Chapter Twelve : A Princess Of Your Own?

1.2K 142 16
                                    

Sekitar empat minggu berjalan setelah Raina didiagnosa tengah mengandung. Ia memang sesekali merasakan mood-swing yang parah, mual-mual dan bahkan muncul keinginan untuk menjauh dari Harsa, tapi suaminya dapat mengatasi semua itu dengan baik, tanpa adanya masalah yang berkelanjutan akhir-akhir ini.

Seperti contohnya sekarang, pukul 02.30 pagi, Raina mulai merasakan sesak. Tidurnya sedari tadi tidak pulas dan yang Raina lakukan hanya menahannya dengan lenguhan-lenguhan yang tertahan, seperti tidak mau membangunkan Harsa dan merepotkannya.

Tapi semua itu gagal karena sekarang Harsa terlihat terusik dari tidurnya. Raina pasrah dengan hal itu, karena saat ini sesaknya malah menjadi-jadi.

"Rai? Sayang? Kenapa?" Harsa terlihat panik, ia mendudukkan dirinya dan mendekat ke arah Raina.

Raina merintih dan berusaha menjawab, "sesek.."

Harsa mengusap kepala Raina yang sudah sedikit berkeringat, sepertinya ia sadar istrinya sudah sesak dari beberapa jam yang lalu.

"Atur napas dulu coba Rai..."

Raina mengatur napasnya dengan menarik dan menghembuskannya beberapa kali.

Tak lama, Harsa segera beranjak dari tempat tidur untuk mengambilkan kesayangannya air.

"Ini minum dulu,"

Setelah beberapa saat mengatur napas dan sesak Raina sudah jauh berkurang, Harsa membuka obrolan.

"Raina, sayang," panggil Harsa selagi istrinya meminum air pelan-pelan.

"Kalo ada apa-apa bangunin aku ya, kamu keringetan gini pasti udah dari tadi ya?" ujarnya sambil terus mengusap dahi dan kepala Raina yang berkeringat bergantian.

Raina mengangguk. "Takut ngerepotin."

Harsa menghela napasnya, ia merasa Raina terlalu enggan untuk membagi bebannya pada suaminya.

"Anak kita tanggung jawab aku juga Rai, yang repot berarti bareng-bareng, bagi beban kamu sama aku."

Raina mengangguk kembali. "Iya makasih, Sa."

Harsa mencuri kecupan di pipi Raina, lalu beralih ke perut Raina yang belum besar, meskipun baby bump-nya sudah lumayan terlihat.

"Sehat-sehat ya kakak sayang."

"Kakak?"

Harsa mengangguk. "Do you remember my wish?"

Raina terkekeh sambil merapikan rambut Harsa, sesekali mengusapnya dengan ibu jarinya, "I do."

"A princess to raise... my dream."

"Iya, iya, tapi jangan jauhin anakku kalo dia bukan cewek nanti."

"Gila aja, nggak dong. Mau cowok juga tetep anak papa." Raina tersenyum melihat kecupan yang diberikan Harsa pada perutnya, usapan-usapan hangatnya memberikan rasa nyaman tersendiri.

"Ayo tidur Rai, besok papi mami mau dateng pagi,"

"Mana kesayangan mami yang mau jadi mami jugaaaa!" panggil Renatta, ia sudah tidak sabar bertemu dengan anaknya, sejak dikabarkan Raina hamil Renatta belum bisa bertemu karena berhalangan.

Raina menyambut Renatta dengan semangat, ia juga rindu dengan ibunya itu. "Mami! Kangen.."

"Gimana anak mami? Kamu sehat-sehat aja kan sayang? Harsa gimana? Nggak ada yang sakit kan?" tanya Renatta dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. Papi Jef baru masuk ke dalam karena baru selesai memarkirkan mobil.

"Sehat mi, ada mual, sesek, pusing dikit, sih.. tapi it's all fine karena Harsa selalu siap siaga, hehe."

"As expected Harsa... no regrets deh mami restuin kalian."

Harsa tertawa, "bisa aja mi, aku mah cuma ngelaksanain tugas."

Jef mulai nimbrung, "Udah tau jenis kelaminnya, Sa?"

"Belum Om, baru juga empat minggu."

"Pengennya apa?"

"Hehe, apa aja bisa, Om."

Raina langsung menoyor pelan bahu suaminya, "mana ada! Dari kemaren dia mintanya cewek, tuh."

"Cewek? Sama sih, saya juga dulu minta anak perempuan, beruntung dikasih Raina. Tapi yang susah ada satu, jagain anak kamu dari cowok."

"Bener tuh om."

"Bener, bener.. kan dulu saya jagain Raina dari kamu!" cibir Jef.

"Yaampun pi, masih lama itu mah, ini juga belum tau cewek apa cowok." ujar Raina menanggapi papinya. Sedangkan Jef lanjut fokus pada ceritanya kepada Harsa.

Renatta cepat-cepat menambahkan, "yakin Pi? Dulu dari sekian banyaknya mantan Raina, cuma kamu loh, Sa, yang disukain sama om Jef."

Harsa tentu senang sekali mendengarnya, tapi lompat-lompat sekarang kan nggak mungkin. "Wah serius Om? Makasih loh." sahut Harsa dengan wajah tengilnya.

"Ya intinya buat saya, membesarkan anak perempuan, apa lagi kalo satu-satunya, jadi kenangan dan memori tersendiri. Dulu, pas ngeliat Raina mulai pacaran sana-sini bikin saya cemburu, karena waktu dia sama saya jadi lebih sedikit. Mulai sibuk sama pacarnya.

Belum lagi khawatir kalo sudah ada masalah percintaan, Raina nggak apa apa atau sedih terus, ya? Kira-kira begitu perasaan seorang ayah." jelas Jef panjang lebar yang membuat mata Raina berkaca-kaca. Jujur, ia sangat terharu.

"Pi kok jadi mellow gini sih.." protes Raina dengan air matanya yang mulai jatuh lalu memeluk ayahnya yang paling ia sayang. Renatta jadi ikut terenyuh, sebenarnya tidak percaya juga anak semata wayangnya sudah menikah dan sebentar lagi akan memiliki buah hatinya sendiri.

Di tengah kondisi yang mellow tersebut, Harsa malah ikut mempertimbangkan, apakah menjaga anaknya dengan dengan sepenuh hati akan cukup? Bagaimana dengan laki-laki brengsek yang dapat merusak hati anak perempuannya? Atau masalah-masalah perempuan lainnya yang ia tidak mengerti dan mungkin saja—nanti putrinya merasa ia tidak ikut andil dalam masa-masa pertumbuhannya?

These thoughts are running in his head as if his kid would grow up and go through their adolescence in seconds, which will not happen.

"Udah yuk nangis-nangisnya, mami bawa masakan banyak, makan dulu yuk.." ajak Renatta.

Harsa dan RainaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang