07

72 15 3
                                    

Hari ini aku akan menggantikan ayah untuk meninjau sample produk bulanan. Aku akan berangkat langsung menuju pabrik pagi ini. Oh iya, ngomong-ngomong ini sudah bulan ke tujuh aku bekerja di perusahaan ayah.

Belum perusahaan besar, tapi kami bercita-cita akan seperti itu nantinya. Perusahaan ini adalah perusahaan coklat dan permen. Dan selama enam bulan belakangan ayah selalu mengajakku untuk ikut uji sample produk di pabrik. Kalau boleh berkata jujur, aku bosan makan coklat dan permen.

Oh, makanan manis bisa berdampak pada kesehatan. Terutama berat badan. Aku sudah mulai membentuk tubuhku sejak SMA, asal kalian tahu. Selama kuliah pun aku selalu menjaganya.

Dan sekarang, aku harus mencoba 52 produk coklat dan permen yang ada. Semuanya aku lakukan setiap bulan. Aku khawatir otot-ototku akan lembek setelah ini.

"Pak Bayu!" sebuah suara memanggilku. Jujur aku belum terbiasa dengan panggilan itu. Saat aku berbalik dan melihat siapa orangnya. Oh, itu Mahesa, mahasiswa teknik boga yang magang dipabrik.

"Ya ?" aku membalik badanku. Ia tampak panik.

"Pak, tolong, teman saya kecelakaan diruang pendingin."

Aku membelalakkan mata. Astaga, ruang pendingin ? Disana berisi rak-rak besar untuk mendinginkan produk-produk coklat.

Aku berjalan cepat mengikuti Mahesa. Aku bertanya, "Bagaimana bisa ? Temanmu sekarang gimana ?"

"Berdarah pak kepalanya. Salah satu rak kosongnya jatuh nimpa dia."

Aku diam. Bukan kerugian pabrik yang sedang kupikirkan. Tapi bagaimana jika mahasiswa itu tewas ? Bisa-bisa pabrik ini kena masalah.
Ya Tuhan, aku pun rasanya masih magang disini. Kenapa rasanya begitu berat.

Sampai disana, aku sudah mulai melihat titik-titik darah dilantai. Aku berusaha tenang. Sampailah aku di depan ruangan pendingin dan rasanya lutut ku lemas.

Tisu dengan bercak darah ada dimana-mana. Kening teman Mahesa itu berdarah. Cukup banyak.

Aku melangkah kebelakang nyaris limbung. Semua orang memekik panik memanggil namaku. Aku belum pernah melihat darah sebanyak ini kecuali di televisi.

"Bapak takut darah ?" tanya salah satu karyawati yang menghampirku. Aku mengangguk samar.

Mahesa pun menatapku, "Pak, saya minta maaf. Saya nggak tau kalau Pak Bayu takut darah."

"Nggak apa-apa. Sudah, ayo saya antar ke rumah sakit. Saya siapkan mobilnya." tanpa banyak bicara aku bergegas dari sana.

Satu orang karyawan mengikutiku. Aku tau siapa dia. Itu Haris.

"Pak, biar saya temani ya ?"

Aku mengangguk, "boleh."

.

.

.

.

Unit Gawat Darurat ini menjadi tempat kami berkumpul. Aku, Haris dan Mahesa. Tapi mahasiswa magang itu sedang tidak disini, ia pergi ke kantin.

"Gimana ceritanya kok bisa kaya gini, Haris ?" tanyaku pelan.

Haris pun tampak bingung ingin menjawab bagaimana. Apalagi ruang pendingin itu juga daerah kekuasaannya.  Dia lebih muda dariku, tapi sudah dua tahun disini dan dia tamatan SMK jurusan Boga. Dia lebih banyak tahu daripada aku.

"Tadi itu, saya minta Aji buat masukin praline sekalian ngambil sampel buat dicoba sama bapak. Baru aja saya mau masuk ke dalem, tiba-tiba udah banyak bunyi gedubrakan. Temen-temen lain dateng, dan ngeliat Aji udah keliyengan terus jidatnya berdarah-darah pak." begitu ungkapnya.

Aku mengangguk. Berusaha membuat rekapitulasi adegan di otakku sendiri berdasarkan cerita dari Haris.

"...maaf ya, Pak." katanya lagi.

"Enggak apa-apa Haris. Itu namanya kecelakaan kerja."

Mahesa datang. Langkahnya pelan, dan tubuhnya mendekap kantong plastik belanjaan. Ia memandangku takut-takut. "Pak, saya minta maaf sekali lagi."

"Hey,hey, jangan minta maaf, Mahesa. Ini kecelakaan kerja. Bukan salah siapa-siapa. Semuanya pasti ada unsur ketidaksengajaan." kataku.

"...saya mau ke toilet sebentar ya."

Aku pergi ke toilet bukan karena ingin buang air. Aku ingin menenangkan diri sejenak. Ingatan tentang bercak darah dipabrik tadi benar-benar menganggu. Aku berusaha menghalaunya sekarang.

Aku keluar dari toilet dan akan kembali ke UGD. Aku melewati poli penyakit dalam. Entah mataku yang salah atau aku rindu dengan orang itu. Tapi aku melihat Rosa.

Ia keluar sambil membawa sebuah kertas ditangannya. Aku berjalan cepat, memastikan orang itu adalah ia atau bukan. Kuharap bukan.

Sayangnya mataku tak salah untuk kali ini.

"Rosa ?"

Ia terkisap ketika namanya aku sebut. Dia menoleh cepat. Air wajahnya panik saat itu.

"B-bayu ?" Ia bahkan tergagap menyebut namaku.

"Kamu sakit ? Kok kamu nggak pernah bilang ke aku ?!" tentu aku protes. Selama ini aku selalu menanyakan kabarnya jika berkomunikasi lewat sambungan nirkabel.

Ia menjawab selalu sehat ketika kutanya kabarnya. Dia bohong padaku. Aku berhak marah untuk ini.

"Bukan aku."

"Terus siapa ?" tanyaku.

"I-ini punya ibu."

"Oh ya ?" alisku terangkat skeptis. Aku mengulurkan tanganku, "...kalo gitu coba aku liat."

Dia tampak ragu. Kulihat pegangannya pada kertas itu menguat. Aku kembali mendesaknya.

"...ayolah Sa, aku penasaran ibu sakit apa."

Ia belum bergerak menyerahkan berkas itu. Aku mengambilnya cepat. Dia berusaha merebutnya kembali, tapi berhasil ku halau.

Disana tertulis nama lengkapnya, data-data lain dan diagnosis dari dokter. Aku cukup tercengang itu yang satu itu.

 

  

Kanker ginjal ?!

  

  .

Sejak kapan ?



Bersambung...

Hello? Ada orang ?

Karya Rosalia [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang