Pergi

8.3K 615 17
                                        

Gara mematut dirinya di cermin. Keputusannya sudah bulat. Apapun yang terjadi, semua resikonya nanti akan ia tanggung.

Ia pun membawa sebuah buku besar dengan judul yang bertuliskan huruf besar-besar. Tak lupa dengan kotak beludru biru yang berisi gelang yang tempo lalu ia beli.

Dengan segera Gara berjalan menuju mobilnya lalu mengendarainya menuju rumah Dara untuk menjemput gadis itu.

Dara pun sudah siap di depan rumah lalu masuk ke dalam mobil Gara. Dara hanya menggumam pelan mengikuti melodi oleh lagu yang diputar dari radio.

Gara hanya diam, fokus pada menyetir. Pikirannya bercabang kemana-mana.

Setelah sampai di tujuan, Dara yang pertama menggamit tangan Gara yang kosong itu. Gara merasa lengkap, tapi hatinya tetap merasa kosong.

"Adara, marry me?" tanya Gara tiba-tiba saat mereka berjalan menuju rumah pohon. Membuat Dara terdiam mendadak.

Gara memejamkan matanya sebentar lalu menolehkan kepalanya. Menatap Dara yang membeku.

"Katamu, kamu... tiga bulan..." ucap Dara tergagap. "Kamu-rasanya susah, Dara. Kita sedekat ini, tapi seolah jauh, kamu bukan milikku. Aneh rasanya." Gara mengutarakan.

Dara mengerutkan dahinya samar. "Bukankah, sebelum kita bertunangan kita memang dekat? Tapi sebatas teman?" ucap Dara telak.

Gara menghembuskan napasnya. "Kuanggap itu sebagai penolakan, Dara."

Gara berjalan menuju mobil dengan langkah cepat lalu kembali dengan buku besar dan kotak beludru. Sesampainya di depan danau, Gara bersiap untuk melempar kedua benda itu.

Sebelumnya, Dara masih bingung dengan benda yang dibawa Gara namun setelah Gara bersiap untuk melemparnya, Dara berlari sambil berteriak.

"Gara! Jangan dibuang!!!"

Terlambat. Benda itu terapung jauh di danau. Dara membeku melihat benda itu terapung dan basah terkena air danau.

"K-kenapa dibuang?" tanya Dara dengan suara tercekat.

"Dalam buku itu semuanya berisi perjalanan kita, semua yang telah dilalui bersama. Tidak perlu diingat, malah membuat sakit." Gara menjawab, tanpa ekspresi.

"Tapi, Gara..." Dara menahan untuk tidak mengeluarkan air mata. "Aku tidak ingat apapun, dengan adanya buku itu, kan, bisa jadi pengingat."

"Jangan membuat harapan, Dara!" sentak Gara membuat Dara terkesiap. "Jawab pertanyaanku tadi, dengan jujur. Kamu mau atau tidak?"

Dara bungkam selama beberapa saat. "Mungkin untuk saat ini tidak. Mungkin nanti..." ucap Dara pelan.

"Seharusnya aku tau. Dari awal, aku hanyalah tokoh baru dalam hidup kamu. Jatuh cinta bukan karena perlakuan, tapi karena hati yang memilih. Harusnya aku tau." Gara mengucap pelan.

"Ah, aku tau. Tapi tetap memperjuangkan kamu. Menunggu kamu. Terima kasih, buat selama ini. Rasa rinduku sudah terbalas. Kamu lapar? Atau kita langsung pulang? O iya, semalam kamu mau bertanya pendapat apa?" tanya Gara mengalihkan topik.

"Gara, jangan seperti ini. Kalau kamu mau memperjuangkan dengan sungguh-sungguh, pasti aku akan jatuh cinta!" seru Dara, matanya berkaca-kaca.

"Aku pergi. Maaf, tidak bisa mengantarmu pulang. Tapi taksi ada di depan. Selamat tinggal, Adara." Gara mengakhiri pembicaraan dengan sepihak lalu meninggalkan Dara.

Gara menyerah. Sebut ia pecundang, tapi Gara tau kalau hidupnya bukan hanya untuk Dara. Ia tidak ingin membutakan mata, menulikan telinga hanya karena cinta.

"GARA, AKU TERIMA LAMARAN KAMU!"

Gara berhenti melangkah. "KAMU DENGAR? AKU TERIMA!" seru Dara.

Tanpa menoleh, Gara menjawab, "Jangan dipaksakan kalau tidak cinta. Kita hanya tidak dalam satu garis takdir, itu saja."

Dan kini, Gara benar-benar pergi. Meninggalkan harapannya, cintanya, gadisnya, Dara-nya.

The One Who WaitsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang