching bell, bunyi bass drum yang tegas sampai renyahnya suara snare Lingga yang terdengar cepat. Semuanya bersatu padu.
Pakaian yang tebal ini cukup membuat panas dan berkeringat. Tapi aku terus fokus pada ketukan dan not yang harus dimainkan. Suara alat musikku terdengar selaras. Begitu juga dengan Anin.
Semua instrumen alat musik yang kami mainkan bersamaan menjadi kombinasi yang indah. Dan dengan bebasnya Aurel menari lepas dengan tongkatnya di depan. Walau kulihat keringat bercucuran di dahinya, tapi senyumannya tak hilang.
Ketukan semakin cepat, inilah yang jadi kelemahanku. Fokus Nawang! Fokus! Satu, dua, tiga. Atur tempo, jangan terlalu cepat. Ah, salah sedikit! Anin menoleh sesaat ketika aku membuat kesalahan. Tak apa, aku punya trik khusus yang diberikan Kak Ara selama latihan. Permainan pun tetap seimbang.
Walau sedikit kesulitan, akhirnya kami mulai melewati bagian yang sulit. Pelan-pelan iramanya kembali seperti ke awal. Ketukan pun semakin mudah, sepertinya mulai memasuki akhir lagu. Entah sudah berapa menit aku mengetuk bilah-bilah logam besi ini. Satu, dua, selesai!
Suara symbal dari Acha menandakan bahwa penampilan kami sudah selesai. Kami semua pun menghentikan permainan. Aurel mengakhiri tariannya dengan sebuah pose dan senyuman yang cantik ke semua penonton. Mewakili perasaan kami semua. Dan suara tepuk tangan pun mulai terdengar.
"Yes, bisa!" ucapku.
Anin menoleh ke arahku dengan wajah datarnya.
"Ya, itu dia tadi penampilan pembuka dari marching band SMAN 4. Selanjutnya ada penampilan tari tradisional dari sanggar SMKN 1!" kata sang pembawa acara.
Panitia segera mengarahkan kami untuk meninggalkan lapangan. Dengan perasaan lega, aku dan semuanya segera berjalan ke pinggir dan kembali ke dalam tenda. Sesampainya di dalam tenda, aku lepas marching bell yang terpasang di bahuku.
"Hah, lelahnya."
"Aaaa!!! Kita bisa!" ucap Aurel yang kemudian langsung memelukku.
"Eh? Iya, kita bisa ya!"
"Ya ampun, akhirnya kita bisa ya, sedih," ucap Acha sambil meneteskan air mata.
Aurel pun sepertinya menangis dalam pelukanku. Aku merasakan isak tangisannya yang pelan terdengar di telingaku. "Kamu udah lega ya? Penampilan kamu keren kok," ucapku memujinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Year (TAMAT)
Ficção AdolescenteDemi mengejar laki-laki yang disukainya, Nawang rela masuk ekskul marching band yang kekurangan orang. Namun jalannya tak semulus yang ia kira. Dalam perjalanannya mengejar cinta, Nawang belajar apa arti tanggung jawab, perjuangan dan jalan menuju k...