•••
Senin ini, tahun ajaran baru dimulai. Jalanan padet, kehitung macet. Banyak orang tua yang mau anterin anaknya berangkat sekolah di hari pertama, makanya banyak kendaraan parkir di depan gerbang atau pinggiran jalan sekitaran sekolah. Nyebabin macet yang cukup panjang.
"Mau diputer balik, Pak?" tanya sopir, nggak ada jawaban.
"Pak?" Dia noleh, nyadarin seseorang yang duduk di sebelahnya; ngelamun, pantesan ditanya nggak dijawab.
"Mau puter balik aja?" Dengan kesabaran ekstra, Pak Atma--yang baru diangkat Papa jadi sopir--itu nanya lagi, tapi pelan-pelan.
Papa masih aja ngelamun. "Nggak usah, lewat sini aja nggak papa," jawabnya.
Selain karena emang lagi nyantai dan nggak dikejar waktu, Papa juga mau ngelewatin SMP Haikal dulu. Di ujung jalan ini, nggak terlalu jauh.
Entah kenapa dari kecil Haikal nggak pernah bisa cocok kalau masuk sekolah swasta. Pas SD, dia pindah ke sekolah negeri kelas tiga. SMP-nya, Papa sengaja masukin ke SMPK, tapi belum satu semester dia minta pindah lagi ke sekolah negeri. Padahal sekolah-sekolah swasta yang Papa pilih punya fasilitas dan akreditasi yang bagus, termasuk sekolah elit.
Haikal ngerasanya dia susah bergaul kalau di sekolah swasta, kayak, ada banyak hal yang bikin dia ngerasa takut ngelakuin sesuatu. Beberapa sekolah swasta punya peraturan yang super ketat, sisanya kerasa nggak nyaman karena 'gengsi' yang besar antar pelajar, terutama soal ekonomi.
"Dulu tuh anak saya dimasukin sekolah sini, malah nggak mau," kekeh Papa, sewaktu ngelewatin gerbang SMP yang penuh sama kendaraan roda dua.
Pak Atma ngangguk-ngangguk, sambil nikmatin lagu iwan fals yang diputer dari radio. Untungnya Papa nggak komplen, padahal dia kurang suka lagu-lagu kayak gitu.
Bukan nggak mau jawab, Pak Atma bingung kalau yang dibahas terus-terusan anaknya. Mau tanya duluan nggak enak, tapi Papa nggak berhenti ngomongin Haikal terus.
Nggak lama, Papa ngelamun lagi. Perjalanan sisa kurang lebih setengah jam buat sampai ke rumah. Sejujurnya dia mau nggak mau balik ke kota dan ngejalanin kesehariannya sendirian. Maunya terus diem di kampung, di rumah tua yang sekarang udah layak dihuni lagi.
Jalanan macet banget. Bisa jadi sisa tiga puluh menit itu malah jadi satu jam. Tapi Papa nggak keberatan. Pak Atma udah nawarin muter balik berapa kali--walaupun agak jauh seenggaknya nggak kejebak macet kayak gini.
Dari dalem mobil, Papa merhatiin beberapa orang yang jalan-jalan nawarin tisu sama botol aqua, ngetukin pintu mobil. Mereka masih anak-anak, ngeliatnya sedih karena nggak bisa lanjutin sekolah kayak yang lain.
Sampai ada satu remaja yang narik perhatian Papa.
"Kal," tanpa sadar, Papa gumam. "Haikal!" katanya lebih jelas lagi, yang seketika bikin Pak Atma kaget.
Pandangannya lurus, natap ke arah laki-laki di ujung perempatan; dia megangin beberapa botol aqua. Coba turun ke jalan dan nawarin ke beberapa mobil, tapi naik lagi ke trotoar dan neduh dibawah pohon yang ada.
"Saya turun disini."
"Loh Pak, terus saya kemana?"
"Nggak papa nanti saya pulang pakai ojek online. Sampai rumah istirahat aja, sore nanti bawa mobil ke carwash." Papa ngeliat spion sebelum buka pintu terburu-buru, jalan gitu aja ninggalin Pak Atma yang kebingungan.
Bingung, dia harus kemana? Disuruh pulang ke rumah, tapi kan pager sama rumahnya dikunci. Papa juga nggak ngasih kunci tadi. Ditungguin nggak bisa, jangankan buat parkir, jalanan penuh sama kendaraan. Nggak tau tempat parkir ada sebelah mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Podcast Haikal [ ✓ ]
Fanfiction❝Kal, hidup itu perjalanan panjang yang nggak ada petanya. Makanya dinamain petualangan.❞ Hidup itu perjalanan singkat, Dara. Sesingkat mimpi buruk--semenyiksa itu. ••• a teenfic story, skz local ; remake from another work. tw! harsh words, ( s ) wo...