04

104 15 4
                                    

"Bay...kamu ada nggak ada kelas ?" suara lembut itu bertanya dari seberang.

"Enggak. Makanya aku baru bangun." aku tidak bohong ketika mengatakannya. Karena kenyataannya aku bangun karena dering ponselku sendiri.

Hening. Entah apa tujuannya menelfonku. Padahal dia sedang ada kelas. Rosa bilang kalau dirinya izin ke kamar mandi hanya untuk menelfonku.

"Kalau kita jalan-jalan habis aku selesai kelas, kamu keberatan nggak ?" aku tau ia berharap kata iya.

Aku beringsut ke tepi ranjang. Mataku bergulir ke arah dinding. Ini sudah pukul tiga sore.

"Memangnya kamu mau jalan-jalan kemana ?" tanyaku.

Ia bergumam dari seberang panggilan. "Belum tau sih. Menurut kamu enaknya kemana ?"

Aku tersenyum licik. Satu buah ide muncul untuk mengerjai sahabat perempuanku ini.

"Gimana kalau ke pulau kapuk ? Nanti aku bawa kamu ngicipin yang lembut-lembut dan ngerasain sensasi terbang ke awang-awang. Mau ?" godaku.

"Maksud kamu ap-paan deh, Bay! Gausah ngada-ngada!" ia protes dengan sedikit berteriak.

Dia penulis, dan tentunya dia tau makna tersirat dari kalimat yang aku ucapkan sebelumnya. Tentu, itu bukan kalimat untuk menggambarkan sebuah arti jalan-jalan yang Rosa inginkan.

"Loh, serius ini."

"Nggak! Aku tau maksud kamu ya!"

Aku tertawa terpingkal. Membayangkan wajahnya yang memerah dengan mata melotot lucu itu menjadi kesenangan tersendiri untukku. Apalagi kacamata bulat yang bertengger dipangkal hidungnya, oh dia lucu ,sungguh.

"Kenapa ? Kan seru. Kalo kamu nggak mau ke rumahku, kita ke basecamp aja. Hannah ga mungkin denger."

"ENGGAK!"

panggilan diputus olehnya. Aku tersenyum dan merenggangkan otot-ototku sebelum bangun. Aku kembali melirik jam, 15 menit lagi mata kuliah terakhir gadisku selesai. Aku harus menjemputnya didepan kelas.

Aku berdiri menghadap ke cermin. Bangun tidur saja aku masih tampan. Aku juga tidak bau. Baiklah, sikat gigi, cuci muka dan menyisir rambut saja kurasa cukup.

.

.

.

.

Sosok laki-laki berkemeja soft blue dibalik pintu kaca itu tampak sedang mengemasi barang-barangnya. Itu salah seorang dosen baru dikampusku. Rosa ada di dalam, satu ruang dan menghirup oksigen yang sama dengan dosen yang di gadang-gadang asli cetakan Korea Selatan. Dia tampan, dan sudah mahir berbahasa Indonesia. Sialnya, dia tinggi.

Dosen tersebut keluar sambil melambai pada mahasiswa dikelasnya. Aku berdecih. Sok akrab sekali.

Dia keluar dan melihatku. Mungkin dia tak asing dengan wajahku ini, ya karena beliau pernah memberikan materi dikelasku waktu itu. Aku memberikan senyum ramah tamah padanya, dan ia membalasnya dengan senyuman yang sama sambil sedikit menganggukkan kepalanya.

Senyumku mengembang ketika melihat gadis bersurai sewarna madu yang kutunggu itu keluar dengan salah satu mahasiswi cantik bermata bulat. Mereka bicara sambil keluar. Ah, mungkin lebih tepatnya temannya itu yang terus bercerita.

"Siang nona, kendaraan sudah siap." kataku sambil berjalan disampingnya.

"Nih, udah sama pacar lo. Kalo gitu gue duluan ya, Sa. Next gue mau belajar banyak dari Lo."

Gadis cantik bermata bulat itu melambai pada kami lalu pergi. Aku memandang Rosa sambil menaikkan alis.

"Itu Lecia, dia lumayan suka nulis dan baca wattpad." tukasnya.

"Kok dia tau kamu suka nulis ?"

Dia mengulum senyumnya, "Tadi, tas aku ketinggalan digazebo. Dia yang nemuin. Karena nggak ada dompetku, ya dia buka buku buat cari namaku. Eh, malah ketauan kalo aku suka nulis."

"Reaksinya ?"

"Awalnya dia maaf-maaf dulu karena ngerasa lancang dah ngebuka buku aku. Terus, lama-lama dia tanya ke aku suka nulis cerita atau enggak. Ya aku ngangguk."

"Makanya dia bilang mau belajar tadi ?" simpulku.

Dia menganggukinya. Ada senyum senang yang tak henti gadisku torehkan diwajahnya. Aku pun juga ikut tersenyum. Akhirnya ada seseorang yang bisa membuat Rosa lebih percaya diri.

Aku mengusak rambutnya asal. Dia tidak protes. Lantas aku merangkul pundaknya dan berjalan menuju parkiran. Dia berhenti mendadak, menyadari sesuatu.

"Kalo kamu ngajak kaya tadi, aku nggak mau." dia menggeleng ribut. Matanya yang berkilat bening itu juga kedua sudut alis yang diturunkan sama seperti bibirnya. Ketahuilah dia menggemaskan.

Tahan Bayu, jangan gigit pipinya. Nanti gadismu bisa marah. Begitu kataku menasehati diri.

Aku menarik kacamatanya dengan tangan kanan dan membalas ucapannya dengan mimik wajah yang kusamakan.

"Utututu, tenang cantik. Mana mungkin aku ngerusak sahabatku ini."

Dia tersenyum lagi. Oh manisnya. Apa Engkau menuangkan gula pasir surga saat membuat Rosa dulu, Tuhan ?

"...kan jatahku kalau kita udah nikah."

"Ih, apa sih!" dia kesal dan menyikut rusuk kiriku. Sakit, tapi aku tidak bisa marah.

"Arghhh...shhh.." aku mengerang sakit karenanya. Hanya beberapa menit, sisanya kulanjutkan bersandiwara.

Aku ambruk ke lantai koridor kampus sambil memegangi rusuk kiriku dengan tangan kanan. Rosa panik. Dan jujur, aku susah payah untuk sandiwara ini.

"Bay! Bayu... Maaf aku kekencengan. Sakit banget ya ?" suaranya panik.

Aku mengangguk. Tentu, masih mempertahankan mimik wajah kesakitan sebagai topeng. Aku ingin liat, gadisku akan menangis atau tidak kali ini.

"Uhuk...uhuk...ugh, sesek banget." kataku berlagak sesak nafas. Padahal aku menahan tawa sekarang ini.

Mata Rosa berair. Ya Tuhan, aku ingin terpingkal rasanya.

"Maaf, Bay...aku minta maaf." cicitnya.

Aku mengangguk. "K-kamu gapapa ?" tanyaku sambil menangkup sebelah pipinya.

"Kamu yang kesakitan,Bayu. Kenapa nanyain aku ?"

"Ya, kamu kan juga bagian dari tulang rusuk kiriku, Rosa." jawabku dengan cengiran bahwa aku telah menyelesaikan sandiwaraku.

Rosa marah merasa dikerjai. "IHHH, MATI AJA KAMU!" dia membekap wajahku dengan tasnya. Meluapkan rasa kesalnya yang tidak tertahan.







Bersambung...

Ciss dulu yang prenjon.

Karya Rosalia [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang