27 - Last Chance

66 13 3
                                    

Dengan selesainya ujian nasional kemarin, maka sekolahku pun sudah berakhir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan selesainya ujian nasional kemarin, maka sekolahku pun sudah berakhir. Masa-masa remajaku sudah selesai di sini. Begitu juga dengan kisah cintaku pada Lingga. Cinta searah yang berakhir menyakitkan tanpa bisa tersampaikan. Bukan salah Lingga, tapi karena aku yang terlalu berharap.

Meski begitu, selama ini aku sudah berusaha semampuku untuk mendapatkan cinta itu. Aku bangga pada diriku.

Bayang-bayang akan Lingga masih tersimpan dalam kepalaku. Aku masih sedih, ya itu wajar, kan? Nanti juga setelah beberapa hari rasa sedih ini akan hilang. Atau secepatnya akan hilang. Aku harus melupakan Lingga. Kalau bisa nomor teleponnya aku blokir.

Apa pun aku lakukan demi melenyapkan Lingga dari kepalaku. Walau sulit.

"Nawang, sarapan!" teriak Ibu dari luar memanggilku yang sejak tadi tidur-tiduran tak jelas tak jelas sambil melihat isi ponselku yang sama tak jelasnya.

"Iya!" Aku kemudian bangun dari kasur dan berjalan menuju meja makan.

Sudah ada Ayah yang sedang menyantap sepiring nasi kuning. Aku mendekat lalu menarik kursi. Kuambil sebungkus nasi kuning dan menaruhnya di piring kemudian duduk berhadapan dengan Ayah. Sementara suara air dari wastafel dapur terdengar, Ibu masih mencuci gelas-gelas sisa semalam.

"Ujian selesai, sekarang agenda kamu apa?" tanya Ayah.

"Gak ada."

"Jadi, tinggal nunggu hasilnya aja ya?"

Aku mengangguk. "Sebenernya kalau mau masuk sekolah gak apa-apa, masih ada kegiatan di marching band. Tapi kayanya aku udah berhenti."

"Kenapa? Gak ada salahnya, kan? Buat ngisi waktu luang, nanti kamu bosen lho di rumah terus. Acara perpisahan kapan?" Aku kembali mendapat pertanyaan dari Ayah.

Ketiga kalinya aku menjawab. "Juni."

"Tuh kan, masih lama. Udah gak apa-apa kalau mau kegiatan ekskul, daripada nanti kamu keluyuran gak jelas. Buang-buang duit."

"Gak mau," balasku singkat sambil membuka karet yang membungkus isi sarapanku. Setelah terbuka, aromanya pun menggugah selera. Aku baru sadar kalau ternyata perutku sudah lapar.

Aku pasti akan bertemu Lingga kalau kembali ke marching band, dia kan ketuanya. Mau ditaruh di mana mukaku? Aku malu karena ditolak olehnya. Aku tak akan pernah muncul lagi di hadapan Lingga. Tak akan pernah! Hubungan kita berakhir di sini.

Benar kata Ayah. Belum sampai seharian, aku sudah merasa bosan. Aku ingin membantu Ibu masak, tapi tidak boleh. Katanya dia harus memasak sendiri supaya rasa masakannya enak dan otentik. Secara halus Ibu menganggap aku hanya mengganggu saja. Kini aku hanya duduk di pelataran sambil melihat kambing yang lalu lalang di jalan depan rumahku.

Aku menghabiskan waktu untuk bermain ponsel. Menonton TV, lalu tidur siang. Setelah bangun tidur aku menyapu halaman depan sampai bersih. Rajin, kan? Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul empat sore.

Last Year (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang