DUA PULUH

101 15 0
                                    

Clara, gadis itu sekarang tengah duduk termenung di atas kasurnya, pandangannya kosong, pikirannya sedang berkeliaran kemana-mana.

"Hah.," Clara menghela nafasnya berkali-kali guna menghilangkan rasa sesak di-dadanya.

Clara benci dirinya yang sekarang, cengeng, pendiam dan, lemah. Jiwa periangnya seakan-akan ikut terenggut pada saat mahkotanya hilang. Ia benci pria itu, di sisi lain ia juga rindu dengan kehadiran pria itu.

Kaset masa lalunya bersama pria itu kerap sekali berputar di otaknya, saat itu juga matanya basah. Clara lelah, ia lelah menangis karena rasa rindu dan benci menjadi satu.

"Kakak jahat." gumamnya dengan suara parau.

Clara berada di titik paling rendah susah untuk bangkit. Terasa terlempar kedalam jurang yang sangat dalam setelah sempat di buat terbang setinggi mungkin oleh perlakuan Edgar dulu. Dirinya seperti sangat berarti bagi pria itu namun, nyatanya dia hanya di jadikan pelampiasan nafsu semata. Ia terkekeh dengan pikirannya sendiri.

"Udah bangun?"

Clara menoleh ke arah sumber suara. Itu, Rani yang membawa nampan berisikan makanan dan obat.

"Makan ya, Ra."

"Ara gak nafsu mah," jawabnya lesu.

"Kasian bayi kamu sayang, Ara tega biarin dia kelaparan?" nadanya begitu lembut.

Clara tersenyum tipis, pandangannya turun kearah perut datarnya. "Clara gak mau dia mah,"

Rani menghela nafasnya sesaat sebelum berbicara, ia tidak tega melihat keadaan putri semata wayang ini.

"Ara dengerin mamah sayang. Bagaimana'pun caranya dia hadir, kamu harus menerimanya. Walaupun itu bukan keinginan kamu, dia juga tidak pernah meminta untuk ada di-dalam rahim kamu. Bagaimanapun ia tetap anugrah yang Tuhan kasih buat kamu jaga, ini takdir sayang." jelasnya panjang lebar, memberi pengertian untuk putrinya.

"Seorang anak tidak pernah meminta pada siapa dan seperti apa ia lahir di dunia ini, dia berhak mendapatkan kasih sayang orang tuanya, terutama ibu, sayang." buliran bening mengalir di pelupuk mata dua wanita itu.

"Tapi, Ara gak mau mah, Ara gak siap." ia menatap matik wanita paruh baya yang menjadi ibu-nya.

"Jangan pernah menolaknya, sayang. Dia bisa merasakan bagaimana perasaan kamu, walaupun hanya terlintas di pikiran. Ikatan janin dan ibunya itu sangat kuat,"

Butiran bening itu meleleh sedari tadi membasahi pipinya. Apakah benar yang mamah-nya jelaskan? Bahkan ia berharap mengalami keguguran. Supaya bebas dari beban hidupnya yang berat ini, melupakan semuanya lalu memulai nya dari awal.

"Dia sayang Ara kan, mah?" pandangannya mengarah kearah perut ratanya yang terdapat satu nyawa di dalamnya.

"Tentu sayang, ibu adalah Mutiara yang selalu ada dihati setiap insan manusia."

"Tidak ada jiwa yang lahir tanpa lahirnya seorang ibu. Tidak ada kekuatan sekuat kekuatan ibu. Ibu akan selalu melindungi anak-anaknya dari marabahaya. Induk ayam akan selalu melindungi anaknya dari ancaman apapun. Begitulah ibu yang akan selalu mencintai kita sampai akhir hayatnya nanti."

Jelasnya panjang lebar agar putrinya mengerti akan peran seorang ibu.

Hatinya menghangat mendengar penjelasan Rani, Clara janji, dia akan terus menjaga bayi-nya, ia janji akan terus bertahan untuk bayi-nya meskipun, hanya berdua.

Deru mobil terdengar, mengangkat wajahnya menatap Rani yang tengah tersenyum manis.

"Mamah kedepan ya, sayang."

"Itu papah ya, mah?" Rani mengangguk sebagi jawaban.

"Ara ikut, mau ketemu papah." serunya bersemangat.

Clara berjalan menuju pintu utama, Dani, papahnya kini berdiri di luar pintu utama, senyum manisnya mengembang di wajah tampannya yang sudah tidak lagi muda. Kedua tangan Dani terbuka lebar menyambut pelukan Clara, ia berlari dan segera menghambur ke dalam dekapan papah-nya itu, wajahnya terbenam di dada papah-nya.

"Papah dari mana?" wajahnya mendongak untuk menatap Dani.

"Abis dari luar Ara, udah makan belum nih putri papah?" tanyanya sambil menoal ujung hidung Clara.

"Uda– eh belum," jawabnya cengengesan.

"Bandel ya, kasian bayi kamu." Clara hanya mengulas senyum tipia mendengarnya.

Semurka apapun papah-nya terhadap perbuatan Edgar, tidak membuat nya menolak kehadiran darah daging Edgar, bahkan semenjak Clara hamil perhatian papah-nya semakin bertambah.

"Papah pulang gak sendiri," Clara mengangkat sebelah alisnya seolah-olah bertanya.

"Papah sama Edgar, kakak kamu." Dani tersenyum tipis, melepaskan pelukannya. Clara mengedarkan pandangannya dan netra keduanya bertemu, ada desiran aneh di dadanya.

Edgar melangkah ke halaman rumah kedua orang tua Clara. Wajahnya sedikit tirus badannya juga kurus, ia mengulas senyum tipis saat netra keduanya bertemu.

Edgar berdiri tepat di depan Clara membuat jantungnya berdetak tidak normal. Clara meremas ujung bajunya, dia benci pria di hadapan nya ini. Tapi kenapa? Tatapan teduh milik Edgar membuat desiran halus dan tenang di hatinya itu kembali hadir? Sadar Clara!

Clara mengalihkan pandangannya dan menarik lengan Dani untuk masuk dan duduk di sofa ruang tamu.

"Udah gak mual lagi kayak tadi pagi kan?" tangan Dani mengusap kepala Clara yang tengah bersandar di dadanya. Clara menggeleng sebagai jawaban.

Mereka berbincang beberapa saat, hanya Clara dan Dani. Edgar masih bungkam dan duduk di hadapan mereka, sesekali ekor mata Clara menangkap Edgar tengah menatap kearah dirinya.

Dani menegakan duduk Clara, ia bangkit dari duduknya "papah mandi dulu," ucapnya lalu pergi dari sana tampa menunggu jawaban Clara.

Clara hendak pergi dari tempat nya namun tangannya di cekal, membuatnya menghentikan langkahnya.

"Jangan pergi, Ra," tatapan Edgar begitu sendu membuat Clara tidak tega melihatnya dan kembali duduk.

"Boleh kita bicara? Berdua?" Edgar mendekat untuk duduk di samping Clara, Clara gugup. Ia mengambil beberapa makanan di hadapannya untuk menyamarkan rasa gugupnya.

"A–apa kabar?" tanya Edgar gugup atau mungkin takut.

"Baik." jawab Clara ketus.

"Kamu jarang makan ya, tambah kurus,"

"Ara mual, apa lagi kalau pagi." Clara menggeram kesal karena mulut sialannya yang mengeluh di depan pria itu.

"Anak kakak bikin susah ya? Dia rewel ya Ra?" tanyanya dengan wajah sedih. Ada desiran hangat di hatinya saat mendengar Edgar menyebut 'Anak'.

"Anak aku. Bukan kamu." Edgar tersenyum tipis mendengarnya.

"Nikah sama kakak mau?"

Clara seketika menoleh mendengar pertanyaan Edgar, manik keduanya bertemu, tatapan Edgar tampak begitu memohon.

"Biar kaka bisa jaga kalian, kamu sama anak kita," tangannya mengelus perut rata Clara dan langsung di tepis secara kasar.

Hening, ia bingung harus menjawab apa, hatinya merasakan desiran hangat yang ntah apa itu. Tapi seketika perasaan itu ia tepis saat mengingat Edgar memiliki kekasih, yaitu Annetha. Toh selama ini mereka berdua masih bisa hidup tanpa Edgar.

"Aku nggak papa. Biarin kayak gini sampai nanti."

"Clara please, jangan buat kakak semakin merasa bersalah, kakak nggak akan biarin kamu lewatin ini semua sendiri." tangannya menggenggam tangan mungil Clara.

"Kata siapa aku sendiri? Aku gak sendiri, selama ini ada mamah sama papah yang jagain aku."

"Kamu benci sama kakak?" tanyanya dengan sorot mata sendu.

"Cih! Pake nanya lagi!"



Cinta Dan Noda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang