2.2K 224 10
                                    

gelap.






kosong.




hening.

Saat madara membuka matanya itulah hal hal yang ia dapati kini tengah mengelilingi dirinya.

Sejauh mata madara bisa memandang, kini ia sama sekali tak dapat melihat apapun kecuali bagian tubuhnya seperti kaki dan tangan, selebihnya hanya ada kegelapan yang menyelimuti, saking gelapnya madara bahkan tak dapat melihat apa kini yang tengah ia pijak, entah tanah atau kayu atau apa, benar benar hitam dan gelap.

Madara melihat lihat keadaan dirinya sendiri. Tangan dan kaki ini terlalu kecil, jelas bukan usia saat madara pergi meninggalkan dunia, ini seperti bertahun tahun silam, saat umurnya lima belas? Atau bahkan dua belas? Entahlah, madara tak terlalu yakin.

Madara juga mendapati jika ia tengah memakai yukata hitam favoritnya dulu, menambah keyakinan madara jika ia kini sedang berada ditubuhnya yang berusia belasan tahun.

Setelah melihat dirinya-karena itu memang satu satunya hal yang bisa ia lihat- madara kembali termenung tak tahu harus melakukan apa.

Disini benar benar gelap, ia tak dapat merasakan apa pun, atau mendengar apa pun, atau melakukan apa pun...

Semakin lama madara tak melakukan sesuatu, dadanya semakin kembang kempis. Ia sudah lama tak merasakan hal aneh ini, rasanya benar benar sangat sesak.

Madara takut.

Ia takut dengan kegelapan ini padahal selama hidupnya yang ia lakukan adalah berjalan di jalan kegelapan.

Semakin madara merasakan kegelapan ini semakin pula madara merasakan sunyi, hening, sepi.

Madara membalikkan kaki dan berlari. Madara tak tahu apa yang ada didepannya, yang ia pikirkan saat ini hanya melangkahkan kaki mencari jalan keluar dari kegelapan yang mengepung. Walau jujur saja, madara tak tahu apakah ia berpindah tempat atau tidak saat ia berlari, disini terlalu gelap, madara benar benar tak dapat melihat atau mengetahui apapun.

Merasa sudah cukup lama berlari, madara memberhentikan diri sambil mengambil nafas rakus. Ia sudah berlari hingga tubuhnya lelah, tapi entah mengapa ia tak menemukan jalan keluar, setitik cahaya pun tak ia dapati.

Madara menangis.

Entah sudah berapa tahun ia tak pernah mengeluarkan air mata, kini pipi itu akhirnya kembali basah.

Madara kecil benar benar tak tahu harus melakukan apa di tempat gelap itu, akhirnya ia duduk berjongkok dengan kedua tangan yang memeluk lututnya, madara tak berniat menghentikan tangis atau melakukan apa pun. Saat ia hidup, madara tak pernah mendapat kesempatan untuk meluapkan segala emosinya dalam bentuk tangisan, jadi sekarang setelah ia mati, tolong jangan larang dia lagi. Lagian jika dipikir madara kini tengah berada dalam tubuh kecilnya, wajar bukan jika seorang anak kecil menangis?

"H-hashirama..."

Madara terus bergumam dalam tangisnya.

"Hashirama.. hiks.. tolong... tolong aku.."

Jika ini adalah madara yang biasanya, ia pasti sudah muntah karena mulutnya meminta bantuan pada hashirama, musuh sekaligus satu satunya teman yang ia miliki.

Tapi seakan alam bawah sadarnya mengambil alih, madara hanya mengatakan apa yang ingin ia katakan.

Di kegelapan ini, madara tak bisa lagi membohongi dirinya sendiri. Madara takut, sangat takut. Madara kesepian.

Saat madara mengusap air mata yang telah membajiri pipi dan pelupuk matanya, dapat ia lihat tiba tiba setitik cahaya muncul beberapa meter didepannya.

Bukan cahaya putih, tapi cahaya merah atau mungkin oranye.

second chance [hashimada]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang