08

77 16 2
                                    

Rosa menunduk dalam. Aku menatapnya dengan tajam. Dalam dadaku penuh sesak dengan amarah yang aku tahan. Aku tidak pernah marah pada kondisi apapun padanya. Tapi ia berbohong dan menyembunyikan semua hal ini. Wajar jika aku marah.

"Bilang jujur ke aku, Rosalia. Sejak kapan kamu tau penyakitmu ?"

Dia masih dengan posisinya. Tangannya meremas sweeter rajut berwarna Lilac miliknya. Dia takut akan kemarahanku, tapi dia justru mengundangnya.

"Sejak kapan!" bentakanku sengaja kusuarakan. Dia harus tau aku marah dan kecewa untuk yang satu ini.

"Bayu..." dia terisak.

Sial. Aku semakin kacau rasanya. Masalah anak magang terluka di pabrik, hal yang gadisku sembunyikan, juga rasa bersalah karena membentaknya barusan.

"...aku minta maaf." lanjutnya.

Aku menariknya. Kudekap tubuhnya yang bergetar karena isakan. Kukecupi puncak kepalanya berulangkali.

"Nggak apa, bukan salah kamu. Maaf ya cantik, aku kasar banget ya ?"

Dia menggeleng didekapanku.

"...udah cantik. Jangan nangis lagi, nggak apa-apa. Bukan salahmu, bukan mau mu ada di kondisi kaya gini." aku berusaha menenangkannya. Kemeja baby blue ku tampak basah dibagian dada. 

"Aku ngelanggar janji ke kamu, Bay. Aku minta maaf."

Ya, aku ingat itu. Aku yang memintanya berjanji untuk selalu datang padaku seberat apa masalahnya. Dia ingkar untuk yang satu itu.

"Aku maafin, udah ya ? Aku nggak marah."

Dia mengulur pelukan kami. Masih dengan posisi menunduk. Aku tak mengerti, apa yang indah dari lantai rumah sakit ? Atau sepatunya ?

"Hey." aku mengangkat dagunya agar mau menatapku. Tapi manik matanya tak sedikitpun bergeser menatapku.

"...ayah sama ibu kamu udah tau ?" tanyaku lembut. Bentakan hanya akan membuatnya takut. Aku tidak mau itu terjadi lagi.

Dia menggeleng. Aku menghela nafas panjang. Tanganku menariknya kesalah satu bangku di koridor ini. Aku membawanya untuk duduk disana.

"Aku nggak marah. Tapi kamu tolong jujur ke aku, sejak kapan kamu sembunyiin semuanya ?"

"Sebenernya ini udah lama. Habis aku pingsan dilapangan indoor waktu itu, aku sering ngerasain sakit yang sama. Aku diam-diam ke dokter sendiri. Cuma Lecia yang tau, itupun dua hari sebelum wisuda."

"...maaf aku ingkar janji. Tapi aku nggak mau kamu terbebani. Apalagi kamu baru penyesuaian untuk ngelola bisnis punya keluarga. Takutnya kamu ga fokus kerja gara-gara aku."

"Tapi kenapa orangtua kamu nggak tau ? Harusnya kamu kasih tau mereka, kamu masih tanggungjawab mereka berdua." tutur ku.

Dia menggeleng. Dia menatap air mancur ditengah taman. Ah, sepertinya dia menatap dedaunan yang jatuh dari pohon.

"Kamu ngerti nggak sih Bay, mereka ngedukung apa yang aku suka aja nggak mau. Gimana bisa aku minta biaya yang nggak sedikit ke mereka." ceritanya begitu menyayat hati. Aku tau Rosa belum mencobanya. Dia terlalu takut.

"...lagian waktu aku nggak bakal lama, Bayu. Udah stadium dua. Jalan satu-satunya operasi dan selanjutnya aku harus hidup dengan satu ginjal. Itu pasti bakal makin nyusahin mereka kedepannya. Aku cuma pengen nerbitin satu karyaku sebelum aku mati."

Aku merengkuh tubuhnya kembali. Kukecup pelipisnya penuh afeksi. Selanjutnya aku menatap matanya lekat. Tak akan kubiarkan dua manik indah itu berpaling. Aku ingin menguncinya, mengunci tatapannya, dan menjadikan dua binar indah itu mutlak milikku.

"Rosa..." aku memanggil namanya. Mengumpulkan keberanian untuk mengatakan kalimat selanjutnya.

Dia memandangku tak lepas. Aku berhasil menguncinya.

"...nikah sama aku ya ?"

Aku berusaha menyakinkan dirinya dengan sebuah anggukan samar. "...dengan begitu, kamu nggak perlu ragu buat berbagi semua ke aku. Ya ?"

Dia beringsut menjauh. Menciptakan jarak kurang dari setengah meter, namun terasa seperti puluhan mil jauhnya.

"B-bayu! Kamu apa-apaan ?!" sentaknya berlinang air mata.

Aku melempar tatapan tak mengerti. Aku menyampaikan niat baikku. Aku mengumpulkan keberanianku untuk mengatakannya. Tapi kenapa dia seperti itu ?

"Kamu nggak seharusnya nyia-nyiain waktu kamu buat perempuan kaya aku. Kamu bisa cari perempuan yang sehat dan siap kamu ajak berumah tangga! Bukan perempuan sakit-sakitan kaya aku,,"

Aku mengeraskan rahangku. "Terus kalo aku maunya sama kamu gimana ?"

"Kenapa sih!? Perempuan yang lebih baik itu banyak, Bay! Aku yakin yang mau sama kamu juga nggak sedikit."

"Aku.maunya.sama.ka-mu. jelas ?" Kutekankan semua kata agar dia mengerti.

Dia berdiri disusul olehku, air matanya sudah mengalir turun menganak sungai.
"Waktu aku nggak lama Bayu! Aku nggak mau ninggalin kamu! Tapi kamu kenapa bersikap seolah kamu siap ditinggalin ? Aku nggak bisa menjamin bisa ngehabisin waktu sampe tua sama kamu. Jadi tolong, lebih baik kamu batalin aja niatan itu."

"Justru karena itu, Rosalia. Justru karena waktu kamu nggak banyak, aku mau nikah sama kamu." kataku menegaskan. Ia melempar tatapan tak paham.

"...itu semua biar cuma aku yang bisa ngehabisin sisa waktu kamu. Biar cuma aku yang ada di memori kamu. Biar sisa waktu yang kata dokter nggak lama itu,  cuma buat aku sepenuhnya, Rosa." aku berkata sambil menunjuk diriku sendiri. Membuktikan betapa menggebunya niatku.

Dadaku sesak. Emosi yang sedari tadi kutahan akhirnya meluruh menjadi air mata. Aku tidak bisa untuk tidak menangis kali ini.

"Orangtua kamu. Coba kamu pikir, orangtua kamu mana mau punya menantu sakit-sakitan kaya aku ?!  Mereka pasti maunya kamu itu punya istri yang sehat. Yang bisa ngelayanin suaminya, dan menjalankan kodratnya sebagai istri. Bukannya malah ngebebanin."

Aku menarik kedua tangannya dan kuletakan dileherku. Aku berkata, "ucapan kamu barusan itu nyekik aku secara nggak langsung Rosa. Lebih baik kamu cekik aku beneran sekarang. Gapapa kok kalo aku harus mati ditangan kamu."

Dia berusaha melepaskan kedua tangannya, "Bayu, lepas!"

"Cekik aku aja, Rosa! Kamu cukup lakuin itu, dan aku bakal mati didepan kamu."

Dia menggeleng ribut. Air matanya semakin deras. "Enggak mau. Aku sayang kamu, Bayu!. Aku nggak mau ngelakuin itu."

Kalimat itu berhasil membuatku lemah. Bayu menjadi lemah karena gadisnya. Payah bukan ?

"...aku sayang sama kamu, Bayu. Aku mau kamu ajak nikah. Tapi dengan kondisi aku yang kaya gini, aku mikir dua kali. Aku nggak mau ada perceraian dalam sejarah hidup aku."

"Kalo gitu. Biarin aku lamar kamu didepan orangtuamu. Dan aku pastiin mereka bakal ngomong iya ke kita."





Bersambung....

Tamatin hari ini ga si ?

Karya Rosalia [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang