Bagian 10

313 49 20
                                    

Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komentarnya 🥳

Tibalah pada hari minggu, hari di mana Dewi akan pergi bersama Calvin dan Gita, rupanya Azfa benar-benar ikut pergi bersama mereka. Pagi ini rencananya mereka ingin pergi ke dunia fantasi, mereka pergi dari rumah jam Sembilan karena takut macet. Siapa sangka saat Calvin sudah sampai di depan rumah Dewi untuk menjemput gadis itu, rupanya sudah ada Azfa di sana yang datang lebih dulu dibanding dirinya.

“Loh, Vin, kok lo ke sini? Gue kan udah kirim pesan kalau lo langsung ke rumah Gita aja jemput dia, soalnya gue bareng sama Azfa.” Dewi sudah memberitahu Calvin melalui pesan, tapi sayangnya Calvin belum sempat membuka pesan yang ia kirimkan.

“Gue belum baca chat dari lo, lagian kenapa sih lo gak bareng sama gue dan Gita aja? Biasanya juga bareng!” protes Calvin sebal.

“Ya, gapapa, emang kenapa? Kan yang penting kita berempat jalan-jalan bareng ke Dufan. Perkara naik apaan mah bebas kali, lagian bukannya bagus kalau gue bareng sama Azfa? Kan lo sama Gita  jadi bisa berdua-duaan. Harusnya lo berterimakasih karena gue peka sebagai sahabat lo!” ujar Dewi.

“Kenapa gue ngerasa kalau lo jadi menjauh sih, Wi?” lirih Calvin dengan raut wajah sendu bercampur marah, terlihat dahinya berkerut.

“Astaga, Calvin, lo mikir apa sih? Gue gak menjauh, cuma perkara pergi ke dufan beda kendaraan aja lo bilang menjauh. Kasihan kali Azfa udah dateng jauh-jauh buat jemput gue ke sini.” Dewi memijat pelipisnya sendiri.

“Udahlah, Vin, mending lo buruan jemput pacar lo, sana! Kasihan pasti Gita udah nungguin.” Azfa buka suara.

“Gue pergi dulu!” ujar Calvin pergi masuk kembali ke mobilnya, dia segera melajukan mobilnya ke rumah Gita.

“Wi, si Calvin kok kaya posesif gitu sama lo. Gue paham sih dia sahabat lo sejak kecil, tapi aneh aja sama kelakuannya yang seolah gak rela lo deket sama orang lain. Padahal dia sendiri pacaran atau deket sama cewek lain, kayanya lo gak posesif gitu deh!” celetuk Azfa.

“Udahlah, abaikan aja, mungkin mood dia lagi jelek kali. Yuk, mending kita berangkat, takut macet.” Dewi berusaha untuk tidak terlalu memikirkan kelakuan Calvin.

“Ya, udah, yuk. Eh, mama sama papa lo lagi ke mana? Kok hari minggu pagi udah gak ada di rumah.” Azfa bertanya karena ternyata orang tua Dewi lagi-lagi tidak ada di rumah.

“Di toko mama gue, kalau papa lagi libur, biasanya papa bantuin mama di toko.” Dewi menjelaskan sambil memakai helmnya.

“Oh, gitu, tapi jadinya lo dibolehin beli motor baru gak sama mereka?” tanya Azfa penasaran, sambil ia memakai helm miliknya.

“Kayanya gak dibolehin deh, buktinya sampai sekarang gue belum dibeliin. Terus mereka juga gak ada nyinggung lagi soal motor, gue harus gimana dong, Fa? Gue pengin banget pergi ke sekolah bawa motor sendiri.” Dewi memanyunkan bibirnya kesal, dia benar-benar teringin motor baru.

“Coba pelan-pelan sambil lo bujuk aja, Wi.” Azfa berusaha menenangkannya.

“Hmm, iya, deh. Yuk berangkat.”

Keduanya pergi dengan motor Azfa, sebelumnya Dewi sudah menelpon Gita kalau mereka bertemu di lokasi saja langsung.

***

Pada akhirnya mereka bisa masuk ke dufan juga setelah mengurus administrasi. Karena ini hari minggu, di sana cukup ramai pengunjung. Kebanyakan dari mereka adalah satu keluarga, mungkin banyak yang ingin menghabiskan liburan keluarga bersama anak-anaknya.

“Muka lo girang banget, Wi.” Azfa terkekeh melihat wajah Dewi yang berbinar-binar ketika melihat wahana permaina.

“Huaaa … udah lama banget gak main ke sini, pengin naik kora-kora!” pekik Dewi berbinar-binar sudah seperti anak kecil yang baru pertama kali diajak main ke sana.

“Dewi antusias banget, kalo gue gak mau naik wahana begituan, takut!” pekik Gita yang takut ketinggian.

“Wah, sama dong lo kaya Calvin, dia juga mual kalau naik wahana yang memacu adrenalin gitu, jodoh nih emang kalian berdua!” pekik Dewi membuat Gita terlihat malu tapi juga senang karena memiliki kesamaan dengan Calvin, pacarnya.

“Kalau gitu, kalian main wahana yang kalian penginin aja, gue sama Dewi mau naik kora-kora dulu. Kayanya bakalan lama, dulu aja Dewi pas SMP naik itu sampai tiga kali walau ngantri.” Azfa menyarankan untuk bermain sendiri-sendiri.

“Habisnya sensasi pas naik itu loh, pertamanya pelan, terus lama-lama semakin cepet dan ayunan kapalnya semakin tinggi. Pas ditarik kebelakang rasanya deg-degan banget, terus pas ngayun ke depan rasanya kaya nyawa kita ketinggalan. Semakin tinggi semakin bikin deg-degan, tapi nagih banget!” ujar Dewi antusias.

“Habis naik itu kita naik halilintar ya? Itu salah satu wahana favorit gue!” ujar Azfa.

“Itu juga favorit gue! Habis naik kora-kora wajib sih naik itu.” Dewi kembali antusias menyusun rencana akan naik wahana apa.

“Habis naik wahana halilintar, kita naik tornado mau?” ajak Azfa, dia senang melihat Dewi begitu antusias bak anak kecil yang sedang study tour.

“Mau … mau …” Dewi mengangguk dengan antusias.

“Habis itu kita naik hysteria, gimana?” Azfa kembali memancing Dewi.

“Huaaa … gue gak sabar!” pekik Dewi yang terlihat sudah tidak sabar ingin naik semua wahana yang mereka rancang itu.

“Kalau dipikir-pikir, Dewi sama Azfa juga mirip, sama-sama suka wahana yang menantang gitu dari dulu. Kalian kalau udah bareng, seolah dunia milik berdua, cocok nih!” goda Gita yang baru kepikiran.

“Apaan sih, Gita, ngaco aja,” ujar Dewi.

“Tapi seriusan loh, sejak SMP kalau kita lagi jalan bareng-bareng, pasti kalian berdua paling kompak. Sama-sama suka baca buku, sama-sama suka makanan pedes, terus sama-sama suka wahana yang menantang.” Gita jadi mengingat-ingat beberapa persamaan Dewi dan Azfa, kalau dipikir-pikir mereka berdua memang satu frekuensi.

“Doain aja, siapa tahu nanti kami nikah! Asyik kayanya kalau gue nikah sama Dewi, kita satu frekuesi sih!” celetuk Azfa terdengar seperti bergurau. Dewi langsung menyikut Azfa sambil terkekeh karena dia menganggapnya hanya bercanda saja.

“Sayang, mereka cocok banget deh!” pekik Gita sambil bergelayut manja di lengan Calvin.

“Emang cocok enggaknya buat nikah hanya berdasarkan satu frekuensi? Gue sama Dewi meski banyak bertentangan, tapi kita bisa langgeng sahabatan dari kecil sampai sekarang.” Perkataan Calvin membuat suasana seketika berubah menjadi canggung.

“Itu kan kalian sahabatan, jadi langgeng. Gue sama sahabat-sahabat gue aja yang sering beda frekuensi tetep temenan sampai sekarang. Tapi kan yang lagi dibahas bukan soal persahabatan, tapi pernikahan, kayanya kalau gue sama Dewi nikah bakalan seru karena banyak kesamaan.” Azfa seperti sedang memancing di air yang keruh.

Suasana terasa semakin tidak mengenakan, bahkan Gita sampai melepas tangannya dari lengan Calvin. Dia menatap kekasihnya dengan raut wajah bingung, ekspresi Calvin saat ini benar-benar tidak bisa terbaca. Tapi yang pasti, itu bukan ekspresi yang menyenangkan.

“Ini apaan sih, kenapa jadi bahas nikah. Udah, ayo, Azfa, kita antri dulu sekarang!” Dewi langsung menarik lengan Azfa untuk menjauh dari Gita dan Calvin. Lalu mereka memutuskan untuk pergi antri guna menaiki wahana kora-kora.

“Kamu kenapa sih?” tanya Gita tidak habis pikir dengan kelakuan Calvin pagi ini.

“Mereka kok egois banget, sih, Sayang. Kita pergi ke sini kan buat seneng-seneng bareng, terus kenapa mereka maunya seneng-seneng sendiri gitu.” Terlihat Calvin begitu kesal.

“Kita kan bisa cari kesenangan kita sendiri, memang frekuensi kita sama mereka beda. Kita naik wahana yang biasa aja, lagian aku gak terlalu kepingin ke sini. Gimana kalau kita pergi naik arung jeram?” Gita berusaha membangkitkan mood dari kekasihnya.

“Aku pengin coba naik kora-kora juga,” ujar Calvin terlihat tidak mau kalah.

“Vin!” pekik Gita kesal.

Dia menatap pacarnya dengan tatapan penuh selidik, mood Gita seketika memburuk.

Antara Cinta Dan Takdir (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang