Demi mengejar laki-laki yang disukainya, Nawang rela masuk ekskul marching band yang kekurangan orang. Namun jalannya tak semulus yang ia kira.
Dalam perjalanannya mengejar cinta, Nawang belajar apa arti tanggung jawab, perjuangan dan jalan menuju k...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kami terus berlatih keras sebagai tim. Terus berproses dan mencoba yang terbaik. Tak ada kata menyerah, beberapa kali aku memang kesulitan bermain bagus. Akan tetapi, aku terus mencoba. Semua ini demi tim. Bahkan aku mendapat bimbingan tambahan dari Kak Ara supaya permainan marching bell-ku bisa lebih padu.
Aneh memang. Aku yang awalnya datang hanya untuk mendekati dan mencuri perhatian Lingga, kini malah mencurahkan segala tenaga demi tim ini. Kehangatan dan semangat mereka membuatku ingin memberikan yang terbaik.
Hari demi hari pun berlalu, aku mulai bisa menyelaraskan permainanku. Hingga tak terasa, hari yang ditunggu pun tiba. Hari di mana kami akan tampil di hadapan banyak orang, menunjukkan hasil latihan kami selama ini. Ya, inilah saatnya. Di awal bulan November yang menegangkan.
Aku berangkat dengan memakai kemeja berwarna putih dengan dilapisi blazer biru terang dan hiasan warna emas di beberapa tempat. Baju ini sangat mencolok, tapi memang seperti inilah seragam kami saat akan tampil.
Hari ini, semua anak marching band izin tak masuk sekolah. Kami datang hanya untuk berkumpul, lalu selanjutnya naik minibus menuju balai kota tempat diadakannya acara. Aku sampai di sekolah sekitar jam enam pagi.
Kulangkahkan kakiku memasuki gerbang sekolah. Mobil yang akan kami naiki sudah siap. Minibus dengan warna perak dan garis hitam di beberapa sisi. Di dekatnya, sudah ada Kak Ara dan Aurel menunggu.
“Nawang! Semangat ya!” ucap Saras dan Nindy dari jendela kelas. Aku mendongak dan melihat ke lantai dua, kulambaikan tangan ke arah mereka sambil tersenyum.
“Kalian kok dateng pagi banget?” tanyaku sambil berteriak dari bawah.
“Biasa, kami belum ngerjain tugas!”
“Dasar, kerjain sana! Jangan liatin aku terus!” balasku.
“Semangat ya!” ucap Saras yang kemudian masuk ke dalam kelas.
Kak Ara melihat jam sambil memperhatikan sekitar. “Sepuluh menit lagi kita berangkat,” katanya.
"Yang lain mana sih?" tanya Aurel.
"Mungkin di jalan."
Tak lama Lingga dan Rai datang, kemudian Anin, dan disusul personil lainnya. Semuanya kompak memakai seragam yang sama.
"Lama banget sih!"
"Maaf, Aurel. Aku kena macet!" jawab Rai.
"Jangan banyak alesan! Rumahmu itu di samping sekolah, Rai!"
Saat seluruh personil sudah berkumpul, kami langsung naik ke dalam mobil dan mengambil posisi. Sementara Lingga dan sang supir memasukkan alat musik yang dibawa ke bagasi belakang.
Aku dengan nyaman duduk di dekat jendela mobil. Bersama Anin dan Aurel yang ada di sebelahku. Mobil ini terasa bergetar, lalu deru mesinnya mulai terdengar menyala.