06

89 16 1
                                    

Aku tidak mengerti, kenapa aku sulit memahami gadis-gadis di dunia ini. Mereka berkata tak suka terhadap sesuatu, tapi melakukan hal tersebut seolah mereka sangat menyukainya.

Seperti Rosa. Gadis (yang kata orang) aneh, yang tiga tahun ini berhasil membuat rencanaku gagal total.

Rencananya aku akan lulus kuliah menjadi seorang cumlaude, setelah itu meneruskan usaha ayahku dan melamar ia setelahnya. Ya, setelah ia lulus dari S1.

Tapi apa ? Dia kini berseragam sama sepertiku. Dia di wisuda bersamaku. Dan kami sama-sama cumlaude.

See ? Cumlaude, bukannya ia terlihat seperti orang yang senang dengan jurusannya ?
Dia tidak sekali dua kali mengeluh padaku kalau ia tidak suka dengan management bisnis. Tapi dia juga lulus cumlaude sepertiku, seperti orang yang menyukai jurusannya.

Dan kini, dia tersenyum ditengah keluarganya. Hanya ayah dan ibunya. Keluargaku juga hadir. Disini ada Ayah,bunda dan juga adik perempuanku. Ramai orang yang datang padaku, memberiku selamat atas kelulusan yang singkat ini, memberi bunga dan hadiah-hadiah lainnya.

Tapi tidak dengannya. Rosa hanya berfoto dengan keluarganya, dibantu Lecia sebagai fotografer. Ah iya, ditangannya juga ada satu ikat bunga aneka jenis pemberian si gadis berponi.

"Pacar kamu cumlaude juga ?" tanya ayah padaku. Aku terkisap, itu terlalu tiba-tiba.

"Pacar apa?!"

Ayah memicing penuh curiga dan merangkulku, "ayah restuin kok. Kenapa nggak pernah dibawa ke rumah ?" bisik ayah kemudian.

"Mas Bayu itu sering ngajak Kak Rosa ke rumah nenek loh, Yah." adu Hannah sambil berlindung dibelakang bunda. Dia takut aku jambak.

Huh, dasar tukang pengadu!

Bunda memandangku sambil mengerutkan alis. Tampak tak senang dengan hal itu. "Kalian nggak ngapa-ngapain kan disana ?"

Aku menggeleng dengan tenang. Kenyataannya memang begitu. Aku tidak pernah melakukan yang macam-macam seperti yang bundaku pikirkan. Hanya mengecup pipi atau dahinya. Itu pun hanya sesekali saat ia tidur. Ingat ya, HANYA SESEKALI.

"Bayu kesana sebentar, ada yang mau Bayu omongin." pamitku.

"Lamar aja sekalian, mas." goda bunda padaku.

"Bener! Mumpung ayah sama bunda disini." timpal ayah setuju.

Aku melengos pura-pura tidak dengar. Tapi aku yakin telingaku merah. Mungkin sangat ?

"Rosa." panggilku.

Ia yang tengah berbincang dengan Lecia pun menoleh sambil tersenyum.

"...selamat atas kelulusannya." kataku sambil menyodorkan buket bunga untuknya, juga satu buah selempang dengan nama lengkap bergelar untuknya.

"Aku nggak bawa apa-apa buat kamu, Bayu." ia sungguh menyesal, dilihat dari wajahnya yang ditekuk, juga bibirnya yang seperti paruh bebek itu.

Kacamata itu, Ya Tuhan. Ingin kubuang untuk saat ini. Gadisku sedang cantik, dia ber-make up. Dan kecamatan itu sungguh, asdfghhjkl aarghhhh!

"Gapapa. Kalo kamu ngasih aku barang juga endingnya diminta Hannah." kataku.

"Lecia katanya mau minta nomor kamu, boleh ?" tanya Rosa sambil melihat Lecia. Gadis berponi itu kelabakan.

"Eh enggak!" sangkalnya.

"Loh tadi bilang, 'Sa bagi nomernya Bayu dong'. Lah ini aku baru ijin."

"Tapi gue maunya dari lo aja." bisik gadis berponi itu pada Rosa, tapi masih bisa aku dengar.

Rosa menggeleng, "ya kan aku ijin dulu, Lecia. Kalo Bayu nggak ngebolehin gimana ?"

"Udah ya girls, ini cuma masalah nomor telfon. Sini, ponsel Lo." kataku melerai dan meminta ponsel Lecia untuk ku berikan nomornya.

Barisan angka itu aku ketikan setelah ponsel itu ada ditanganku. Dan aku kembalikan setelahnya.

"Bayu, kamu nggak akan lupa sama aku kan setelah ini ?" lirih Rosa padaku.

Aku menggeleng. "Enggak. Kamu juga jangan lupain aku, okey ? Kalo ada apa-apa kabarin aja. Kalo ada masalah telfon aku, nanti aku bantu."

"Habis ini kamu mau langsung kerja, Bay ?" tanya Rosa padaku yang langsung aku angguki.

"Iya. Mau gimana lagi. Manager perusahaan ayah mau mundur untuk pensiun dini, karena kanker kalo nggak salah."

Entah kenapa mata gadisku justru enggan menatapku setelah penjelasan yang aku berikan. Aku yakin ada sesuatu dibalik gelagatnya yang tiba-tiba berubah.

"...kamu bisa main ke kantor kalo kamu longgar. Tapi bukannya kamu mau ngelola bisnis bakery keluarga kamu juga ?"

Dia mengangguk, "iya. Semoga ayah nggak ngelarang aku nulis ya."

Lecia merangkulnya. Kurasa sekarang tak cuma aku yang tau masalah internal keluarga Rosa. Sebenarnya tak terlalu berat. Rosa hanya perlu terbuka pada keluarganya untuk bicara tentang traumanya dan membuktikan kalau dia bisa membagi waktu antara bekerja dan hobinya.

Simple.

Tapi sulit. Sebesar apapun dorongan dan motivasi yang kuberikan, kurasa tidak membuatnya berubah banyak. Tak apa, biarlah waktu yang membuatnya mengerti.

"Foto bareng lah. Aku mau post di Instagram." pintaku pada dua gadis ini.

Aku melambaikan tangan pada Hannah karena bocah itu memegang kameraku sekarang. Dia datang setengah berlari.

"Fotoin mas sama kakak-kakak ini." suruhku.

Kami bertiga memposisikan diri. Aku ditengah dengan dua gadis ini di kanan dan kiriku. Hannah mengangkat lensanya dan sekon selanjutnya suara shutter kamera yang terdengar.

"...yang banyak ya,cil." imbuhku.

Adikku merengut tak senang, "Nanti gantian!"

"Iya cil, buruan ah!"

Entah berapa foto yang kami ambil. Hannah pun sudah semakin masam wajahnya.

"Terakhir ya! Habis itu gantian mas yang fotoin aku." suara protes yang nyaring itu datang dari adikku.

"Aduh, cerewet banget sih. Iya-iya!"

Crek!

Usai sudah acara foto bersama kami hari ini. Waktunya aku menggantikan Hannah. Aku harap, senyum manis itu tidak akan pernah hilang.





"Tetap seperti ini ya cantik. Tetap tebarkan senyum cantikmu walau duniamu sedang tidak baik-baik saja. Tetap tampil seolah kamu adalah orang paling bahagia di jagat ini. Kamu hanya boleh menangis pada Tuhan dan padaku. Jangan berikan tangismu pada pemuda lain ya ?"


Bersambung....

Double update ?

Karya Rosalia [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang