#9 Ketahuan

203 32 0
                                    

Senin yang menyebalkan bagi sebagian besar orang kembali menyapa. Mungkin tidak untuk seorang gadis di pojok sana, tersembunyi di antara rak-rak besar. Sedang bergelung dengan jepit rambut dan poninya.

Ia menyandarkan gawai di tumpukan buku, rupanya sedang dalam panggilan video.

"Wooo curang lo, Lis. Gak ngajak gue, mana panas banget!" seru Roje dari balik layar, mengipas dasi kepanasan.

Sedangkan Lisa tergelak pelan. "Makan tuh upacara, ngadem enak wleee," ejeknya.

Tak mengacuhkan gadis yang misuh-misuh di seberang sana, atensi Lisa kembali pada poninya. Beralih ke cermin kecil yang ia bawa, menghela napas pasrah.

"Kependekan," gumamnya, hampir seperti rengekan. Panggilan video baru saja Roje matikan, sepertinya upacara sudah dimulai.

Masa iya poni anti badai itu harus Lisa jepit? Nanti jidat lebarnya bagaimana?

Gadis itu mengacak rambut gemas, menghela napas frustrasi.

Pokoknya salah Juni!

Masih ingat Juni? Ya, siapa lagi kalau bukan Abby Dwi Juni alias Jiun adik pertama Lisa. Tapi si penyebab ngambeknya seorang Mba Lisa itu malah dengan wajah mengantuk berkata, "lah, salah sendiri. Siapa suruh potong poni malem-malem. Ya gue teriak lah, kirain ada kunti."

Memang adik yang sangat baik nan tidak sombong. Mungkin suatu hari nanti harus ia buang ke negeri antah berantah. Awas saja, tidak akan Lisa ajak ngomong seminggu!

Kembali pada cermin, gadis itu memantapkan tekad. Menjepit poninya yang kini pendek itu ke atas.

"Diapain aja tetep syantik sih gue."

"Miris banget lo, Mba. Muji diri sendiri," sahut laki-laki di sampingnya.

Sedari tadi, Lisa memang tidak sendiri. Kembaran Wawan alias si Jevan ikut menemani. Lumayan lah, malas berpanas-panasan di lapangan.

"Sirik amat sih. Ga bisa liat orang seneng dikit, apa."

Alis Jevan berkedut. "Lah, keknya lo lagi sedih, deh," herannya.

Lisa berdecak, malas menjawab. Mulai kesal sebab terus-terusan dibantah.

"Sana deh, Jep. Gak mood gue liat muka lo yang tiap hari makin buluk itu, hush hush." Tangannya ikut mengusir.

Laki-laki itu menghela napas, merentangkan tangan malas walau masih se pagi ini. Ia bersandar, merasakan empuknya sofa yang sedari tadi mereka duduki.

"Males gue Mba, sama Wawan," adunya. Tak mengindahkan usiran Lisa.

"Lo lagi curhat sama gue, cil?"

Jevan berdecak. "Jadi sok ngatur mulu tau, semenjak masuk OSIS. Kayak yang paling bener aja," kesalnya. Benar-benar menganggap kata-kata Lisa sebagai angin lalu.

"LOH, WAWAN IKUT OSIS?"

"Sssttt! Anjir suara lo, Mba. Nanti ada yang dateng gimana," omel Jevan. Pasalnya, mereka kan sedang kabur dari upacara bendera di lapangan sana.

"Ya maap."

Terdengar tidak tulus, tapi tak apalah.

"Kena hasut Bang Yoshi. Halah, tai. Gue jadi dibanding-bandingin mulu di rumah."

Kepala Jevan bertumpu di meja, bibirnya mengerucut. Jadi tidak mood setiap mengingat kembarannya akhir-akhir ini.

"Oh iya, dia jadi ketos periode ini kan. Baru inget, gue," kata Lisa.

Sepersekian sekon kemudian menggebrak kecil meja perpustakaan. "Heh, si Wawan kan inceran gue. Yoshi sialan, awas aja lo," geramnya.

Lalu menoleh sepenuhnya pada Jevan. "Wawan kalo ikut gue kan enak, Ajun jadi punya temen ngurus pamflet. Masa gak boleh sih, sama Tante?"

Blok BTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang