02

239 22 0
                                    

Rosalia baru saja menelfonku sambil menangis diseberang sana. Aku panik, tentu saja. Dia memintaku menjemputnya di warung kelontong yang ada di timur rumahnya. Dan sekarang, ketahuilah aku memacu motorku gila-gilaan.

Rasa khawatir itu selalu ada. Aku takut ayahnya bersikap anarkis pada gadis serapuh dirinya. Apalagi kali ini ? Masalah apa yang Tuhan beri pada gadisku ? Dia sering bercerita padaku tentang apa yang terjadi, mungkin kurasa selalu. Ya, dia selalu menceritakan semuanya.

Aku tiba ditempat dan kulihat Rosa duduk memeluk lututnya dengan buku kesayangan ada dipelukan. Tangannya menggenggam ponsel yang ia gunakan untuk menghubungiku. Dan aku ingin marah entah pada siapa. Siapapun yang membuat gadisku seperti ini, ayo muncul di depanku.

"Bay..." dia memanggilku. Suaranya bergetar seiring dengan tubuhnya yang gemetar.

Aku memeluknya dan dia mulai kembali terisak. Bolehkah aku ikut menangis ?

Ia mengulur pelukan kami. Matanya yang memerah itu menatapku.
"...bawa aku pergi. Aku nggak mau pulang,.." mohonnya.

"Kenapa lagi ? Ayahmu ngapain kamu ?" tanyaku sambil terus mengusap air matanya.

"Buku puisi aku..hiks..ayah nyiram buku puisiku pakai kopi, Bay.."

Aku melihatnya. Buku dengan lembar berwarna gading itu itu menghitam dan basah. Tulisannya tak lagi terbaca. Cairan hitam itu menembus hingga ke beberapa lembaran.

Buku itu sumber kebahagiaan Rosa. Buku itu kesayangannya yang selalu ia jaga. Pun sama denganku, aku menjaganya karena itu kebahagiaan gadisku. Dan buku itu, impiannya. Semua impian Rosa ada disana. Tertulis apik disetiap kata perbait yang ada. Impiannya untuk menerbitkan sebuah karya.

Aku membawanya pergi setelah bernegosiasi dengan bibi pemilik warung. Rosa biasa memanggilnya Tante Hela. Aku bilang pada beliau untuk merahasiakan pada siapapun jika Rosa bersamaku. Dan beliau setuju.

Aku membawanya ke rumahku. Sebenarnya ini rumah peninggalan nenekku, bukan rumah yang aku tempati bersama kedua orangtua. Hanya saja aku sering mengajak teman-temanku kesini, jika mereka butuh tempat untuk menginap atau kabur dari rumah dengan segala masalah yang mencekik. Seperti halnya Rosa.

Aku membawanya duduk di sofa. Disini, ditempat ini. Dia selalu menangis disini. Hanya dengan satu kata 'kenapa' yang seolah menjadi mantraku untuk membuatnya bicara.

Dia mengatakan bebannya berat, maka aku memintanya untuk membagi beban.

Dia mengatakan semua orang tidak mendukungnya, maka aku berikan ia dukungan dan motivasi.

Semuanya aku lakukan agar gadis itu tau bahwa ia tidak sendiri. Ada aku disini. Masih ada sosok yang berdiri dibelakang meski dunia telah mencampakkannya.

"Kamu nggak punya salinan digitalnya ?" tanyaku pelan.

Dia menggeleng, "Harusnya aku aja yang kena. Harusnya ayah nyiram tanganku aja! Jangan buku ku! Badanku bisa pulih, tapi enggak dengan karyaku." ia berteriak keras sambil menjambak rambutnya sendiri. Tangisannya semakin menjadi. Ia melempar buku itu ke sudut ruang. Hampir saja mengenai salah satu pigura disana.

Aku mencekal tangannya dengan kuat. Berharap rasa sakit itu bisa menyadarkannya dari amarah. Berharap rasa sakit itu turut melepas cengkraman pada rambutnya. Dia tidak boleh menyakiti dirinya sendiri. Hatiku ikut sakit jika sudah begini.

"Rosalia! Stop ! Berhenti nyakitin diri kamu sendiri." kataku.

"Bay... Apa sekarang jadi penulis itu kriminal ? Apa sekarang penulis itu memalukan ?!"

Aku kembali menahan tangannya yang akan menjambak rambut. Kutarik tangannya dan kudekap tubuhnya. Dia belum pernah sekacau ini. Selama ini cukup kata-kata pedas dan hinaan atas apa yang dilakukannya. Ayahnya tidak pernah sampai seperti ini.

"Enggak, itu enggak bener." sangkalku.

"Lalu kenapa ? Kenapa dimata ayah aku selalu buruk ?! Ayah bahkan nggak pernah tanya kenapa aku nggak mau bergaul sama orang, ayah ga pernah tanya tentang traumaku!"

Ya, itu kuncinya. Selama ini aku hanya diam dan menyimpulkan semuanya dari cerita Rosa. Tentang ia dan traumanya untuk bergaul bebas. Tentang trauma yang diberikan oleh putri salah satu kolega ayahnya. Aku tidak bisa menyalahkan siapapun, Rosa sendiri memilih memendamnya sedangkan ayahnya tak mungkin tahu traumanya jika gadis cantikku ini masih menutup rapat rahasianya.

Rosa selalu menganggap ibunya sama seperti ayahnya. Tidak pernah membelanya ketika ia terlibat cekcok mulut perihal karya tulis buatan gadis ini. Dia bilang padaku, ibunya selalu diam. Dia selalu berkata ibunya ada di pihak sang ayah.

Tangisannya berhenti tiba-tiba, itu membuatku lumayan terkejut. Aku menepuk punggungnya pelan. Tidak ada respon.

Aku memanggil namanya, "hey, Rosa ?"
Masih tidak ada sahutan. Aku mencoba menggeser tubuhku, tapi gadis ini limbung ke arahku.

Oh astaga, aku baru sadar satu hal.
Rosalia pingsan rupanya.

.

.

.

.

Setelah aku membawanya ke kamar, aku berjalan ke ujung ruang tempat kami biasa berbincang. Dia butuh istirahat. Pikirannya terlalu kacau dan berat, aku yakin itu.

Aku mengambil buku yang ia lempar. Dan ya, buku itu tak lagi tampak seperti semula.

Aku duduk didepan meja yang menghadap langsung ke jendela, dan mencoba mencari lembaran yang masih bisa terbaca. Barangkali ia masih bisa ditulis ulang diponselku untuk sementara.

Lima lembar itu berhasil ditembus kopi. Aku mendesah gusar. Puisi ini ditulis dengan tinta hitam. Tentu saja tulisannya tersamarkan. Lembaran kertas loose leaf itu aku pisahkan. Halaman awal tentu saja karya Rosa terdahulu. Akan sulit mengingat isinya kembali.

Padahal ia sudah bercita-cita ingin menerbitkan sebuah antologi puisi jika karyanya genap 1000 judul. Astaga, kenapa serumit ini ?

Sinar matahari mencorong masuk tanpa aba-aba membuatku reflek menghalau sinar itu dengan lembaran kertas yang ada ditangan kiriku. Aku tertegun sejenak. Tulisannya masih bisa terlihat jika di sorot sinar seperti ini.

Terimakasih pada Tuhan yang telah menciptakan matahari. Aku sedikit banyak bisa meringankan masalah gadisku. Buru-buru aku menempelkan lembaran setengah basah itu ke jendela dengan selotip. Pujian-pujian sejak dari tadi aku ucapkan dalam batin kepada Tuhan.

Beberapa masih bisa terbaca. Aku cukup senang dengan itu. Tak apa, aku sudah berjuang.

Setidaknya membantu. Niatku baik bukan ?. Bukannya aku adalah tipe laki-laki yang cocok dijadikan kekasih ? Ah, aku mulai melantur.

Tapi kurasa benar. Harusnya aku percaya diri saja untuk mengatakan perasaan ini. Sudah tiga tahun.


Ya, seharusnya.









Bersambung....

Ini kalo rame ,serius deh aku bikinin S2 kelanjutannya yang bakal diceritakan dari sudut Rosa. Berani ngomong gini soalnya udah nyicil draft. Kkkkk

Salam hangat ✨

Karya Rosalia [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang