03

117 17 0
                                    

Dua hari yang lalu dia memelukku sambil menangis penuh haru. Entah berapa ucapan terimakasih yang ia lontarkan, aku pun tidak menghitungnya.

Dia senang beberapa karyanya bisa selamat. Tapi aku gagal menyelamatkan dua lembar sisanya. Terlalu parah. Tak apa, begitu saja dia sudah sedikit mengangkat bebannya.

Berbeda hal dengan sekarang.

Ia kembali datang padaku. Dia menangis lagi. Sialan! Ulah siapa lagi ini ?

Kebetulan aku sedang di lapangan indoor usai bertanding basket dengan anak fakultas sebelah, dan dia datang. Aku membawanya ke tribun. Kami duduk disana.

Mantra andalanku kuucapkan setelah kami pergi ke tribun penonton dilapangan basket. "Kenapa ?" tanyaku seperti biasa.

Dia mulai bersuara, "Tadi malem aku udah nurut buat ikut ke makan malam keluarga besar. Tapi lagi-lagi ayah ngebandingin aku sama sepupuku. Dia bilang didepan keluarga lainnya, aku nggak punya temen, dan nggak punya masa depan yang cerah karena nggak mau membuka diri. Aku curiga kalau ayahku pergi ke dukun sebelumnya, darimana dia tau masa depanku kan?."

Dia sedang melucu. Tapi aku tau bagaimana rasa sakitnya tadi malam. Gadis itu hancur. Dihancurkan dari dalam secara pelan-pelan.

Kalau itu bukan ayahnya, sungguh akan kudatangi orang itu dan aku beri bogem mentah hingga bibirnya bengkak. Aku tidak peduli, sungguh.
Sayang, orang itu adalah ayah Rosalia. Calon ayah mertuaku kelak, hmmm, ya semoga saja.

"Kamu harus ajuin karya kamu ke penerbit dari sekarang, Rosa. Siapa tau ada yang mau nerima." nasehatku berusaha mengalihkannya dari kesedihan.

"Kalau nggak ada ?" pertanyaan orang pesimis.

"Aku bantu kamu buat self publishing." kataku.

"Siapa yang mau beli ? Orang lain nggak ada yang kenal sama ceritaku." ungkapnya.

"Itu dia. Bahkan aku pun nggak kamu perkenankan buat ngeliat novel yang kamu tulis. Semua orang harus tau, Rosalia. Mereka harus tau kalau kamu itu hebat."

"A-aku nggak siap..."

Aku mendesah jengah. Jawaban itu entah kali keberapanya ia lontarkan sebagai alibi.

"Kalau kamu nggak persiapan, kapan mau siapnya ? Hah ?" suaraku agak ketus kali ini. Memang kusengaja, jadi jangan marah padaku.

Dia diam tak bersuara. Membalas tatapanku saja tidak.

"...kalo kamu nggak bosen dihina terus, direndahkan begini terus, dikata-katain sama keluarga kamu sendiri, dan dateng ke aku nangis-nangis, ya silahkan. Aku nggak bakal bosen ada dikondisi kaya gini." aku berusaha tegas untuk mendorongnya maju.

"Bayu...aku capek. Hidup aku terus-terusan diatur kaya gini. Aku nggak minat di Management bisnis, tapi kenapa ayah selalu maksa aku ?!"

"Itu karena kamu nggak mau membuktikan kalau passion kamu itu jadi penulis. Makanya orangtua kamu selalu berusaha ngelurusin dan ngebentuk kamu semau mereka." jawabku datar.

Dia kembali terisak. Kalo ring basket itu adalah makhluk hidup, mereka pasti menoleh ke kami. "Aku capek hidup gini,,..apa,aku udahan aja ya ? Dengan gitu ayah bisa keliatan sok tau karena nebak masa depanku buruk, padahal aku nggak bakal punya masa depan." ia melantur.

Aku berdecih sambil merapikan tas yang aku bawa, lalu bersiap berdiri. "Daripada kamu mati bunuh diri, lebih baik kamu cabut berkas dari kampus, cari cowok terus nikah. Biar orangtuamu nggak ngatur hidup kamu lagi ."

"...pikirin lagi omongan aku. Kalo Tuhan nggak kasih kamu mati, mau nyemplung ke kawah juga ga bakal berhasil."

.

.

.

.

Bodoh. Harus aku akui jika aku memang begitu. Tadi ia datang padaku dengan wajah pucat. Harusnya aku menemaninya. Bukannya meninggalkan sendirian.

Sekarang aku berlarian menuju klinik kesehatan di Fakultas Kedokteran. Temanku menelfon, ia menemukan Rosa tergeletak di dekat ring basket saat ia akan mengambil botol minumnya yang tertinggal di lapangan indoor. Mungkin instingnya sebagai calon dokter membuatnya berpikir cepat untuk membawanya ke klinik kesehatan.

"RO-SHHHHH" sialan. Siapa yang membekap mulutku.

"Lo teriak-teriak gue bius total." ancam sebuah suara dibelakang ku. Itu suara temanku.

Aku membalikkan badan dan memandangnya kesal. Tangannya itu bau minyak kayu putih. Mulutku terasa pahit!

"Gimana ?"

"Udah siuman, tapi gue suruh tidur. Tadi dia cuma bilang kalau mungkin maag nya kambuh." terang Mike. Salah satu temanku di fakultas kedokteran.

Aku mengangguk paham. Walau dalam diam aku berpikir. Rosa tidak mungkin melupakan jam makannya, dia juga tidak terlalu sering minum kopi, tapi dia sering makan pedas. Ah iya, mungkin itu penyebabnya.

Kami berdua duduk di bangku yang tersedia dengan pandangan yang sibuk ke ponsel masing-masing. Tapi suara bariton Mike membuatku mau tak mau menatapnya.

"Bayu.." panggilnya.

"Hng ?"

"Lo...beneran nggak pacaran sama Rosa ?" tanyanya pelan.

Aku menggeleng, "enggak.."

"Beneran ?" tanyanya curiga. Matanya itu memicing penuh selidik padaku, dia pasti sudah mencium gelagat ku.

"Belum aja.." jawabku seadanya.

"Oh, Lo suka sama dia ?"

Aku menunjuk mukaku, "gue normal, Mike. Emang muka gue memperlihatkan kalau gue ini gay ?"

"Hmmm..." Mike bergumam menilai. "...dikit sih."

"Kurang ajar!" desisku yang sudah berdiri mengambil ancang-ancang menerjang si jangkung ini.

Kalau bukan karena derit brankar klinik yang terdengar, aku mungkin sudah menampar wajah berkulit sawo matang itu lima kali lebih. Kami menoleh kompak, dan mendapati Rosa sudah bangun. Wajahnya meringis sakit memegangi perut.

"Hey..." aku menyapanya. Dan hanya dengan melihat sepatuku, dia sudah bisa tau siapa aku.

"Bayu ? Kukira kamu udah pulang." tukasnya.

Aku menggaruk kepalaku yang tiba-tiba gatal. "Mike nelfon aku, jadi aku balik lagi dari parkiran." jawabku jujur.

"Kamu balik aja. Aku nggak apa-apa, bentar lagi supir aku jemput."

Aku mengangguki, "kalau gitu biar aku temenin kaya biasanya."












Bersambung....

Season 2 baru ditulis. Kita publish kalau Rai udah selesai ujian ya!

Karya Rosalia [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang