Gusti
Aku bosan. Ini adalah perjalanan kesekian kalinya yang sebenarnya cukup menyebalkan. Pergi sendirian untuk mempersiapkan trip tanpa harus tau tujuan yang akan dikunjungi. Hanya berbekal maksimal budget yang nantinya harus bisa untuk akomodasi, hotel dan juga masuk ke lokasi wisata. Dan yang paling menyebalkan adalah itu semua jadi tanggung jawabku sekarang. Tujuanku kali ini adalah Yogyakarta.
Aku tiba di kota gudeg ini dengan sambutan gerimis yang menjadikan suasana menjadi sedikit dingin. Stasiun lempuyangan sore hari ternyata cukup ramai dengan hiruk pikuknya orang-orang yang datang dan bersiap untuk pergi. Karena sedikit lapar aku celingukan mencoba mencari warung yang bisa kusambangi untuk sebentar menikmati sore ini sembari makan.
Oh iya, aku Gusti.. Gusti Bimantara. Seorang yang biasa-biasa saja tanpa kelebihan apapun... menurutku...
Dengan celana pendek chinos dan juga kaos oblong hitam polos aku menyusuri trotoar dengan sandal jepitku. Topi hitam melindungi kepalaku dari gerimis yang mengguyur sore ini. Kulepas headset yang sedari tadi menyumpal kedua telingaku sambil mencoba mencari warung makan.
Aku datang ke Jogja sebagai utusan dari tempatku bekerja yang bergerak pada Trip and Tour organizer. aku harus datang ke sini untuk mempersiapkan Trip yang berbeda dari yang biasa ditawarkan oleh kantor.
Seharusnya aku tak datang sendiri tapi karena crew lain sedang sibuk mengurus trip dan ini adalah pesanan khusus dari pelanggan terbesar akhirnya aku yang harus datang sendiri dan menyiapkan semuanya. Sebetulnya perjalanan kali ini harusnya cukup menyenangkan karena aku mendapat uang saku yang cukup besar dengan waktu kunjungan pun lebih fleksibel hanya saja tanggung jawabnya pun cukup besar karena harus mampu men"deal"kan semuanya ketika aku kembali ke kantor.
Aku berangkat dari pasar senen tadi pagi. Sengaja menggunakan kereta ekonomi untuk menghemat uang saku yang sudah diberikan. Karena waktu yang diberikan cukup fleksibel maka aku memilih untuk ke jogja dengan kereta walaupun semua akomodasinya ditanggung oleh kantor. Yang tak kupertimbangkan adalah perjalanan dengan kereta ekonomi cukup membosankan. Dan akhirnya aku tiba di kota ini menjelang senja dengan nuansa gerimis yang terasa sangat bersahabat.
Tak kuhiraukan semua tawaran taksi dan juga ojek yang sedaritadi mengikutiku. Aku berjalan ke arah fly over karena melihat ada angkringan di sana. Begitu duduk di bangku panjang khas angkringan, aku segera memesan kopi dan meraih sebungkus nasi kucing yang ada di hadapanku.
Ini bukan yang pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kota ini. Sudah kesekian kalinya dan bahkan aku sempat tinggal di kota ini. Di daerah utara kota ini pun ada rumah peninggalan kakek yang dulu pernah kutinggali. Walaupun tak seberapa lama, aku masih bisa paham dengan bahasa Jawa yang menjadi bahasa sehari-hari di kota ini.
Aku masih menikmati suapan nasi kucing ketika ada seorang perempuan datang dan menepuk bahuku.
"Mas, ini tadi antingmu jatuh," kata gadis yang menepuk bahuku. Gadis muda yang cukup cantik mengulurkan tangan kanannya sambil memandangku. Di tangan kanannya ada anting hitam seperti yang biasa kupakai. Aku segera meraba telinga kiriku dan benar saja ternyata anting yang biasa kupakai sudah raib.Segera kuambil anting yang ada di tangannya sembari berterima kasih. Aku masih bingung bagaimana cara anting ini lepas dari telingaku tapi kusembunyikan itu dengan senyuman.
"Maturnuwun nggih, Mbak," ucapku sambil tersenyum.
"Sami-sami, Mas," jawabnya yang ternyata lalu ikut duduk dan memesan segelas teh. Sepertinya dia juga baru saja turun dari kereta melihat tas ransel yang digendongnya.
"Mbaknya juga baru sampe ni?" tanyaku mencoba akrab.
"Iya mas, ini sekalian nunggu jemputan. Lha mas e juga nunggu jemputan ini?"
"Ah enggak mbak, laper aja makanya mampir dulu ke sini... oh iya nama saya Gusti mbak, boleh kenalan kan ini?" basa-basiku sambil mengulurkan tangan untuk mencoba berkenalan.
"Nila," jawabnya singkat sambil tersenyum dan menjabat tanganku. Kami sedikit berbincang sambil menikmati minuman yang kami pesan. Yang menarik adalah ternyata rumah Nila tak jauh dari rumah mendiang kakek. Aku jadi mempertimbangkan untuk menginap saja malam ini di rumah kakek. Tapi aku enggan untuk beberes karena rumah itu sudah lama tak ditinggali walaupun dititipkan ke tetangga untuk diurus. Tak seberapa lama datang laki-laki paruh baya yang menghampiri Nila.
"Pun¹ mas saya pamit dulu, itu dah dijemput bapak," Nila beranjak dari duduknya dan bersiap membayar pesanannya.
"Udah mbak saya aja yang bayar, makasih ya tadi udah ngembaliin anting saya," jawabku sembari mencegah Nila untuk membayar pesanannya. Nila hanya menjawabku dengan senyuman dan pamit dan berlalu pergi bersama bapaknya. Aku hanya bisa memandangi mereka yang perlahan menghilang ditelan ramainya jalan. Beruntung kami tadi masih sempat bertukar nomor kontak. Siapa tau suatu saat kami bisa kembali bertemu. Mungkin suatu saat nanti.
Sembari menghabiskan kopi yang sudah mulai dingin, aku mencoba membuka aplikasi perjalanan untuk mencari hotel dengan harga yang cukup terjangkau setidaknya untuk beristirahat malam ini. Setelah berkali-kali scrolling akhirnya aku tertarik dengan salah satu hotel yang sepertinya masih baru. Kulihat bangunannya tampak menarik dan tidak terlalu besar. Semoga setidaknya malam ini hotel itu tidak terlalu penuh jadi aku bisa bebas memilih kamar yang ada balkon supaya bisa sedikit menikmati pemandangan jalanan sambil melamun. Sebetulnya aku bisa mengambil kamar di hotel yang sudah jadi rekanan kantor tapi aku sedang bosan dengan segenap rutinitas yang itu-itu saja.
Akhirnya aku memutuskan untuk memesan kamar di hotel itu dengan beberapa request lalu memesan ojol untuk mengantarkanku ke sana.
Seperti dugaanku, bangunan hotelnya memang tidak terlalu besar. Kulihat tak banyak kendaraan yang terparkir menandakan hotel ini sedang tidak penuh. Setelah puas melihat situasi, aku bergegas masuk ke lobby untuk reservasi. Sebetulnya aku tertarik dengan hotel ini dan ingin mencoba untuk melobby siapa tau bisa dipakai untuk rekanan tour hanya saja aku sudah terlalu malas dengan layanan customer service dan memilih untuk bergegas masuk ke room sambil membawa brosur dari hotel ini. Untung saja aku mendapat room sesuai dengan request yang kuminta, bila tidak, aku sudah memastikan untuk mencoret hotel ini dari daftar hotel yang menjadi pertimbangan.
Aku merapat ke balkon dan mendapati pemandangan depan hotel sama seperti yang kulihat waktu tiba di hotel tadi hanya saja dengan tampilan top view dari lantai 4 hotel. Jalanan tak terlalu ramai karena memang ini bukan weekend membuat suasana tidak terlalu bising lalu lalang kendaraan. Aku mencoba menikmati suasana malam ini sebentar sembari membaca brosur yang tadi kubawa dan mencermati semua info yang ada.
Suara dering ringtone handphone membangunkanku dari kesibukan mencari detil informasi dari brosur yang kubawa. Dari layar notifikasi kulihat ada sebuah pesan whatsapp masuk dari seseorang. Langsung kubuka pesan itu.
"Dah sampe jogja?"
Aku terdiam sejenak dan mencoba menjawab pertanyaan tersebut.
¹: pun / sampun = sudah
*****
Haii
.
Sorry cerita kali ini bisa jadi bakal lama2 update nya, wkwkwk..Kita bener2 ga mrediksi kalo kami bakal sesusah ini buat nemu waktu saling sharing next chapter, 🙈.
Sebenernya udah dapet kiriman chapter 2 ini dari Mas Prab sedari sblm aku publish chapter pertama kemaren, tapi blm dapet fix gambar buat chapter ini, dan blm dapet kalimat narasi endingnya yang kaya gini, wkwkwk.. tapi dr pd klean nunggu lama, dahlah..
Anyway please enjoy our story.. Mas Prab please comment if you see this yak 😝

KAMU SEDANG MEMBACA
BEGGING
RomansaProlog Dahulu Djenar pernah terjebak melibatkan "rasa" dalam hubungan Dom Sub relationshipnya. Rasa sakit, kecewa dan luka (baik luka fisik maupun luka hati), tak juga membuatnya tersadar bahwa dia sedang terjebak dalam hubungan yang toxic. Hingga p...